Bab 2

1368 Kata
Aku kurang tidur, lelah dan masih mengantuk. Mimpi aneh semalam membuatku tidak bisa memejamkan mata setelah terbangun. Parahnya hari ini aku harus bekerja sampai malam lagi. Mba Jenny baru saja meletakkan setumpuk berkas di mejaku, memberikan perintah untuk selesai hari ini juga. Oh, Tuhan.… Aku menjatuhkan kepala pasrah di atas tumpukan berkas, mulai yakin kalau “sial” adalah jodohku. Jarum jam seakan bergerak terlalu cepat, pukul tujuh malam dan aku belum menyelesaikan pekerjaanku. Satu per satu, tujuh orang yang tadi masih berada di ruangan mulai keluar. Kini aku sendirian. Tepat pukul sebelas lewat tiga puluh satu menit, berkas yang terakhir akhirnya selesai. Aku merentangkan tangan sambil menarik napas lega. Setelah merapikan semua berkas menjadi tumpukan yang rapi, aku berniat menutup jendela Windows Eksplorer, namun urung ketika pandanganku menangkap folder dengan nama Mate Sphere. Aku merasa tidak pernah membuat folder ini. Penasaran, kuarahkan kursor ke folder tersebut dan meng-klik-nya. Tiba-tiba sebuah lingkaran yang bergerak memutar terpampang di layar, dengan angin yang seolah menyedot dari dalam. Aku terpana, mengulurkan tangan menyentuh lingkaran itu. Sesuatu yang kuat mengisapku, aku panik, meronta berusaha menjauh dari layar laptop, namun tarikan itu terlalu kuat. Aku tersedot. Berada di tempat hampa udara, aku melayang, meluncur ke arah lingkaran yang terlihat mengecil. Gerakan yang terlalu cepat membuatku seakan terlempar, tak sempat lagi berpikir tentang rasa panik. Atau aku terlalu panik? Tiba-tiba kurasakan dorongan yang sangat kuat, membuatku terhempas ke sebuah dataran yang keras. Aneh, tidak terasa sakit. Tapi, pikiranku seolah terenggut, ketika sebuah senandung teralun, merayap terbawa embusan angin sampai ke telinga.   Kata yang tak terucap Rasa yang tak teraba Semua kan menjadi lenyap Dengan tiba-tiba   Cinta dan pertarungan Kasih sayang dan ketamakan Benarkah itu tentang Menghancurkan….   Ini … seperti sedang melompati mimpi. Dan sebelum aku bisa mengembalikan pikiran, kesadaranku pun menghilang.   **** Semula, Mate Sphere adalah kedamaian, ketenangan dan keindahan. Alam dengan siluet keemasan dari cahaya mentari; kilau perak dari cahaya bulan yang selalu penuh; hijaunya pepohonan dengan bunga-bunga liar beraneka warna. Ada sungai yang mengelilingi Mate Sphere, jika dilihat dari atas bukit terlihat berkelok-kelok dengan alirannya yang tenang. Di hutan Mate Sphere tinggal binatang-binatang dengan keindahannya masing-masing. Ada yang berbeda dengan hewan-hewan itu, tubuh mereka dikelilingi serbuk yang berkilau bagai bubuk peri. Itu pertanda mereka pemilik kedamaian, tidak saling berburu, tidak pula saling memangsa. Mate Sphere adalah kedamaian. Namun, sekarang … Mate Sphere mendapat masalah. Sesuatu membuat tempat ini kehilangan kedamaiannya. Sinar-sinar keemasan dari pancaran mentari mulai memudar, Sebagian besar hewan tidak memiliki serbuk berkilau yang mengitari mereka lagi, hingga mereka saling memangsa. Yang kuat mengalahkan, yang lemah dikalahkan. Sementara hewan-hewan yang masih memiliki kilau serbuk, bersembunyi. Mereka berkumpul di satu tempat untuk berlindung. Berlindung dari kekuatan jahat yang tidak terlihat. Hanya tersisa satu yang masih tampak sama—mungkin bukan untuk jangka waktu yang lama. Bulan yang masih memancarkan kilau keperakannya setiap malam, menghadirkan hawa menenangkan. Hanya jika malam. *****   Sugar…. Selalu suara yang sama, kata yang sama, dengan nada yang terdengar memanggil. Aku mendengarnya ketika kesadaran mulai menghampiri. Mataku terbuka secara spontanitas, langsung bersikap waspada ketika lintasan memori hadir dalam pikiran. Seketika bangun dan berdiri. Gerakan yang tiba-tiba membuatku sedikit mual, meletakkan tangan sebagai tumpuan pada sebuah pohon, aku memperhatikan sekeliling. Tempat apa ini? Aku merasa aneh dengan diriku, tapi tidak begitu paham bagian apa. Lelah berpikir, aku pun memutuskan untuk meninggalkan tempat ini, mencoba mencari jalan pulang. Berjalan terseok, menyusuri daerah yang tidak kukenal. Berkali-kali menoleh ke belakang karena merasa ada yang mengawasi. Hingga aku berhenti berjalan, tertegun di tepi sebuah sungai dengan aliran air yang sangat jernih. Terpukau dengan keindahannya. Tiba-tiba aku kehausan. Aku membaringkan tubuh tengkurap di tepi sungai dan mengambil air dengan kedua tangan yang dicekungkan membentuk sebuah cerukan, meminumnya berkali-kali. Puas menghilangkan dahaga, kucelupkan wajah ke dalam air sebentar, menikmati kesejukannya. Airnya benar-benar dingin dan menyegarkan. Hmm … tempat apa sebenarnya ini…? Kembali batinku mempertanyakan. Aku menopang dagu, termangu sambil memandang ke dalam air, memikirkan bagaimana bisa berada di tempat seperti ini. Hingga sesuatu yang baru kusadari membuatku terhenyak, menegakkan kepala dan melotot tak percaya. Merangkak, aku menyentuh permukaan air pelan, jari telunjukku menghasilkan pusaran kecil di sana, bayangan di dalamnya memudar. Dan ketika pusaran air mulai menghilang, aku melihat bayangan itu lagi. Wajah seorang wanita dengan rambut berwarna kuning cerah yang panjangnya sebahu, tergerai lepas. Aku melompat mundur begitu menyadari sesuatu, lalu meneliti kondisi tubuhku. Apa ini? Kutarik rambut kuning yang menempel di kepala. Mungkin ini wig, batinku.  Tapi, itu asli. Aku mendekat ke tepi sungai lagi, kali ini berdiri tegak, kembali menatap air jernih yang memantulkan bayanganku—aku yang tidak kukenal. Dengan balutan celana kargo warna krem tua, blus ketat hitam, ikat pinggang besar dan sepatu boat, aku terlihat seperti tentara wanita. Ditambah dengan dua benda yang menempel di pinggang, benda yang hanya dengan melihatnya mampu membuatku gemetar. Seumur hidup, aku tidak pernah menyentuh senjata api, dan sekarang benda itu tergantung di kedua sisi tubuhku. Aku terduduk lemas, takut, panik, dan bingung menyatu memunculkan debaran kencang yang tidak bisa kutolerir. Berjam-jam berada dalam posisi seperti itu, akhirnya aku sadar hal yang kulakukan adalah sia-sia. Semula dengan diam, aku berharap terbangun dan menyadari ini hanya mimpi. Namun, rasa lapar akhirnya memberi tahu kalau semuanya bukan mimpi. Aku teringat laptop tua dan folder yang kubuka. Otakku menangkap, itulah yang membawaku kemari. Jadi, tidak ada pilihan lain. Harus kuhadapi.  Dan saat ini, hal pertama yang akan kulakukan adalah mencari makanan.   ****  Aku menemukan buah yang menggantung sangat rendah di pohonnya, warnanya merah cerah, mengkilat seolah menggambarkan keranumannya. Air liurku terasa jatuh di tenggorokan, cepat-cepat memetik buah itu banyak-banyak dan membawanya ke bawah pohon yang rindang. Bersiap menggigit satu buah itu. “Hei!” Aku terkejut ketika sesuatu menyambar makananku, melihat seekor burung hitam mengambil alih buah itu dengan paruhnya. Aku hanya menggeleng kesal, meraih yang lain. Namun, kembali burung itu mendekat, kali ini menyapukan sayapnya ke buah-buahan yang kupetik hingga berantakan. Aku berusaha melarang, melindungi makananku, tapi burung itu lebih tangkas. Kali ini dia mematukinya hingga buah itu tercecer ke mana-mana. Aku mendesah kesal, kembali duduk dan bersandar pasrah. “Terserah kau sajalah,” gumamku menyerah. Burung itu terdiam, aku meliriknya, memutar bola mata ketika melihatnya menatapku seolah meminta maaf. Aku merasa gila di sini, mana mungkin burung itu meminta maaf. Kembali aku mendesah, kali ini karena rasa lapar yang semakin menjadi. Memandang dengan sedih buah-buahan yang tadi kupetik kini sudah tidak berbentuk, hampir saja kualihkan pandangan ketika mataku menangkap kepulan asap hitam dari potongan buah itu. Reflek melekatkan tatapanku. Kepulan asap itu hanya sesaat, kemudian menghilang. Namun, aku dikejutkan dengan bekas menghitam pada rumput di mana buah itu tergeletak. Menghitam seolah terbakar. Tanpa sadar, aku meraba tenggorokan, tercekat, menyadari sesuatu. Aku berpaling pada burung yang kini terbang dan hinggap pada salah satu dahan. Siapa sangaka, ternyata dia ingin menyelamatkanku. “Terima kasih,” kataku tersenyum lebar. Si burung mengangguk-angguk seolah mengerti. Dia terbang dan hinggap di kepalaku, terbang lagi menjauh dan hinggap di dahan yang berbeda, berulang-ulang hingga beberapa kali. Kurasa dia ingin mengajakku ke satu tempat. Maka, aku berdiri dan mengikutinya. Burung itu terbang rendah, memanduku sampai ke sebuah pohon apel. Mataku berbinar, belum pernah kulihat pohon dengan buah selebat ini. Aku mendekati pohon itu dan menggoyangnya, pohonnya terlalu kokoh, tak ada satu apel pun yang terjatuh. Aku menoleh pada burung dan menggeleng putus asa. Lagi-lagi dia seakan mengerti, burung itu terbang ke dahan yang penuh dengan apel dan mematuk-matuk apel-apel itu hingga berjatuhan. Aku tersenyum senang, memungut hingga lekukan lenganku penuh dengannya. “Cukuup…” teriakku ceria, seraya menghempaskan b****g ke atas rumput yang terlihat paling tebal, mengunyah sebuah apel. Si burung menghampiri, bertengger tepat di depanku. Aku menyipitkan mata ketika menangkap benda berwarna coklat yang menggantung di leher burung itu. “Kemarilah,” kataku penasaran, melambaikan tangan agar burung mendekat. Dia terbang mendekat. Aku mengelus leher belakangnya, menyentuh sebuah tali yang melingkari leher dan merabanya hingga sampai ke muka. Menemukan gulungan kulit kayu kecoklatan dengan panjang sekitar satu centi. Aromanya khas. Aku mengenal jenis kayu itu. “Cinnamon?” gumamku pelan. Dia mendongak menatapku, paruhnya membuka menutup seakan ingin berbicara, kemudian mengangguk-angguk cepat. “Namamu Cinnamon?” tebakku asal. Aku tertawa sumbang melihat dia mengangguk. Okay, aku merasa sudah benar-benar gila, dan … takut. Aku berdeham keras, menetralisir perasaan. Berpikir, Mia! Kau dibawa ke sini oleh sebuah folder pada laptop tua yang kau temukan di gudang atas anjuran seorang pria aneh. Jadi, sudah jelas ini bukan dunia nyata, dan di dunia yang tidak nyata, wajar kalau kau berkomunikasi dengan burung. Itu wajar! Itu berarti aku tidak gila. Aku merasa lebih baik, anggap saja ini petualangan di dunia lain, seperti Lucy dan saudara-saudaranya di Narnia. Aku tertawa sendiri, kembali menyantap apel-apel itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN