2. Gava Si Tuan Muda

1269 Kata
Di sebuah mansion mewah, ada dua orang pria yang tengah berdebat. Ini masih sangat sangat pagi untuk berdebat, tapi tampaknya sampai kini tak ada juga yang mau mengalah diantara keduanya. "Papi udah bilang, papi tidak mengizinkan kamu untuk tinggal di luar! Apa mansion ini kurang nyaman?!" Dalvis Wilson, pria itu meninggikan suaranya berharap sang anak mengerti dengan kekhawatirannya. "Gava sudah besar pi, dan Gava berhak mengambil keputusan atas diri Gava sendiri. Diizinkan atau tidak, Gava akan pergi dari sini." Gava, begitulah kebanyakan orang memanggilnya. Umurnya baru genap menginjak delapan belas tahun tapi rasanya sudah begitu banyak permasalah yang ia lalui. Cita-citanya ingin menjadi seorang dokter, tapi keadaanya tak mendukung sama sekali. Gava bukannya terkendala pada bagian finansial, dengan uangnya sendiri Gava bahkan bisa membangun sebuah rumah sakit. Tapi ini semua tentang izin dari sang papi yang selalu menginginkannya mewarisi perusahaan dan mengubur mimpinya sebagai seorang dokter. Tapi Gava bukan pria yang akan menyerah begitu saja atas mimpi yang sudah diinginkannya sejak lama. Tahun ini ia diterima disebuah universitas jurusan kedokteran. Butuh sebuah kesepakatan yang harus Gava lakukan agar Dalvis sang papi memberinya izin untuk kuliah, yaitu tetap mempelajari seluk beluk perusahaan yang mau tak mau akan menjadi milik Gava. Gava akan tetap kuliah, tak lupa melakukan kewajibannya sebagai seorang tuan muda sang pewaris tunggal. "Apa yang kamu pikirkan Gava? Bagaimana dengan orang-orang yang ingin membunuh kamu selama ini?! Kamu tahu bahwa akhir-akhir ini mereka semakin gencar meneror kamu bukan?" Apa yang dikatakan oleh Davis barusan benar adanya. Bukan hanya baru-baru ini, dari kecil Gava kerap kali mendapatkan ancaman pembunuhan. Sudah banyak orang disekitarnya terluka demi melindunginya, dan Gava tak mau itu terus berlanjut sehingga ia memilih untuk pergi dari mansion yang sudah ia tempati sejak kecil. "Karena itu Gava pergi. Gava ga mau papi bernasib seperti mami." Gava memilih keluar dari kamar sang papi. Dia harus segera berkemas, dan pergi ke sebuah rumah yang baru saja di belinya. Gava tak ingin orang lain terus kesusahan karena dirinya, dia akan menjalani ketakutan akan kematian itu sendirian. Gava akan melewati kepedihan dalam hidupnya sendiri, tanpa melibatkan orang lain. Dalvis mendudukkan dirinya pada ranjang. Dia tak akan bisa tenang jika Gava tak tinggal seatap lagi dengannya. Dalvis menyambar ponsel yang ada di atas nakas, lalu segera menghubungi asisten pribadinya. "Apa pihak secret agent sudah menerima tawaran kita?" Tanya Dalvis to the point saat panggilan tersebut sudah tersambung. "Sudah tuan, mereka sudah menerimanya." "Bagus. Beritahu mereka, jika pelaku peneroran itu berhasil tertangkap, akan aku berikan sebuah cek kosong sebagai bonus." UJar Dalvis mengakhiri panggilan tersebut. Dia akan melakukan apapun demi keselamatan putra semata wayangnya. ... "WOW!!!" Clara berseru kencang saat melihat pesan yang baru saja masuk pada ponselnya, membuat seisi ruang rapat itu ikutan kaget. "Ada apa nih? Ada bonus tambahan ya?" Tebak Zack yang sudah hapal tabiat dari ketua timnya. Hanya uang yang bisa membuat Clara semangat dengan mata yang berbinar seperti sekarang ini. "Exactly Zack, tuan Dalvis akan ngasih kita cek kosong kalau bisa mengungkap pelaku yang selama ini ingin membunuh Gava." Jelas Clara singkat. Mendengar mengenai cek kosong itu berhasil membangkitkan semangatnya. "Jadi, ga ada alasan buat kita nolak misi ini bukan?" Tanya Clara menaik turunkan alisnya, tak sabar ingin memulai misinya segera. "Apa uang penting di perbincangkan sekarang?" Ucapan Raka kembali membuat suasana hati Clara buruk. Pria kaku yang menjabat sebagai wakil ketua itu sering kali tak searah dengannya. Apa salahnya jika Clara sedikit beruforia atas kabar gembira yang baru saja di ketahuinya. Alin-alih ikut senang, Raka malah membuyarkan kesenangan orang lain. "Kenapa? Ga mau? Lo bisa ngasih bagian lo ke gue kok." Balas Clara yang membuat Lei langsung menggeleng. Lei dan Zack langsung bertukar pandang, seolah satu pikiran atas apa yang akan terjadi berikutnya. Clara yang terlanjur santai dan Raka yang kaku bak teriplek memang