Lelaki Idaman : Part 4

1986 Kata
"Waktu itu saya merasa, saya ini muslim dari kecil tapi kok rasanya seperti baru belajar menjadi seorang muslim?" tuturnya. Frasya menyimak obrolan di dalam video di Youtube yang link-nya dikirimkan oleh Ziva. Akhirnya, malah gadis itu yang mencari video yang pernah ia tonton sebentar di i********: itu. Frasya menghela nafas. Ia sejujurnya memang bimbang. Rasa suka dan kagum itu tentu masih ada. Ada bahagia juga ketika tahu kalau lelaki itu meminangnya. Lelaki yang pernah menjadi lelaki idamannya tapi sekarang, sudut pandangnya tentang kehidupan banyak berubah. Ia pun belum berniat-niat amat untuk menikah. Namun Mamak dan Bapaknya di Indonesia sana terus menanyakan jawabannya atas lamaran yang datang dari Rafandra. Memang Bapaknya bilang agar ia mengenali Rafandra dulu tapi disisi lain, juga tak enak hati kalau menggantungkan lamaran orang lain terlalu lama. Meski ini baru satu minggu. "Ternyata, ada banyak hal yang tidak saya tahu tentang agama sendiri. Bahkan dalam urusan yang terlihat sepele seperti mengambil wudhu. Kalau salah kan bisa tidak sah solatnya. Terlihatnya memang sepele tapi kalau solatnya tidak saha dan itu berlanjut selama bertahun-tahun rasanya...." Frasya menghela nafas. Agak-agak tertarik dengan hal ini. Ia juga sudah paham dan sering juga melalaikan hal sekecil ini. Walau mungkin, Rafandra terlihat belum terlalu banyak tahu tentang Islam tapi ia juga merasa kalau pemahamannya mungkin tak beda jauh dari Rafandra. Hal yang kemudian membuatnya berpikir lantas mengetik sesuatu diponselnya. Assalamualaikum, Kak..... Kata-kata itu menggantung. Tiba-tiba ia merasa grogi. Ia belum paham-paham amat sih tentang ta'aruf ini. Tapi.... Waalaikumsalam. Ada apa, Frasya? Frasya menggigit bibirnya. Ia sejujurnya gugup tapi karena sudah terlanjur basah... Kakak punya CV semacam CV ta'aruf gitu? Frasya melempar ponselnya seketika. Ia terkikik-kikik sendiri. Tiba-tiba merasa malu. Ini kenapa seolah-olah malah ia yang terlihat mengejar Rafandra sih? Padahal kan ia tak bermaksud begitu. Ia hanya bingung cara menyampaikan juga memulainya. Dan lagi.... Ponselnya sudah berbunyi. Frasya takut-takut membukanya. Butuh waktu hingga lima menit baru membuatnya berani membuka pesan dari Rafandra yang isinya hanya mengirim CV ta'aruf. Tak ada kata-kata apapun. Ia menghela nafas lega. Cukup berterima kasih dengan cara lelaki itu yang....mungkin menjaga diri juga, pikirnya. Ia sudah fokus membaca isi file itu. Isinya benar-benar CV ta'aruf yang sepertinya sudah lama dipersiapkan Rafandra. Frasya tak banyak berselancar di internet guna mencari tahu kehidupan Rafandra sekarang karena setelah mengecek akun i********:-nya pun, lelaki itu tampaknya sudah jarang memposting sesuatu hal yang berbau agak pribadi kecuali urusan pekerjaan. Tapi memang sedari dulu, lelaki itu tak pernah memposting perempuan sih. Lantas dari mana Frasya tahu kalau lelaki itu punya pacar? Dari akun yang menandainya. Semua itu kan bisa dicek di i********:. Hingga akhirnya Frasya membuka akun perempuan yang ternyata finalis Puteri Indonesia perwakilan Sumatera Utara itu. Yaaa perempuan mana yang tidak cemburu sih? Apalagi Frasya sempat mengagumi parah hingga patah hati. Apalagi si perempuannya juga cantik dan cerdas serta....digilai banyak lelaki. Lah diakun Frasya? Tak ada komentar puji-pujian dari lelaki. Tak ada foto-foto yang disukai oleh ribuan orang. Wajah cantik? Ia merasa biasa saja. Dan kepalanya sekarang bertambah pusing. Kenapa Rafandra mau melamarnya? Padahal ia jauh sekali dari tipe perempuan seperti pacar eeh mantan pacar? @@@ "Dulu pernah khilaf pacaran..." Frasya langsung mengencangkan volume speaker-nya. Ia sedang rehat sejenak dari kebut-kebutan mengerjakan tugas kuliah menjelang ujian tengah semester. "Dan jujur saja, saya sangat tergila-gila pada satu perempuan kala itu." Rafandra tampak berdeham di dalam video itu. Sementara Frasya tampak tegang mendengarnya. Ia masih menonton video obrolan yang sama antara Rafandra dan Ridwan. Lelaki itu sedang menceritakan alasan hijrahnya. "Tapi orangtua tak merestui." Aaaaah. Frasya mengangguk. Keningnya mengerut. Tapi kenapa? tanyanya bingung. Masa tak setuju dengan perempuan secantik dan secerdas itu? "Ibu saya kan beberapa bulan terakhir saat itu, rajin sekali belajar agama. Jadi kepengen dapat menantu perempuan yang setidaknya berhijab. Karena kan adik perempuan saya belum berhijab. Begitu pula dengan dua adik ipar saya." Frasya menyimak dengan serius lantas membandingkan diri. Ini masih belum bisa menjawab pertanyaan di dalam kepalanya. Tentang kenapa ia yang dilamar padahal ada banyak perempuan di luar sana yang menurutnya lebih solehah. Namun ia belum berani menanyakan hal itu pada Rafandra. "Mendengar itu, saya langsung suruh mantan pacar saya itu untuk mengenakan hijab tiap ketemu Ibu. Tapi ternyata, akal-akalan saya itu tak berguna sama sekali. Karena kan Ibu juga main media sosial dan memantau semua kegiatan saya juga pacar." Ia berdeham. "Pacar saya ini masih memposting sesuatu foto-foto tanpa hijab. Bahkan memang tak ada fotonya dengan hijab. Jadi ya...Ibu agak marah karena merasa dipermainkan. Setelah itu, ya...saya meminta maaf dan mengatakan yang sebenarnya kalau memang mantan saya itu belum siap berhijab. Ada banyak lah alasannya waktu itu. Saya juga tak memaksakan karena memang tidak terlalu berpikir serius kalau perempuan muslimah itu memang seharusnya menutup aurat. Saya tahu hukum itu tapi masih menganggapnya sebagai hal sepele. Karena di dalam pikiran saya ya...yang penting kan pacar saya itu solat. Kita pacaran juga gak pernah macam-macam. Tapi Ibu berpikiran berbeda. Karena menurutnya ya, bagaimana nanti jika perempuan ini akan menuruti perintah saya ketika menjadi istri saya jika...perintah Allah saja tidak diikuti." Frasya terdiam. Ia mulai membandingkan diri lagi. Dalam hal ini, ia memang sudah lama berhijab. Alasan pertama kali memakai hijab pun terdengar sederhana. Apa alasannya? Hanya mengikuti sepupu-sepupu perempuannya yang ketika masuk SMA pasti mengenakan hijab. Hanya sesederhana itu tapi setelah memakainya, ia juga baru paham bahwa perempuan baligh itu memang sudah semestinya menutup aurat. Tapi dulu, ia juga menutup aurat secara bertahap. Dulu, ia masih mengenakan pakaian-pakaian yang membentuk badan tapi sekarang mulai meninggalkan hal-hal itu. Ya, memang secara bertahap tapi tak apa kan? Setiap orang kan berbeda. "Tapi waktu itu belum tertampar dengan kata-kata Ibu saya. Saya masih kekeuh lah melawan semua perkataan Ibu saya. Karena menurut saya yaa pacar saya kan baik. Urusan berhijab atau tidak itu tidak ada urusannya menurut saya. Karena hijab kan hanya pakaian. Itu yang ada di dalam kepala saya. Tapi ternyata, Ibu saya berpendapat seperti tadi. Karena urusan berhijab atau menutup aurat ini kan urusannya dengan aturan agama, dengan perintah Allah dan itu sangat krusial. Artinya, berhijab itu kan sudah pasti wajib gitu. Namun ya begitu lah...manusia yang sedang lalai," tuturnya lantas tersenyum mengenang kejadian yang