"Baju hangat udah? Sandal jangan lupa, baju tidur juga. Kalau emang kopernya gak cukup buat pakaian, yaudah nanti kita tambah bagasi aja gapapa. Asal semua barang yang kami butuhin di sana nanti bisa muat," ucap Izzaz mengingatkan.
Dilara yang sedang memasukkan barang-barang dan pakaian ke dalam koper hanya tersenyum. Di hadapannya sudah ada dua buah koper besar, miliknya dan milik suaminya.
"Mas mau aku ambilin baju yang mana aja? Sama barang-barang yang mau Mas bawa disiapin juga, nanti aku yang susun masuk ke koper," ucap Dilara seraya menatap Izzaz yang duduk di pinggi ranjang.
Setelah Dilara menyuruhnya, Izzaz pun akhirnya beranjak dan mulai memilah-milah barang apa saja yang hendak ia bawa. Yang paling penting adalah barang pribadi dan penting yang tidak bisa ia pinjam atau mungkin dapatkan di sana nanti.
"Udah, sini biar Mas aja yang packing punya Mas. Jangan sampai kamu yang nanti kecapekan terus malah sakit pas berangkat," ucap Izzaz.
Tangannya hendak mengambil alih pekerjaan Dilara, tetapi dengan cepat ditahan oleh wanita itu. Dilara kekeh mempertahankan kedua koper di hadapannya. "Aku bisa, Mas. Kalau segini doang mah gak bakal sakit, aku tuh kuat."
Izzaz tersenyum mendengar ucapan istrinya, ia mencium kening Dilara singkat seraya membantu istrinya untuk menyusun barang ke dalam koper. "Yaudah, kita kerjain berdua ya. Biar cepat selesai dan kerasa ringan juga."
"Makasih, Mas," ucap Dilara.
Ia merasa senang dengan tindakan-tindakan kecil yang dihadiahkan Izzaz untuknya, contohnya saja seperti sekarang. Walaupun hal kecil, tetapi tak banyak pria yang ingin melakukan hal seperti menyusun barang sendiri. Kebanyakan akan memilih menyuruh sang istri untuk menyelesaikannya.
"Kenapa makasih, Sayang? Lagian pekerjaan yang dikerjakan secara bersama-sama itu bakal lebih baik, terasa ringan dan cepat selesai dibanding kalau dikerjakan sendiri," ucap Izzaz.
Dilara hanya membalasnya dengan senyuman, sembari kembali memasukkan barang-barang ke dalam koper.
Kemarin Izzaz sudah melaporkan keikutsertaan mereka pada pihak Unicef Indonesia secara langsung di kantor mereka yang terletak di kawasan Sudirman. Pihak Unicef juga menerima tambahan kehadiran Dilara dengan tangan terbuka, apalagi setelah membaca background Dilara.
"Serius, Mas tuh gak pernah nyangka kalau bakal nikahin perempuan yang dari makanan bahkan hobinya mirip dengan Mas," ucap Izzaz menyelingi pekerjaan mereka. "Liat segala hal tentang kamu buat Mas berasa lagi ngaca."
Dilara menoleh. "Alhamdulillah. Aku belum sebaik itu kok, Mas. Ke depannya pun kita harus bisa saling melengkapi, ya?"
"Iya, Sayang," jawab Izzaz cepat. "Tapi, Mas masih gak nyangka kalau ternyata kamu ini pernah ikut kegiatan sosial juga loh, bukan hanya satu tapi sampai beberapa. Bahkan kamu pernah menjabat sebagai Duta Lingkungan."
Saat melaporkan diri kemarin, Dilara memang ikut dan membawa serta sertifikat-sertifikatnya sebagai bahan pertimbangan jika ia tidak diizinkan untuk ikut. Dan memang hasilnya sertifikat yang dibawa oleh Dilara cukup membantu.
Awalnya pihak Unicef Indonesia sedikit ragu, takut kalau kehadiran Dilara bisa menghambat program kerja mereka. Namun, setelah Dilara menjelaskan pengalamannya dalam dunia sosial, dengan senang hati mereka menerima Dilara.
Jika orang-orang harus menunggu begitu lama agar diberikan kesempatan, tetapi Dilara dengan mudahnya mendapatkan kesempatan itu.
"Kamu ikut kegiatan sosial itu dari kapan, Sayang? Dan motivasi kamu ikut gituan apa sih? Apalagi kebanyakan anak remaja kan pengennya senang-senang sama teman, ngemall atau nonton bareng gitu," tanya Izzaz penasaran.
Dilara yang telah selesai dengan pekerjaannya pun duduk di lantai beralaskan tikar berbulu, menyandarkan punggung di ranjang.
"Aku sejak SMP emang udah tertarik sama dunia sosial kayak gitu, aku selalu pengen menjadi manusia yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Hingga pas SMA mata aku lebih terbuka, aku melihat banyak anak terlantar di sekitar aku, banyak para orang tua yang masih buta huruf dan lainnya. Akhirnya aku mulai ikut organisasi-organisasi swasta yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan."
"Teman aku juga beberapa kali ajak aku ikut pageant yang sejalan sama tujuan aku, sampai akhirnya Alhamdulillah aku bisa menang di Duta Lingkungan itu," lanjut Dilara.
Ada binar-binar bahagia dan bangga di matanya ketika menceritakan hal tersebut.
Semakin mendengar banyak hal tentang Dilara dan mendengar pemikiran perempuan itu, Izzaz semakin dibuat tertarik untuk mengenal istrinya lebih jauh. Seolah ada magnet yang menariknya terus mendekat pada Dilara.
"Apa yang bikin kamu pengen jadi relawan?" tanya Izzaz. "Padahal kamu bisa aja kayak anak muda lain yang nikmatin hidup, enjoy dan happy-happy di mall. Setau aku Papa dan Mama juga bukan tipe yang banyak menuntut, kan."
Dilara terkekeh kecil, ia menatap suaminya yang juga sudah ikut duduk bersandar bersamanya. "Aku lagi diwawancarain nih ceritanya?"
"Hahahaha. Gak gitu Sayang." Izzaz membelai rambut istrinya lembut. "Mas cuma penasaran aja sama istri Mas yang misterius ini. Soalnya saat Mas kira kalau Mas sudah kenal kamu luar-dalam, ternyata kamu malah tunjukin hal luar biasa lain lagi dari diri kamu."
Izzaz berdiri, ia mengangkat Dilara dan memindahkannya ke atas kasur. Kini mereka duduk bersama di kasur, lebih tepatnya Izzaz yang duduk dan Dilara berbaring menggunakan paha Izzaz sebagai bantalan. Posisi yang sangat ia sukai ketika sedang bercerita dengan suaminya.
"Aku selalu berpikir, apa aku sebagai manusia ini cuma harus peduli sama kehidupan aku sendiri? Sementara di sekitar aku ada banyak orang yang gak seberuntung aku, gak bisa belajar kayak aku, gak bisa sekolah, gak bisa nikmatin apa yang aku punya sekarang." Dilara menarik napas sejenak. "Tapi, akhirnya aku dapat jawabannya. Aku gak harus hanya berpangku tangan dan nonton apa yang terjadi di sekitar aku, tapi aku juga bisa ikut sebagai pemeran di dalamnya."
"Ibarat sebuah n****+, aku ingin berperan sebagai tokoh yang bisa membawa resolusi dalam hidup mereka, Mas. Aku mau sedikit banyaknya apa yang aku lakukan bisa membantu hidup mereka."
Semakin banyak mendengar ucapan Dilara, semakin besar pula rasa bangga di dalam hati Izzaz.
Ia mengelus rambut Dilara berulang kali. "Aku semakin yakin kalau anak-anak aku nanti pasti bakal tumbuh dengan baik. Karena ibu yang menjadi madrasah pertamanya aja udah sekeren dan sehebat ini," ucap Izzaz bangga.
"Menurut faktanya, sebagian besar DNA kepintaran anak itu diturunkan dari kromosom ibunya. Mendapatkan istri seperti kamu buat aku ikhlas-ikhlas aja kalau bahkan seluruh hal yang ada di dalam diri anak kita nanti adalah warisan genetik dari kamu."
"Gombalannya dokter emang beda, ya? Gak garing dan klise kayak yang lain," canda Dilara disertai tawa renyah.
Lagi-lagi Izzaz mendaratkan bibirnya di kening istrinya.
"Kalau kamu sendiri kenapa mau jadi dokter, Mas?" tanya Dilara.
"Kalau aku bilang karena iseng gimana? Percaya gak?" balas Izzaz bertanya.
"Masa iseng sih, Mas? Jangan becanda ah! Yakali lolos kedokteran cuma modal iseng aja, padahal banyak orang di luar sana yang pengen masuk kedokteran dan udah siapin bahkan dari tiga tahun sebelumnya tetap gagal," ucap Dilara tak percaya.
"Ya beneran iseng, Sayang." Izzaz tertawa kecil. "Pertanyaan kamu salah, harusnya kamu nanya kenapa aku pengen jadi relawan dengan gelar aku dokter. Padahal kalau kerja di rumah sakit swasta atau negeri pasti udah bisa beli Ferarri sekarang."