kombinasi yang merepotkan. Perdebatan seperti ini selalu terjadi disetiap rapat mereka. Lei dan Zack hanya bisa pasrah, tak punya energi lebih untuk menghadapi keduanya. "Bukan begitu maksud saya. Sebagai seorang ketua, dari pada hanya membahas tentang uang kamu juga harus memberikan gambaran rencana. Seperti yang kamu lihat dibiodatanya, Gava itu berumur delapan belas tahun. Bagaimana bisa kita mengelabui pria seusia itu tentang siapa kita sebenarnya? Lihat, kamu yang seusia dengannya saja sudah begitu pintar mengenai uang dan keuntungan. Kita bukan menjaga anak balita, tapi seorang remaja. Kita butuh rencana yang matang untuk keberhasilan dari misi ini tanpa mengungkap identitas kita." Zack dan Lei mengangguk setuju, sedangkan Clara membuang nafas frustasi. Clara tahu dan paham betul atas apa yang dikatakan oleh Raka barusan, tapi dia enggan untuk mengungkapkan kesetujuannya. Wanita itu terlalu gengsi. "Zack, lo kumpulin lebih banyak data tentang Gava dan orang-orang yang ada disekitarnya. Dan lo, pikirin rencana jangka panjang dari misi ini." Ujar Clara menatap Raka lurus. "Kali ini gue bakalan ikutin rencana lo tanpa potes." Ujarnya lagi pada Raka yang hanya membalas tatapan Clara dengan tatapan datar. "Terus gue ngapain?" Tanya Lei yang namanya belum Clara sebutkan, pria itu juga ingin berkontribusi dalam misi kali ini. Clara tersenyum ke arah pria sipit itu. "Lo ikut gue, kita bakalan ngesurvei tuan muda yang bakal kita jaga." Ucap Clara membuat Lei tersenyum hingga mata sipitnya terpejam. "Rapat selesai." Final Clara ingin segera keluar dari ruangan berdinding kata tersebut. "Ah satu lagi! Besok kita bahas lebih lanjut di markas aja. Gue benci suasana kaku di kantor. Kalian kalau mau balik sekarang ya silahkan aja, yang penting rencana dan data yang gue minta udah ada besok." Clara keluar dari ruang rapat, diikuti oleh Lei di belakangnya. Tak ada waktu untuk bermain, Clara dalam mode seruis sekarang. Menjaga Gava atau mengungkapkan siapa yang berniat membunuhnya, Clara pastikan semua akan dituntaskannya. "Cek kosong itu akan segera jadi milik gue." Ucap Clara bersemangat di dalam hatinya. ... Gava melajukan mobilnya di jalan raya. Ada sebuah mobil pick up yang mengikutiya. Setelah membeli rumah dan melakukan sedikit renovasi, Gava juga perlu membeli beberapa perabot rumah tangga, dan untungnya itu bisa diantar saat ini juga. Tak lama Gava menghentikan mobilnya di sebuah rumah mini malis dengan cat berwarna putih, tak jauh dari lokasi kampus tempat ia akan kuliah nanti. Gava memang sengaja membeli rumah yang dekat dari universitasnya. "Barang-barangnya tolong dimasukin ke dalam aja, pak." Ujar Gava pada supir mobil pick up dan dua orang rekannya. Saat supir itu mengangguk baru lah Gava berlari kecil menuju pintu rumah barunya, untuk membuka kunci. Saat pintu itu terbuka, Gava dikejutkan oleh sebuah kotak berwarna merah yang terletak di depan pintu bagian dalam rumah. Gava mengambil kotak itu, lalu membukanya untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah bangkai tikus yang sudah membusuk terbalut dengan tisu yang sudah bersimbah darah menyambut penglihatan Gava kala kotak itu terbuka. Orang lain mungkin akan mual atau bahkan muntah saat melihatnya, tapi Gava tak terkejut sama sekali dan seolah sudah terbiasa kala melihat secarik kertas berwarna coklat yang tertempel di tubuh tikus. "I kill you." Gumam Gava membaca tulisan dikertas tersebut sembari tersenyum kecut. Seolah bertanya-tanya, kapan semua ini akan berakhir. "Ada masalah, tuan?" Tanya sang sopir pick up mendekat sambil membawa sebuah kotak barukuran sedang berisi salah satu barang pesanan Gava. Dia merasa heran saat Gava tak beranjak juga dari depan pintu masuk. Gava pun langsung refleks menutup kotak itu kembali dan menyembunyikan kotak tersebut di belakang punggungnya. "Tidak pak, silahkan masuk." Balas Gava dengan senyuman yang begitu ramah. Sebenarnya siapa pelaku dari peneroran yang menimpanya selama ini? Gava pun tak pernah tahu akan itu. Gava tak peduli, jika ada yang ingin membunuhnya, ya bunuh saja. Orang itu tak perlu membuang waktu untuk permaian seperti ini. Gava pun bisa merasa muak saat menjalankan kesehariannya jika orang itu terus melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN