Bab 2 Cinta Satu Malam

2014 Kata
Pagi menjelang dan Noctis masih tertidur pulas setelah dirinya melakukannya bersama Stella berkali-kali sampai kelelahan, namun tidak untuk gadis keturunan Amerika itu, gadis? Apakah masih pantas dirinya disebut gadis setelah kejadiam malam yang begitu amat panas kemarin? Ya Tuhan... Stella masih tak menyangka jika dirinya akan melakukan hal itu bersama dengan orang asing seperti Noctis, wanita itu bahkan turut menikmatinya, Noctis begitu sangat kuat dan menggoda, tubuhnya yang harum dan memabukkan benar-benar membuat Stella terlena dan tak mampu memberontak. Tapi Stella harus cepat-cepat pergi, Noctis tak boleh sampai melihatnya lalu menghinanya w************n seperti di n****+-n****+ yang sering ia baca, Stella tak menyesalinya, ia rela menolong Noctis yang sedang dalam pengaruh obat perangsang. Anggap saja itu bantuan, dan setelah ini mungkin ia akan keluar dari show room milik dokter tampan itu, Stella tak ingin ada masalah diantara mereka lagi. "Hhh... Ternyata kamu bukan gay." Gumam Stella sembari mengusap rahang kokoh milik Noctis, sejak awal Stella memang sudah menaruh perhatian pada pria itu, tapi ia tak mau berharap lebih, ia takut kecewa dan terluka karena harapan kosongnya. Wanita itupun akhirnya cepat-cepat pergi sebelum Noctis bangun, meskipun harus berjalan tertatih-tatih karena miliknya terasa begitu perih seperti terkoyak-koyak, namun Stella tetap menahannya dan berusaha berjalan dengan biasa. *** Seminggu telah berlalu, Stella masih bekerja seperti biasa, Noctis juga bersikap seperti biasa, mereka bahkan sering berpapasan di tempat kerja namun seakan tak ada apa-apa diantara mereka berdua. Noctis bahkan tak pernah melirik Stella sedikitpun, pria itu bahkan semakin dingin tak tersentuh, akan tetapi Stella yang sering mencuri-curi pandang kearah pria itu, namun tetap tak ada respon, dan hal itu entah kenapa malah membuat Stella menjadi sedih, kenapa Noctis melupakan kejadian itu begitu saja? Apakah pria itu lupa jika yang ia nodai adalah karyawannya? Kenapa Stella malah kecewa. "Napa sih lihatin pak Noct terus? Naksir Lo ya? Dia udah punya calon istri tauk." Ujar Dona pada Stella, kata-kata terakhir Dona membuat Stella agak sedikit shock. "Apa sih mbak! Siapa juga yang lihatin pak Noct, orang saya lihatin lampu kok." Dusta Stella yang tampak salah tingkah. Namun bukan Dona namanya kalau tidak sadar akan hal itu. "Alah... Nggak usah pura-pura deh Lo! Gue tau Lo suka dia, gue juga suka sama dia, tapi kita harus sadar, yang kita sukai itu bos kita, jadi dia nggak bakalan mungkin ngelirik kita. Sekelas pak Noct gitu, Lo emang bule, tapi Lo kan bule kere, sadar diri Lo!" Kata-kata Dona ini selalu saja menusuk-nusuk dan suka terang-terangan, orangnya memang blak-blakan dan Stella sudah terbiasa dengan hal itu. Jadi ia tak akan mungkin ambil hati. "Iya-iya, ini udah sadar kok, nggak usah diingetin juga keles." Ungkap Stella dengan tatapan sebal. "Stel! Kantin yuk! Udah jam makan siang nih." Ajak Karin, teman sesama SPG Stella. "Yuk! Gue juga lagi haus banget pengen yang seger-seger." "Ayo!" Mereka berdua pun segera menuju kantin meninggalkan Dona yang hanya geleng-geleng kepala tak habis pikir kepada Stella. *** Di lain tempat, Noctis saat ini masih tak bisa fokus dengan pekerjaannya, seperti sebelum-sebelumnya, pria itu masih tak mampu melupakan kejadian seminggu yang lalu, ia