Dia pulang dengan lesu tak bertenaga. Bukan capek. Tapi lesu. Badannya serasa tak ada tenaga. Bahkan untuk nggak berbuat apa - apa saja dia tak ada tenaga lagi. Dia baru saja selesai membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi saat matanya tiba - tiba menatap ruang kosong di atas meja di dekat TV. Dulu, di sana ada aquarium bola kecil berisi sepasang ikan badut kecil.
Dia menamakan ikan - ikan itu Qays dan Layla. Diambil dari nama - nama pemeran sebuah kisah cinta legendaris yang terkenal sepanjang masa, Layla Majnun. Dulu, dia menertawakan Majnun yang mat* konyol di atas kuburan Layla karena patah hati dan kehilangan yang teramat dalam. Saking besarnya rasa cinta Qays kepada Layla, dia merasakan dua kali sakit yang dirasakan Layla. dia meratapi kepergian pujaan hatinya itu berhari - hari di atas kuburnya hingga dia sendiri akhirnya menyusul.
"Mana ada orang mat* gara - gara patah hati?! Mat* gara - gara nggak makan baru ada!" Ucapnya sombong saat itu.
Makanya dia membeli ikan ini dan menamakan mereka berdasarkan nama tokoh utamanya.
"Coba ya, ini nanti kalo salah satu mati yang lain ikutan mati juga nggak?" Dia terkekeh kecil.
Ikan - ikan itu tak ada hubungannya dengan Amora. Mereka dibeli olehnya jauh sebelum dia mengenal mantan pacarnya itu. Ikan - ikan itu dulu dibelinya karena merasa kesepian di apartemen ini. Dulu saat kos dia punya banyak teman. Tapi semenjak pindah ke sini, semua tetangganya hampir semuanya pekerja yang berangkat pagi pulang malam. Dia tak punya teman. Ikan - ikan itu adalah teman - teman mengobrolnya.
Lalu ke mana mereka sekarang? Mati. Dia memukul aquarium kecil itu hingga pecah di malam dia tahu Amora berkhianat padanya. Membuat Qays dan Layla mat* menggeleoar kehabisan oksigen di atas lantainya.
Sekarang, dia menyesal sudah melakukan itu. Qays dan Layla tak salah. Dan gara - gara kemarahan ya itu, Sekarang dia jadi sedikit merasa kesepian tanpa mereka.
Dia menghela nafasnya gusar. Memikirkan apa yang hilang darinya membuatnya marah. Dan dia tak suka saat dirinya sendiri marah. Dia butuh pengalihan agar kemarahannya tak semakin menumpuk. Jadi dia berjalan ke kulkas dan mengambil sebotol air dingin. Menenggaknya langsung dari botolnya hingga habis setengahnya. Tak dipedulikannya rasa sakit terbakar di rongga dad*nya karena air dingin tersebut.
Dia menendang wadah cup bekas mie instan yang sudah entah kapan berada di sana dan akan beranjak ke kamarnya saat tiba - tiba bel pintunya berbunyi. Membuat keningnya mengernyit heran. Siapa? Dua tak pernah punya tamu. Teman - temannya tak sebanyak itu dan tak ada yang cukup akrab untuk datang ke apartemennya tanpa membuat janji terlebih dahulu.
"Siapa?!" Suaranya yang serak seperti dua batu yang saling digesekkan itu menggema dijawab gaung sepi.
Kesal karena tak mendapat jawaban, dia bergegas menghampiri pintu utama apartemennya dan membukanya dengan kasar, membuat tamunya yang ada di balik pintu tersebut terlonjak kaget.
***
Ck ck ck
Serafina memggeleng gemas sendiri melihat tingkah manusia yang satu itu. Manusia yang menarik perhatiannya akhir - akhir ini hingga dia tak bisa beristirahat dengan tenang di dunia atas.
Bukan tak bisa, tapi pemuda di bawah sana itu terus menarik minatnya. Apa yang mau dia lakukan, apa pengaruhnya kepada orang - orang di sekitarnya semuanya. Dia penasaran, ingin tahu. Dan setelah tahu, fia jadi gemas sendiri.
Sikapnya kasar, brutal dan destruktif. Padahal tak perlu sampai seperti itu. Dia masih bisa diselamatkan asal dia mau berusaha. Menemukan jati dirinya dan yang penting, menemukan seseorang yang bisa menemaninya melewati semua proses penyembuhan yang tak mudah itu.
Dia sudah menemukannya. Seseorang yang akan dengan tulus membantu pemuda itu, sudah muncul. Hanya saja mereka berdua tak menyadarinya.
Dia ingin turun untuk membantu. Setidaknya melegakan kepenatan hatinya atas kehilangannya dengan kepakan sayapnya.
"Serafine, ayolah. Kau melakukannya lagi."
Dia berbalik dan menemukan sahabatnya Nymphadora bersungut.
"Kau sudah selesai rupanya." Katanya dengan nada tak berdosa, membuat sahabatnya merenggut kesal. "Jadi, kita akan melakukan apa hari ini?"
***
Tangan hitam dengan kuku panjang kehitaman itu menaburkan serbuk kemenyan sekali lagi di atas bara api, membuat kilatan merah menyambar dari tungku kecil di depannya. Mulutnya mengunyah susur. Bibir hitam bernoda merah daun sirih dan gambir itu komat kamit melafalkan mantra tak jelas.
Sesekali tangannya yang bebas mengusap benda pipih berbentuk wajan besar di pangkuannya seperti sedang membuai kepala orang tersayang.
Tak lama kemudian ruangan yang ditempatinya itu seperti bergetar. Semua tirai dan ornamen yang ada di sana bergetar seakan ada gempa kecil mengguncang mereka. Bara api semakin merah, sebelum terjadi letusan kecil dan api padam seketika, berbarengan dengan ruangan yang kembali tenang.
Mata yang sedari tadi terpejam itu akhirnya terbuka perlahan. Raut wajah puas tampak di sana. Sepertinya, dia sedang senang entah karena apa.
Kedua tangannya ditangkupkan di depan kepalanya. Dengan gerakan menunduk khidmat dia memberi hormat entah pada siapa. Kemudian dia bangkit dan menaruh pelan - pelan benda serupa wajan itu di singgasana kayu di atas salah satu meja di ruangan tersebut.
"Dengan ini, kau ataupun keturunanmu tak akan bisa kembali lagi ke desa ini. Dan lama - kelamaan, desa ini aka kembali menjadi milikku hahahaha."
Gelegar suara tawa yang jahat terdengar bergemuruh mengisi ruangan. Membuat suasana sunyi di rumah besar yang hanya berpenghuni dua orang tersebut terpecah seketika.