"Bercanda gue, Yan," cetus Ferdy.
Ryana mencebik. "nggak lucu."
"Nggak praktek lo?" Ferdy memulai interogasi berkedok basa-basinya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Praktek di Medika," jelas Ryana, "makanya Ryan makan di sini."
"Elo lihat mobil gue kali di depan. So, elo mampir ke mari. Rumah sakit Medika ke sini kan jaraknya lumayan."
Sindiran Ferdy sukses membuat pipi Ryana memerah, semerah tomat. Dokter anak itu mengerucutkan bibirnya menahan malu. Namun, ia tetap melanjutkan acara makannya.
"Abang sok tahu, ah. Kalau iya, kenapa?" tantang Ryana.
"Elo cinta ama gue?" canda Ferdy sambil tersenyum.
Ryana termonyong-monyong mendengar candaan Ferdy. "Abang lama-lama bikin gemes ya."
"Tuh, kan?!" Ferdy tersenyum penuh kemenangan dan bangga. Ia tahu bagaimana sahabat adiknya itu sangat memujanya sejak lama. Namun, beberapa saat kemudian kemenangan dan kebanggan itu segera terbantahkan.
"Gemes pengen nampol." Ryana menangkupkan sendok dan garpu, mengakhiri sesi makan siangnya. "Udah, ah. Abang bikin selera makan Ryan kabur."
Ferdy menurunkan pandangannya ke piring Ryana lalu berdecak kesal. "Pantes udahan. Lha, sisa nasi di piring elo paling tinggal sesendok lagi."
"Kenapa sih Abang cepet naik darah?" Ryana melirik Ferdy. Kali ini ia yang mengeinterogasi Ferdy. "Masalah prank kemarin belum kelar juga?"
Ferdy menangkup wajah. Raut wajahnya kembali muram setelah ia menurunkan kedua tangannya. "Masalahnya tambah runyam, Yan."
"Cerita aja sama Ryan. Ryan enggak bakalan cerita lagi sama siapa-siapa kok." Ryana menawarkan diri menjadi sukarelawan yang siap mendengarkan curhatan Ferdy.
"Janji ya, elo enggak bakalan bilang ini sama Feli sebelum semuanya jelas. Gue nggak mau dia khawatir." Ferdy wanti-wanti mengingatkan.
Ryana menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. "Ryana janji."
Butuh teman bicara dan butuh solusi alternatif selain yang Hendro berikan, Ferdy akhirnya menceritakan semua yang terjadi pada Ryana. Tiga hari terakhir ini isi kepala Ferdy hanya dipenuhi oleh prasangka dan tanda tanya yang membuat tekanan darah dan emosinya naik turun tidak menentu.
"Cewek itu tahu Abang suka main game Among Us juga?!" tanya Ryana dengan sedikit melotot dan nada bicara yang meninggi.
"Itu dia masalahnya, Yan. Si Bee itu tahu semua," jawab Ferdy frustrasi.
Ryana mengernyitkan dahi. Wanita itu memandang heran pada Ferdy. "Tunggu, Bang. Dia bilang Abang ninggalin dia udah lama. Sejak kapan?"
Ferdy menggeleng. "Gue nggak tahu. Gue belum nanya."
"Abang harus nanya, dong. Dari mana dia tahu Abang suka main game Among Us? Masalahnya game itu dibuat tahun 2018 dan baru booming pada tahun 2020. Abang main game itu sejak kapan?" Ryana mengemukakan pendapatnya.
"Ya, baru kemarin-kemarin lah."
"Itu, Bang!" Ryana spontan menggebrak meja dan membuat Ferdy hampir melompat melihat reaksinya. "Kalau dia bilang Abang ninggalin dia sebelum Abang pulang ke Indonesia dari mana dia tahu Abang suka main game itu? Sejak Abang pulang ke Indonesia, Ryan, Feli, dan Angel juga tahu gimana keseharian Abang."
"Bener juga, Yan. Gue pulang kampung kan enam tahun lalu. Pinter juga lu, Yan." Wajah maskulin Ferdy mulai terlihat lebih bening dengan senyum kemenangan lain yang terkembang di sana dan pancaran mata yang berbinar terang.
Ryana menyesap es teh manisnya sebelum berkata, "Ya, kalau nggak pinter, Ryan nggak bakal jadi dokter dong, Bang. Eh, tapi kan Abang sering pergi-pergi meeting ke kota lain dan ke luar negeri, apa mungkin Abang menemui tuh cewek dengan alasan perjalanan bisnis secara diam-diam makanya dia tahu Abang suka main game itu?"
"Demi Tuhan, gue enggak pernah ketemu sama tuh cewek. Beneran. Sumpah," bantah Ferdy.
Ryana mengangguk ragu. Meskipun begitu, ia tetap berusaha keras memercayai semua ucapan Ferdy. Setahunya, selama berteman dengan Feli, ia melihat Ferdy sebagai pria yang baik dan enggak banyak neko-neko. Lain halnya dengan Ferdy, ia bersyukur obrolannya dengan Ryana menghasilkan sesuatu yang meskipun sedikit, membuka peluang untuk dirinya terbebas dari jeratan Bee.
Setelah kembali ke kantor untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya hari itu, Ferdy menghubungi Rustam. Ia butuh bantuan si playboy pensiun untuk memperjelas status perkawinan asli tapi palsunya dengan Bee. Tentunya ia mewanti-wanti adik iparnya itu untuk menutup mulut rapat-rapat dari istrinya. Hari yang sibuk untuk seorang jomblo yang mendadak digugat cerai istri tak dikenal.
***
Enggan untuk pulang ke apartemennya, tetapi Ferdy butuh istirahat. Dilema menyelimuti dan menghalau perjalanannya kembali ke tempat tinggal ternyaman di dunia, sebelum dua penghuni baru itu muncul tiba-tiba tentunya. Ferdy melihat bayangan wajahnya di cermin lift yang kinclong, sekinclong wajahnya. Ralat, tidak terlalu kinclong malam itu. Sedikit muram. Tubuh tinggi dan pundak lebarnya ia tegakkan, lalu menghela napas panjang mengumpulkan amunisi sebelum ia melangkah keluar dari lift. Suara hak sepatu kulit hitam mengkilatnya yang mengentak lantai memenuhi koridor lantai tiga gedung apartemen tersebut, tetapi Ferdy tetap fokus pada dirinya sendiri dan persiapan menghadapi dua orang asing yang mungkin saja tengah menantinya. Tidak mungkin.
Lampu ruang tamu menyala setelah Ferdy menutup pintu. Pandangannya memindai seluruh ruangan yang tembus sampai ke kitchen set di dapur. Semuanya tampak bersih. Namun, ada satu yang menarik perhatiannya. Tudung saji berwarna merah di atas meja makan. Ia belum pernah melihat tudung saji selama ia menghuni apartemen itu. Ia tidak merasa memiliki benda itu. Ferdy penasaran. Ia mendekat ke meja makan, lalu membuka tudung saji pelan-pelan. Takut ada jebakan Batman.
Wow! Ferdy menelan ludah dengan susah payah. Aroma daging rendang menggoda penciumannya, terserap ke tenggorokan, dan mulai menggelitiki perutnya. Ferdy mulai lapar.
"Kamu baru pulang? Malam banget."
Suara lembut yang tertangkap telinga Ferdy membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Ferdy terpukau dalam waktu singkat. Air liurnya mendadak memenuhi mulut dan teraa sulit untuk ditelan. Gosh, she’s so hot!
Penampilan Bee menyihir Ferdy dalam waktu singkat. Di balik kimono brokat putih yang sedikit transparan, wanita itu mengenakan lingerie model bustier berwarna merah. Model lingerie itu sendiri tampak seperti setelan pakaian dalam biasa. Hanya saja setelan lift bra dan celana dalam itu didesain dengan renda unik dan warna yang menarik. Langkah Bee yang terpindai pandangan Ferdy membuat Bee tampak seperti salah satu model Victoria Secret yang sedang berjalan di catwalk. Langkahnya saja berhasil mendenyutkan hasrat, apalalagi kalau ... Ferdy segera menepis pikiran mesumnya. Ferdy buru-buru menutup kembali tudung saji, lalu berlagak cool dengan memasang mimik wajah jutek. Ia menatap Bee sekilas kemudian memalingkan wajah.
"Kalau mau makan, saya siapin dulu ya," tutur Bee dengan nada pelan dan lembut.
Ferdy mengarahkan kembali pandangannya pada Bee. Ia menatap wanita itu dengan tatapan aneh. Intinya, Ferdy bingung. Sikap galak dan judes Bee tadi siang tidak tampak sama sekali malam ini. Perempuan berwajah tirus dan berhidung mancung itu terlihat lebih bersahabat malam ini. Kemasukan hantu apa nih cewek?
"Atau kamu mau mandi dulu biar segar?" lanjut Bee.
Ferdy mendesah kesal. Ia ingin marah pada Bee karena berusaha menipunya dan kerap membangkitkan gairah terpendamnya.
"Iya. Saya mau mandi lalu tidur."
"Saya sudah masakin semua ini buat kamu." Nada bicara Bee terdengar setengah memaksa.
"Saya tidak lapar." Ferdy mengingkari suara panggilan perutnya demi menghindari terjadinya “peperangan”. Semenit, dua menit sih ia akan tahan berdekatan dengan Bee yang berpenampilan seperti seorang stripteaser. Entah kalau lebih dari itu.