masih merasa amat bersalah, namun ego dan gengsi pria itu begitu amat tinggi hingga ia malu meminta maaf dan menemui Stella secara langsung. Noctis merasa b******k, ia layaknya kebanyakan pria diluaran sana yang suka mempermainkan wanita, apalagi ia memaksa Stella tidur dengannya. Masalahnya kenapa harus karyawannya? Kenapa bukan wanita malam atau wanita lain yang biasa menjajakan tubuhnya? Kenapa harus Stella? Wanita asing yang masih sangat muda dan tak pernah Noctis kenal sebelumnya. Noctis ingin meminta maaf, tapi ia bingung harus memulainya dari mana, ia bahkan tak pernah menganggap Stella ada karena ia merasa bersalah dan malu. Tapi bagaimana jika sesuatu terjadi pada Stella nanti? Apa yang harus Noctis lakukan? Bertanggung jawab? Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya? Entahlah, ia begitu bingung. Namun tiba-tiba Noctis tersadar dari lamunannya, ponselnya berdering menandakan ada panggilan yang masuk. 'Ya Bay!' 'Gue lagi sama Regan sama Revan, Lo dimana? Lagi nggak ada jadwal kan?' 'Hm, tadi Revan sempat kirim pesan, kalian sedang di kafe biasanya? Aku kesana sekarang.' 'Iya kita lagi di kafe biasanya.' 'Ya udah aku kesana sekarang.' Noctis pun menutup teleponnya, lalu ia segera bergegas mengambil jaket dan kunci mobil, saat ini ia memang sedang butuh teman-temannya, karena mungkin dengan bertemu mereka maka Noctis bisa melupakan segala masalahnya. *** Saat kembali ke tempat kerja, Stella tak sengaja berpapasan dengan Noctis, wanita itu bahkan sempat bertubrukan dengan pria tampan yang penuh akan pesona itu. "Ah! Maafkan saya." Ungkap Noctis sembari membantu Stella memunguti beberapa camilan yang berjatuhan. "Nggak apa-apa pak." Balas Stella. "Sekali lagi maaf, saya buru-buru." Setelah membantu Stella, Noctis pun segera pergi meninggalkan wanita itu. Demi Tuhan kedua mata Stella langsung memanas ketika melihat Noctis membiarkannya begitu saja, entah ia yang terlalu cengeng atau memang suasana hatinya sedang tak bersahabat, Stella rasanya ingin sekali menangis dan melempari kepala pria itu dengan batu, tapi mana mungkin ia melakukannya? "Stel Lo nggak apa-apa kan? Kok Lo pucet gitu? Lo baik-baik aja kan?" Tanya Karin dengan nada cemas. "Ya-ya, gue baik Rin." Suara Stella bahkan sampai tercekat dan tertahan ditenggorokan, wanita itu seakan tak mampu berkata-kata, hatinya sakit seperti disayat-sayat. "Yuk! Pak Noct emang gitu, cuek banget orangnya, dingin kayak es. Nggak usah Lo ambil hati." Tutur Karin membuat Stella mengangguk paham. 'Tapi nggak gitu juga kali, harusnya dia minta maaf sama gue, apa dia nggak ingat sama sekali atas kejadian itu? Dia emang bukan gay, tapi dia pria b******k, jadi apa bedanya, sama-sama nyakitin hati gue.' gumam Stella dalam hati dengan perasaan pilu, sudahlah! Percuma saja ia berharap pada pria dingin seperti Noctis, hal itu cuma akan membuang-buang waktunya saja. "Udah dong Stel... Jangan sedih-sedih lagi yuk! Nanti gue kenalin sama temen-temen cowok gue yang ganteng-ganteng dan tajir, atau Lo mau sugar Daddy juga ada." "Nggak Rin, makasih. Gue nggak tertarik." Balas Stella dengan tatapan lesu, lalu iapun segera bergegas meninggalkan Karin. "Stella! Tungguin gue!" Dan Karin pun segera berjalan cepat mengejar Stella. *** Noctis tak pernah berbuat jahat dan sebrengsek ini sebelumnya, ia adalah pria yang sangat jujur dan baik, tak pernah sedikitpun ada niat jahat yang terpikirkan didalam otaknya. Oleh sebab itu, ia selalu dihantui rasa bersalah yang membuat hari-harinya tak pernah bisa tenang seperti biasanya. Bayang-bayang wajah Stella selalu ada di dalam pikirannya, dan hal itu membuat Noctis selalu saja merasa gelisah. "Hay Noct! Udah selesai? Makan malam bareng aku yuk! Kangen kamu nih... Udah seminggu kita nggak ketemu." Ajak Selena dengan wajah penuh harap. "Ck." Noctis hanya berdecak, kehadiran Selena yang selalu saja tiba-tiba membuat pria itu merasa jera. "Kali ini jangan nolak yah please... Sekali aja! Abis itu aku janji nggak akan minta macem-macem dan gangguin kamu lagi. Ya!" Bujuk Selena dengan nada manja. "Hm." Dan Noctis pun akhirnya mau menuruti kemauan wanita itu karena diiming-imingi hal yang selama ini memang ia inginkan. "Asyik... Makasih Noct." Selena tampak girang sekali hingga ia melompat-lompat seperti anak kecil, lalu wanita itu pun memeluk Noctis secara tiba-tiba membuat Noctis dengan reflek langsung menepis pelukan Selena. "Jangan pernah peluk saya seenaknya!" Tegas Noctis dengan tatapan menusuknya membuat Selena langsung terdiam mematung. "Ma-maaf, aku lupa." Ungkap Selena dengan wajah sedih, Noctis pun semakin muak melihatnya. Lalu iapun segera bergegas meninggalkan Selena menuju ruang ganti, sedangkan Selena tampak tersenyum puas dengan wajah tanpa dosanya. "Akhirnya dia mulai luluh juga." Gumamnya dengan penuh suka cita. *** Di lain tempat, Stella kini sedang bersama dengan Reina, Stella yang awalnya diam saja kini harus terpaksa menceritakan segalanya pada sepupunya itu, Reina curiga karena sikap Stella yang akhir-akhir ini begitu sangat berbeda, Stella begitu pendiam dan tampak murung, wajahnya juga tak seceria biasanya, ia begitu terlihat pucat dan sedih, oleh sebab itu Reina mengintrogasi Stella dan memaksa sepupunya itu untuk menceritakan masalahnya. "Terus gimana? Masalah kayak gini masak Lo mau diem aja? Gila Stel inget... Dia tuh udah paksa Lo gitu aja masak Lo mau diem aja sih? Harusnya Lo tuh minta tanggung jawab sama dia bukan malah pasrah kayak orang bego begini. Enak di dia gak enak di elo dong! Terus kalau Lo sampai hamil gimana?" Ucapan terakhir Reina langsung membuat Stella terdiam seketika, ia benar-benar melupakan hal itu, apalagi sekarang tamu bulanannya belum juga datang. "Emang dia pakai pengaman? Lo tau kalau dia pakek pengaman? Enggak kan? Gue yakin dia pasti nggak pakek pengaman apa-apa secara dia kan nggak sadar, terus kalau udah gini gimana? Lo tuh t***l banget ya!" Omel Reina, Stella pun langsung menunduk sedih, kedua matanya langsung berkaca-kaca, ia tak menyangka bila nasibnya akan bisa seperti ini selama berada di Indonesia. Stella tak bisa membayangkan bagaimana jadinya hidupnya nanti bila ucapan terakhir Reina itu benar-benar akan terjadi. Bagaimana reaksi keluarganya nanti bila hal itu sampai menimpa Stella? Di Amerika hal itu memang sudah biasa, namun beda halnya bagi Stella, Stella sangat menjaga dirinya baik-baik, apalagi hal yang paling berharga dalam hidupnya yaitu kehormatannya. Tapi gara-gara Noctis, hidup Stella kini tengah berada diambang kehancuran. "Atau kalau Lo nanti emang beneran hamil, gue anterin pulang deh, di Amerika kan aborsi termasuk hal yang legal, nanti gue temenin deh sampai semuanya selesai." Tutur Reina secara gamblang membuat Stella benar-benar tak habis pikir. Mungkin bagi Reina hal itu memang biasa, tapi bagi Stella tidak sama sekali, membunuh calon bayi yang tak bersalah apapun adalah dosa besar, apalagi bayi itu adalah calon anaknya nanti. Stella pasti akan merasakan penyesalan dan rasa bersalah disepanjang hidupnya bila sampai melakukan aborsi. "Entahlah gue pusing." Wanita itupun kembali menaruh kepalanya diatas meja, namun entah kenapa kedua matanya tiba-tiba menangkap sosok Noctis yang tengah duduk bersama seorang wanita cantik, mereka berdua sedang makan bersama rupanya di restoran ini. Sontak Stella pun langsung teringat akan kata-kata Dona. 'Apa dia calon istrinya?' gumam Stella dengan tatapan sedih, tentu saja, wanita mana yang tidak sedih melihat pria yang sudah tega menidurinya kini sedang bersama dengan wanita lain. Ya Tuhan mengapa nasib Stella selalu seperti ini jika berhubungan dengan pria tampan? Selalu saja disakiti dan dikecewakan. "Lo lihatin siapa?" Tanya Reina penasaran sembari menatap kearah Noctis dan juga Selena. "No." Dusta Stella. "Ngapain Lo lihatin pasangan itu? Mereka serasi ya? Cuih! Enggak banget, tuh laki cool abis, mana cocok sama cewek genit macam dia. Anggun sih anggun, tapi matanya jelalatan, najis gue lihatnya." Ujar Reina secara terang-terangan. 'Dia pria yang udah nidurin gue Rei.' gumam Stella dalam hati. "Pulang yuk! Gue mau istirahat, capek banget." Ajak Stella. "Tumben banget, Lo nggak beneran hamil kan?" Tanya Reina curiga, dan dibalas pelototan oleh Stella. "Nggak usah ngaco deh! Gue lagi mens." Lagi-lagi Stella berbohong, padahal ia sudah telat lima hari. "Sukur deh. Yuk!" Kedua wanita itupun segera bergegas meninggalkan restoran, dan tanpa Stella sadari, sejak tadi Noctis juga menyadari keberadaannya, namun pria itu hanya diam saja, ia tak tahu harus berbuat apa, pria itu terlalu bingung. Namun semakin ia diam dan menghindar, maka perasaan bersalah itu akan semakin menghantuinya. *** Beberapa hari kemudian Stella semakin merasa aneh dengan tubuhnya, ia menjadi semakin malas dan sering mengantuk, tak jarang ia bahkan sampai ketiduran saat bekerja dan hal itu membuat Dona langsung mengomelinya habis-habisan. "Niat kerja nggak sih Lo? Mau makan gaji buta ya?" Seru Dona membuat Stella langsung kelabakan. "Maaf mbak Don." Ungkap Stella dengan perasaan bersalah. "Maaf-maaf, kerja yang bener! Jangan ngandelin muka doang, tapi profesionalitas kerja juga harus nomor satu." "Iya mbak iya, maafin saya." "Kalo lagi sepi Lo bisa istirahat bentar kalau emang lagi nggak sehat, tapi sekarang lagi rame jadi Lo tahan-tahan dulu." "Iya mbak." Angguk Stella mengerti, meskipun culas, namun Dona rupanya juga perhatian. 'Duh... Gue ini kenapa sih...?' tanya Stella dalam hati, ia begitu takut, takut sekali jika apa yang ia khawatirkan memang benar-benar terjadi. *** Hari ini Noctis kembali pulang larut, sudah beberapa hari ini ia tak mengunjungi show room karena jadwal dirumah sakitnya yang padat, tapi hari ini ia menyempatkan diri untuk memeriksa show room. Namun saat akan pulang, pria itu tiba-tiba saja berpapasan dengan Stella, bahkan sampai bertubrukan, hal yang tak pernah ia duga-duga sama sekali sebelumnya. Noctis pun mengira jika ini memang takdir Tuhan, ia memang harus bicara dengan gadis yang sudah ia renggut kehormatannya itu, dan ini adalah saat yang tepat untuk meminta pengampunan dari wanita berdarah Amerika itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN