Dia hampir tak mengenali orang yang berdiri di depan pintu apartemennya saat ini saat dia berbalik, membuat mereka saling bertatapan. Tatapan mata tajam dan bertanya bertemu dengan pandangan mata takut - takut dan tak yakin,
"Agni?"
"Eh, Hai Rafa. Aku ganggu kamu malam - malem, ya. Maaf. Aku balik lagi besok aja, ya." Gadis yang tadi mengetuk pintu apartemennya, meminta maaf dengan kikuk, matanya bulatnya memandang ke segala arah dengan gugup, menghindari tatapan mata tajam Rafa. Dia akhirnya menundukkan kepalanya sebentar sebelum bersiap melangkah pergi dari sana.
Entah apa yang dipikirkan Rafa, tapi mata gugup Agni sedikit mengusik sesuatu di dalam hatinya. Sebelum dia sempat memilah apa yang sebenarnya dia rasakan, tangannya sudah bergerak terlebih dulu untuk menangkap tangan ramping gadis tersebut dan menahannya.
"Udah tau kalo ini malem. Mau pergi ke mana?"
"Eh itu...." Gadis itu berusaha mencari jawaban dalam kegugupannya.
Rafa membuka pintu apartemennya semakin lebar. Secara tak langsung mengundang gadis itu untuk masuk ke dalam. Tapi Agni yang terlalu kikuk tak berani bersikap begitu percaya diri pada pria di depannya ini dan asal masuk ke dalam.
"Di luar dingin, kita mau berdiri di luar kayak gini sampe kapan?"
Teguran keras itu menyentak Agni. Dengan tak yakin, dia melangkah ke dalam apartemen Rafa, Di belakangnya, dia bisa mendengar Rafa bergerak untuk menutup pintu.
"Sori agak berantakan." Rafa meminta maaf. Segera beranjak ke sofa kecil dan membereskannya dari baju - baju kotor yang menumpuk di sana dan mempersilakan Agni duduk. "Mau minum apa?"
"E..."
"Adanya air putih sama bir."
Agni menutup mulutnya seketika. "Air putih aja," Katanya pada akhirnya.
Saat Rafa beranja ke ceruk kecil yang mungkin adalah dapur, dia mengedarkan pandangannya pada apartemen kecil yang ditempati oleh teman masa kecilnya ini. Teman? Agni menggeleng, tak ingin memikirkannya lebih lanjut.
Tempat ini sebenarnya tak buruk. Hanya berantakan. Perlu sedikit dibersihkan. Dia pernah ke sini dulu, dua kali. Yang pertama mengantar kakek Rafa ke sini, saat itu neneknya sedang sakit, dan ingin melihat Rafa untuk yang terakhir kali. Tapi pemuda itu menolak dan bahkan mengusir kakeknya mentah - mentah di depan pintu, hingga saat terakhir neneknya tak bisa bertemu dengannya lagi. Sebenarnya saat itu mereka tak bertemu dengan Rafa. Mereka bertemu dengan kekasih pria itu yang kebetulan sudah tinggal bersama di apartemen ini. Gadis itu yang mengusir mereke.
Kemudian yang kedua, saat dia datang, mengabarkan kematian Kakeknya, dan saat itu, Rafa hendak bekerja. Dia yang menolak masuk. Dia hanya mengabarkan itu dan memberikan surat dari Kakeknya. Kalau tak salah, itu adahal DP pertama pembelian tanah dan rumah mereka. Dia langsung pamit setelahnya karena dia merasa kesal pada Rafa saat itu yang hatinya mengeras. Yang meninggal adalah kakeknya, tapi selain kalimat.
"Ah, sekarang Kakek juga pergi," dia tak mengatakan apa pun lagi.
Lalu yang ketiga adalah saat ini. Jadi, ini pertama kalinya dia masuk ke kediaman Rafa.
Pria itu kembali dengan membawa botol plastik dingin bening dan memberikannya kepada Agni. Gadis itu menerimanya dengan tangan kanannya.
"Makasih."
"Sori seadanya."
"Iya, nggak papa." Diam. "Eh, kamu tau nggak hotel dekat sini?"
"Kenapa?"
"Eh... udah malem. Kendaraan pulang ke desa juga udah nggak ada. Buat bermalam aja, besok baru aku pulang."
"Kenapa harus hotel?" Agni memandang Rafa bingung. "Nginep sini aja,"
"Eh?"
"Kenapa? Takut kuapa - apain?"
Sebenarnya iya, tapi Agni terlalu takut untuk jujur pada Rafa. Dari dulu gadis ini takut pada Rafa karena Rafa terkenal galak, meskupun amat penurut pada Kakek Neneknya. Terlebih setelah dia pergi ke kota dan bertemu dengan pacarnya, rasanya ketakutannya pada Rafa semakin menjadi - jadi. Tapi apa boleh buat. Kakeknya mewasiatkan pada dia seorang untuk memberikan pemberian terakhirnya pada cucu satu - satunya ini. Jadi dia tak punya pilihan.
Dia tentu saja tak mengatakan sepatah kata pun pada Ayahnya tentang hal ini. Ayahnya entah kenapa sangat membenci keluarga Rafa, Keluarga mereka bagaikan kisah Rome dan Juliet. Hanya saja tanpa kisah cinta di antara mereka. Ya ampun, kisah cinta apanya, Agni mendengus dalam hati. Mereka berteman. Rafa selalu bilang pada beberapa temannya kalau mereka bersahabat, tapi nyatanya mereka hampir tak pernah bicara saat berdua. Mereka berangkat dan pulang sekolah bersama karena hanya mereka berdua anak di sekitar tempat tinggalnya yang masih bersekolah.
Dia ingat dia dipukul habis - habisan oleh Ayahnya saat beliau mendengar tentang hal itu. Dia diminta berjanji untuk tak pernah berangkat bersama Rafa lagi, tapi Ayahnya pun tak mau mengantar. Sehingga dia membuat kesepakatan dengan Ayahnya untuk tak berbicara dengan Rafa lagi selain saat mereka berangkat dan pulang sekolah. Ayahnya yang tak punya pilihan hanya mengangguk. Dan itu dilakukannya. Dia tak bicara selain itu dulu. Sekarang janji itu tentunya sudah tak berlaku lagi.
"Beneran takut?"
"Eh... bukan gitu. Cuma nggak enak aja bikin repot. Tunjukin aja di mana penginapannya. Aku ke sana aja." Lalu dia cepat - cepat menambahkan. "Ini. Sebenernya aku ke sini mau anter ini ke kamu."
Rafa melihat amplop tebal yang diulurkan Agni padanya. "Apa ini?"
"Orang yang beli rumah kakek kamu baru bisa lunasin sekarang. Aku minta mereka bayar cash karena aku nggak tau nomor rekening kamu. Ini biar bisa aku kasih langsung ke kamu gitu."
"Biar bisa kasih ke gue, atau biar lo bisa ke sini lagi ketemu gue?"
"Eh?"
"Nggak papa." Rafa menipiskan bibirnya dan meraih amplop coklat itu. Dia hanya mengintip isinya. Uang. Banyak. Banget. Seperti yang selama ini dia inginkan, Tapi dia entah kenapa hanya meletakkannya di atas meja dan beranjak dari sana. "Nginep sini aja. Bahawa di luar banyak begal. Gue siapin kamar buat lo."
"Eh?! Ra..."
"Tenang aja, gue tidur di sini. Lo nggak bakal gue apa - apain."
Agni meringis. Tapi saat Rafa beranjak dari sana, dia memegangi ujung kausnya di bagian belakang, membuat pemuda itu berbalik dengan wajah malas. Mengira Rafa marah, dia buru - buru melepaskannya.
"Anu.... aku tidur di sini aja. Kamu tidur di kamar kamu."
"What?"
Dia buru - buru menjelaskan dengan gugup. Kenapa, sih, dia selalu gugup saat berada di dekat Rafa? Padalah di antara teman - temann yang lain, dia dikenal sebagai yang paling kalem. Tapi kenapa dia begini hanya saat di depan Rafa?!
"Sofanya nggak terlalu besar. Badanmu bisa pegel - pegel kalau di sini. Jadi kamu aja yang di dalam. Aku di sini aja nggak papa. M-makasih udah dibolehin nginep sini, Rafa."