sudah berlalu itu. "Akhirnya saya kucing-kucingan sama keluarga. Saya masih pacaran tapi backstreet gitu istilahnya. Dan itu berlangsung cukup lama. Mungkin sekitar setahun sampai akhirnya tiba disuatu titik, Allah menampar saya langsung dan diperlihatkan aib pacar saya ini kepada saya. Saya gak bisa menceritakannya secara detil tapi gara-gara itu, saya patah hati parah dan kembali kepada Ibu saya. Dari situ saya akhirnya sadar kalau apa yang saya pilih itu ternyata tidak baik. Bahkan Allah pun memperlihatkan yang sebenarnya meski lama. Tapi Allah memperlihatkannya diwaktu yang tepat dan tak terduga." Rafandra tampak menghela nafas panjang. Tak lama, ia melanjutkan ceritanya lagi. "Akhirnya hubungan itu berakhir. Saya pun agak-agak menghilang dari banyak kegiatan. Karena sangat syok dengan kejadian itu. Tapi kejadian itu lah yang akhirnya membawa saya seperti mengenal kembali agama saya. Saya belajar agama benar-benar dari dasar. Dan itu sangat menampar saya, padahal saya sudah 30 tahun hidup tapi diusia saya yang seperti itu, saya justru baru mempelajari agama saya. Saya ke mana saja? Apa karena terlalu sibuk mengurusi pendidikan anak-anak di luar sana tapi saya sendiri sampai abai tentang agama saya sendiri. Lantas bagaimana mungkin saya bisa menjadi imam untuk keluarga saya nanti jika imamnya saja tak terlalu paham tentang agama ini? Mau dibawa ke mana keluarganya kalau imamnya saja tak tahu arah tujuannya?" ia menarik nafas dalam. "Dari situ lah, saya akhirnya banyak intropeksi diri, banyak belajar agama dan lebih patuh pada orangtua. Karena memang benar kata-kata orang yang terkadang orang lain mungkin terlihat lebih tahu apa yang terbaik untuk hidup kita. Dan meski saya patah hati, terpuruk saat itu tapi hal yang saya syukuri adalah saya dihindari dari kejadian-kejadian buruk dimasa mendatang jika saya terus dengan perempuan itu. Tanpa kejadian itu, saya juga mungkin tidak akan pernah belajar memperdalam agama yang saya anut sejak lahir ini." @@@ Assalamualaikum, Frasya. Ada yang mau ditanyakan seputar CV saya? Frasya tergagap. Ia kaget karena tak sengaja membuka pesan itu. Padahal sedari tadi, ia memang agak menghindari pesan itu. Sengaja tidak dulu membukanya karena ia sedang sibuk bersama dengan anak-anak PPI alias Persatuan Pelajar Indonesia di London. Mereka sedang menggelar acara di kantor kedutaan Indonesia di London. Frasya? Mungkin Rafandra heran karena pesannya dibaca tapi tak kunjung dibalas. Frasya baru benar-benar membalasnya saat baru tiba di flat-nya. Ia membersihkan diri kemudian berbaring sambil membaca pesan dari Rafandra. Ini sudah satu minggu sejak ia meminta CV ta'aruf lelaki itu. Tapi lelaki itu tak meminta CV-nya. Kenapa ya? Ah iya, kan ia yang disuruh orangtuanya untuk mengenal Rafandra lebih dalam. Kalau Rafandra? Waalaikumsalam, Kak. Sebetulnya, ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Pertama, kenapa memilih saya? Rafandra yang masih sibuk di kantor pun menoleh. Ia sudah sejak usai subuh tadi mengirimi Frasya pesan tapi tak kunjung dibalas perempuan itu. Kenapa memangnya? Saya tidak boleh memilih kamu? Frasya tergagap. Bukan begitu, Kak. Tapi ada banyak perempuan di dunia ini yang lebih baik dari saya. Kadang perhitungan Tuhan itu lebih sempurna dari perhitungan saya, Frasya. Saya juga tidak tahu kenapa hati saya terarah pada kamu. Hanya yakin saja mungkin kamu orang yang memang ditakdirkan untuk saya. Jawaban itu begitu lugas dan terus terang hingga membuat Frasya menggigit bibir. Grogi. Untung saja Rafandra tak melihat tingkahnya ini. Kalau begitu, ada hal lain yang ingin saya tanyakan. Tentang visi dan misi pernikahan. Bagaimana Kakak akan mengimbangi saya? Jujur saja, saya punya banyak hal yang ingin saya lakukan untuk dunia dan akhirat saya. Misalnya? Berkarir. Kakak tahu saya masih bekerja di perusahaan sahabat saya. Selain itu, saya bermimpi untuk menjadi konsultan analis perencanaan yang mungkin akan sibuk ke mana-mana. Intinya, saya bukan perempuan yang mungkin bisa diam saja di rumah. Saya tidak keberatan, Frasya. Malah mendukung jika itu untuk dunia dan akhirat. Asal Frasya ingat posisi sebagai istri saja. Frasya berdeham. Ia tampak berpikir tentang hal yang hampir ia lupakan. Lantas sosok seperti apa yang Kakak ingin kan sebagai istri? Perempuan yang mau sama-sama belajar dan menerapkan agama dalam kehidupan dunia dan akhiratnya, Frasya. Saya merasa, mungkin kamu masuk ke dalam itu? Pipinya merona tiba-tiba. Padahal Rafandra tidak bermaksud begitu. Lelaki itu hanya berbicara apa adanya. Ia memang menginginkan perempuan yang seperti itu. Ia tak mau menyebutnya sebagai solehah karena kalau solehah, ia juga harus memantaskan dirinya untuk menjadi lelaki soleh. Dan dalam bayangannya, itu cukup berat. Lalu dengan posisi saya yang saat ini sedang kuliah.... Saya paham, Frasya. Tidak masalah. Kalau kamu tidak keberatan dan mau menerima lamaran saya, saya berencana untuk menikahimu dalam waktu dekat. Karena bagi saya, niat baik itu harus disegerakan. Dan saya juga sudah menyiapkan banyak hal dan tidak keberatan jika harus sering datang ke London untuk melihatmu. Pipi Frasya makin memerah membayangkannya lantas ia ber-istigfar kuat-kuat. Memang benar bahayanya perempuan dan laki-laki yang berkiriman pesan tanpa perantara seperti ini. Lagi pula, ia juga bingung. Orangtuanya juga tak terlalu paham dengan konsep ta'aruf. Begitu pula dengannya. Namun hanya ini yang bisa ia lakukan dan sebisa mungkin menghindari untuk berkhalwat alias berdua-duaan. Ia juga tak mau disorak-sorai setan di antara mereka. Dan lagi, pernikahan itu kan suci. Ia tak mau mengotorinya dengan cara yang tidak baik. Ada lagi yang mau ditanyakan Frasya? Frasya menahan kegugupannya. Ia mengelus dadanya kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia beranjak duduk kemudian menatap layar ponselnya. Rafandra masih online. Sepertinya, lelaki itu memang menunggu balasan darinya. Ia menarik nafas dalam sebelum mengetik sesuatu yang kemudian ia kirim kan pada Rafandra. Boleh berikan waktu untuk saya istikharah, Kak? Rafandra tersenyum lebar di seberang sana. Ia tampak berpikir lama kemudian melirik laptopnya. Lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum mengirim sesuatu pada Frasya. Itu jawaban untuk lamaran saya atau tawaran ta'aruf yang sepertinya masih sepihak? Frasya menghembus nafas kuat-kuat. Rasanya, jantungnya ingin lepas ketika ia mengetik sesuatu di layar ponselnya. Allah.... Kakak sudah yakin dengan saya? Insya Allah Bahkan lelaki itu cepat sekali membalasnya. Dan Frasya berpikir, mungkin lelaki ini sudah lebih dulu istikharah sebelum datang melamarnya. Sudah mengenal saya? Rafandra tersenyum kecil. Hanya tahu sedikit dari orangtuamu. Apa saya juga perlu mengirimkan CV saya? Tidak perlu. Kenapa? Saya bisa belajar mengenal kamu lebih dalam setelah kita menikah, Frasya. "Aaaaaaaaaa!" ia gemas sendiri sambil menghentak-hentak kaki. Tak lama, Frasya langsung terjungkal ke lantai karena terlalu bersemangat. "Aawww!" @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN