Bab 1

1156 Kata
Aku tidak pernah punya keinginan menjadi perawan tua. Namun, kenyataan berkata lain, usia yang menginjak 26 tahun dan belum menikah…. Huh, Tuhan mengujiku. Rasanya kesialanku hari ini bertambah. Terlambat bangun dan harus mengejar bus untuk sampai ke kantor, terjatuh saat keluar dari lift, dan sekarang menghadapi komputerku yang mengeluarkan asap. Tidak bisa dipakai. Kesialan apa lagi yang akan datang? “Mas, Mas…” panggilku ke arah mekanik kantor yang kebetulan lewat. Entah suaraku yang kurang keras atau dia yang tuli, dia sama sekali tidak mengindahkan. “Mas Teguh!” teriakku lebih keras. Mas Teguh menoleh. Aku menunjuk komputer yang ada di meja kerjaku dan berkata, “Aku butuh bantuan.” “Wah, maaf, Neng. Bos memanggil saya,” jawab Mas Teguh, kemudian berlalu terburu-buru. “Minta tolong mekanik divisi sembilan aja, Mi. Kalau udah dipanggil Bos, biasanya bakalan lama.” Mas Bram, salah satu senior divisiku memberi saran. Aku hanya  menggumam tidak jelas, pergi ke divisi sembilan sama saja bunuh diri. Entah mengapa, semua karyawan yang ada di sana tidak menyukaiku. Jika di divisi tujuh—divisi di mana aku berada—masih ada yang setidaknya “mau berbicara” denganku, divisi sembilan kompak memusuhiku. Aku duduk kembali, memandangi komputer, berharap ada kekuatan super di mataku dan bisa memperbaiki benda itu hanya dengan menatapnya. “Komputernya nggak bakal berfungsi hanya dengan dipandangi gitu, Mi.” Aku mendongak dan melihat cengiran Mas Bram yang sedang lewat. Kubetulkan letak kacamataku, dan menghela napas. Meskipun menjengkelkan, tapi Mas Bram benar. Aku harus segera mencari mekanik lain kalau tidak ingin disemprot Mba Jenny—kepala divisi—yang galaknya minta ampun. Seperti biasa, aku berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru, menyusuri lorong kantor menuju divisi sembilan yang berada satu lantai dengan divisiku. Aku sampai di ruangan yang terkenal dengan wanita-wanita pesoleknya, lalu masuk dengan langkah ragu. Di mana dia? Mana … mana. Batinku gugup, seraya menyapukan pandangan ke seluruh ruangan, mencari pria tua berseragam overall biru dongker yang menjadi ciri khas mekanik PT. Render Company. Sementara puluhan pasang mata mulai memperhatikan. Telingaku mulai menangkap bisikan-bisikan mereka. “Psstt … Madam Culun, tuuh,” kata seorang wanita terkikik geli. “Perawan tua,” kata yang lain. “Gimana mau laku, dandanannya aja kaya gitu.” Telingaku mulai panas, mereka pikir aku tidak mendengarnya? Atau mereka tidak peduli aku mendengar mereka? Dasar wanita-wanita culas! Dan seperti biasa, aku memilih menghindar. Berlalu dengan langkah terseok menuju toilet. Di depan cermin besar, aku menatap bayanganku. Celana kulot lebar, blus lengan panjang yang kumasukkan dan sepatu pantovel tanpa hak. Pandanganku beralih ke wajah berminyak dengan bedak tipis yang mulai luntur, tanpa sentuhan make-up. Ditambah dengan rambutku yang lepek, aku benar-benar terlihat sangat jelek, Apa karena penampilanku, yang menyebabkan aku belum menikah sampai sekarang? Jika memang benar seperti itu, para pria di dunia ini tidak kalah piciknya dengan para wanita divisi sembilan. Yang hanya menilai dari luarnya saja. Sepertinya aku mulai membenci kehidupanku. Teringat dengan permasalahan komputer yang belum selesai, aku memutuskan kembali. Langkahku tergesa, hingga tanpa sengaja menyerempet seorang pria tua dengan setelan perlente yang berpapasan denganku. Laki-laki itu berhenti, menoleh padaku dan tersenyum ramah. “Maaf.” Suaranya terdengar tegas meski hanya berupa gumaman. “S-saya yang minta maaf, Pak,” kataku gugup. Merasa bersalah sekaligus heran dengan kesantunannya. Dari penampilannya, pria setengah baya itu bukanlah orang biasa, dan di kantor ini, jarang sekali golongan elit bersikap santun terhadap bawahannya. Mungkinkan pria itu salah satu klien perusahaan? Pria  itu tersenyum. “Kau bekerja di sini?” tanyanya ramah. “Ya, Pak.” “Ini masih jam kerja, kan? Kenapa kau ada di sini?” “Eh—anu, tadi saya mencari mekanik kantor, tapi tidak ada.” “Ada keperluan apa dengan mekanik?” “Komputer saya rusak, Pak,” sahutku semakin heran dengan sikapnya. “Oh, kalau masalah itu, coba kamu pergi ke gudang di lantai lima belas. Di sana ada beberapa laptop yang tidak terpakai, kau bisa memakainya sementara komputermu diperbaiki.” Keherananku semakin bertambah. Pria itu tidak mungkin seorang klien. Dia terlihat sangat mengenal kantor ini. Namun, aku hanya menganggukkan kepala dan berpamitan untuk ke gudang. Seperti sarannya. “Eh!” Aku menoleh. “Siapa namamu?” “Mia, Pak.” “Mia, apa kau tahu siapa aku?” Aku menggeleng ragu. Pria itu tersenyum, kemudian berkata, “Pergilah, kau bisa dimarahi atasanmu kalau terlalu lama di sini.” Lagi, aku mengangguk. Berjalan tergesa, menyimpan semua pertanyaan tentang laki-laki itu di dalam hati. Di lift aku termangu, masih disibukkan dengan perasaan heran yang merayap. Aku merasakan sesuatu yang aneh tentang pria itu, entahlah, seperti sebuah gambaran tentang sesuatu yang belum pernah kualami, namun terasa sangat dekat. Ting Pintu lift terbuka, aku melangkah keluar, kembali menyusuri lorong. Berbelok beberapa kali hingga sampai di sebuah pintu bertuliskan “GUDANG”. Aku masuk, menekan saklar lampu yang berada di sisi kiri pintu, seketika ruangan menjadi benderang. Kuedarkan pandangan hingga menangkap sebuah rak yang tertutup plastik bening. Beberapa laptop terjajar rapi di dalamnya. Menarik plastiknya sedikit, aku menepiskan debu-debu imajiner (ruangan ini ber-AC, jadi tidak ada debu yang sesungguhnya. Ini hanya tentang kebiasaanku saja.). Pandanganku langsung tertuju pada laptop dengan warna hitam yang sudah memudar. Entah kenapa, laptop itu mengingatkanku akan … diriku. Berjajar di antara benda lainnya yang masih mengkilat, laptop tua yang kini ada di tanganku terlihat menyedihkan. Aku merapikan kembali penutup rak, dan keluar dari ruangan itu dengan membawa laptop yang kupilih. Sampai di ruangan tempat aku bekerja, aku melihat Mas Teguh sedang melepas kabel-kabel komputer dari CPU. “Kok dilepas, Mas?” tanyaku. “Rusaknya parah, Neng. Butuh beberapa hari untuk perbaikan.” Aku mengangkat bahu. Untung sudah ada penggantinya. Sepeninggal Mas Teguh, aku merapikan meja, mengelap debu-debu yang tersisa dengan tisu dan meletakkan laptop di atasnya. Lalukunyalakan laptop itu.  *****  Karena komputer yang rusak, pekerjaanku jadi tertunda, dan sebagai konsekuensinya aku harus pulang paling akhir hari ini. Aku merentangkan badan, mengedarkan pandang ke ruangan yang sudah kosong, lalu bergegas menutup laptop dan mempersiapkan diri untuk pulang. Mengerikan berada di ruangan luas sendirian. Aku melangkah keluar setengah berlari, hampir bertabrakan dengan penjaga gedung. “Hati-hati, Non.” “Eh—iya, maaf, Pak. Saya buru-buru,” jawabku sambil terus berlalu. Pukul sebelas malam. Aku harus mengejar waktu agar tidak tertinggal bus yang menuju tempat tinggalku. Aneh, aku merasa ada yang mengikuti. Langkahku semakin cepat, bahkan mulai berlari, namun perasaan diikuti masih saja kurasakan. Berkali-kali menoleh untuk memastikan, tidak ada apa-apa yang kulihat. Untungnya aku tidak sendirian saat berada di lift. Di pemberhentian bus, aku hanya menunggu sekitar lima menit. Selanjutnya sudah berada di dalam bus seraya menikmati pemandangan Jakarta malam hari (Kebiasaan yang sangat aku sukai. Cobalah memperhatikan Jakarta di malam hari, gedung-gedung tinggi dengan lampu berpendar yang berwarna-warni, siluet cahaya dari kendaraan-kendaraan lain, hingga LED Display di pinggir-pinggir jalan yang menghadirkan nuansa kemeriahan). Setengah jam kemudian, aku sudah sampai di apartemenku. Jangan membayangkan apartemen mewah seperti milik para artis, aku hanya menempati apartemen type studio yang kusewa dari seorang teman. Satu dari sedikit teman yang kumiliki. Hari ini sangat melelahkan, setelah mandi aku ingin segera tidur. Sugar … Sugar…. Suara itu seolah memanggilku, menarikku ke suatu tempat yang penuh dengan warna keemasan. Sugar…. Aku berputar, memperhatikan sekeliling. Pohon-pohon yang menjulang tinggi; batu-batu besar; embusan angin kencang yang menerbangkan helaian rambutku, juga langit hitam dengan bulan keperakan yang bersinar penuh. Di mana ini? Sugar…. Suara itu kembali terdengar. Kenapa aku merasa suara itu memanggilku? Bunyi gemerisik semak di sebelah kiri menarik perhatianku, sebuah anak panah tiba-tiba melesat mendekat. Tanpa bisa menghindar, aku menangkap anak panah itu tepat beberapa inch sebelum menyentuh hidungku. Seorang pria keluar dari semak, menatapku dengan sorot matanya yang tajam. “Ginger….” Tanpa bisa kucegah, sebuah nama lolos dari bibirku. Aku tersentak, terbangun. Ginger … siapa dia? Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN