Tepat pukul setengah sepuluh pagi rombongan Tri tiba di depan rumah kontrakan. Mereka menjadi pusat perhatian para penghuni yang ada di sana karena datang rame-rame.
"Alhamdulillah, sudah sampai." Tri mengucap puji syukur. Perjalanan dari Bandung ke Jakarta berlangsumg lancar tanpa hambatan meski sempat macet saat berada di jalanan kota Jakarta.
Ia langsung membukakan pintu mobil.
"Kita teh sudah ada di Jakarta ya?" Nini baru saja terbangun. Ia menggosok-gosok matanya. Sepanjang jalan ia tertidur pulas dan tak sempat melihat pemandangan apapun.
"Iya, Ni," jawab Tri sambil membenahi posisi Nini.
"Nini mah tidur terus atuda jadi tidak tahu apa-apa."Aki Somad pun bersiap turun.
"Alhamdulillah Nini teu mabok." Wanita tua itu bernafas lega, apa yang dikhawatirkannya tak terjadi. Ini pengalaman pertama bepergian jauh tak mabuk, biasanya ia selalu kepayahan. Tentu saja karena sepanjang jalan wanita berusia tujuh puluh tahun itu tertidur pulas.
"Alhamdulillah." Tri tersenyum. Nini bisa kuat di perjalanan merupakan sebuah prestasi luar biasa.
Nini kembali digendong oleh Bang Bram sebab Aki yang sudah tua tak sanggup lagi melakukannya.
"Ayo, Ni!" Pria bertubuh kekar itu langsung membopongnya mengikuti langkah Tri
Sementara sang tuan rumah sibuk membuka kunci pintu kontrakan.
Adam sendiri sibuk menurunkan barang bawaan yang jumlahnya tiga tas besar.
"Bang Bram makasih banyak ya." Tri menyampaikan ucapannya karena sudah mendapatkan pertolongan.
"Sama-sama." Pria berambut gondrong itu tersenyum.
Setelah memastikan Nini Icih ditempaykan di kasur busa, Tri keluar lagi mendekat ke arah Adam, dan ia sempat menangkap sahabatnya itu memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan. Mungkin sebagai bayaran atas jasanya. Tri berjanji dalam hatinya akan segera menggantinya. Tidak sekarang atau besok karena Adam pasti akan langsung menolaknya.
"Oke, Abang cabut dulu ya, Dam." Bang Bram pergi meninggalkan kontrakan bersama mobil yang dikemudikannya. Tri tak tahu itu mobil siapa.
"Ini tempat tinggal Tri, Ni, Ki. Maaf ya kslau sempit dan kurang nyaman. Pemandangan di luar juha tak seindah di kampung. Di sini panas" Tri berujar seraya membuka jendela dan menylakan kipas angin. Tak lupa memggelar karpet.
"Tidak apa-apa, Alhamdulillah segini juga nyaman." Aki tak melakukan protes seperti yang pernah dilakukan oleh kedua orang tuanya saat berkunjung sebulan yang lalu.
"Kalau Nini sama Aki bosan di sini kalian bisa tinggal di rumah saya." Adam memberikan tawaran. Ia yakin Engkong Udin pasti senang karena akan ada teman ngobrol.
"Kamu rumahnya dimana, Dam?" Aki Somad belum sempat menanyakan alamat rumah lemuda tampan yang kini duduk di smpingnya.
"Saya tinggal di seberang sana." Adam menunjuk ke arah rumah yang terletak di seberang jalan. Sebuah bangunan betawi dengan halamannya yang cukup luas.
"Dia cucunya yang punya kontrakan ini, Ki." Tri memberikan informasi tentang jatidiri Adam.
"Oh." Aki mwngangguk-anggukan kepalanya. Ia sama sekali tak mengira, hanya menduga jika Adam adalah teman istimewa cucunya.
"Assalamualaikum." Tak lama kemudian datang Engkong Udin membawa sekntong plastik buah rambutan dan jeruk.
"Waalaikumsalam." Tri langsung menyambut kedatangan pria berusia sebaya Aki Somad.
"Ini ada buah-buahan." Ia menyerahkan barang bawaannya kepada Tri.
"Terima kasih banyak, Kong."
"Engkong, katanya sakit." Tri menelisik penampilan Engkong Udin yang memakai sweaternya.
"Udah mendingan, tadi Engkong lihat si Bram makanya langsung ke sini, kalian semua udah ada dimari." Pria tua asli betawi itu beralasan.
"Kenalkan ini Engkong Udin, kakek saya." Adam langsung memperkenalkan kakeknya.
"Somad." kakeknya Tri tersenyum ramah seraya mengulurkan tangan kanannya.
"Udin." Engkong Udin pun memyambutnya dengan raut wajah penuh keramah tamahan.
Keduanya saling berjabat tangan saling menerima persahabatan.
"Ini nini saya, Kong. Nini Icih." Tri meninju ke arah Nini Ich yang sedang duduk berselonjor di kasur busa. Wanita tua yang tenag sakit itu teraenyum ke arah sang pemilik kontrakan.
"Juragan Udin, terima kasih banyak sudah mau menampung cucu saya di sini." Terdemgar suara Aki Somad yang ditujukan kepada Engkong Udin.
"Waduh, jangan panggil saya juragan. panggil Bang atau Engkong saja deh. Saya bukan orang gedongan. Sama sekali tak pantas dipanggil juragan. Kontrakan aje cuma punya beberapa petak." Engkong Udin meras risih. Adam dan Tri menahan senyumnya. Tak menyangka jika Aki somad akan memberikan panggilan Juragan.
Adam dan Engkong Udin tak lama berada di kontrakan Tri, selain ruangannya terlalu kecil untuk mereka tempati, Adam harus segera ke kmpusnya. Engkong sendiri harus banyak istirahat untuk memulihkan kondisinya.
"Terima kasih banyak ya, Dam." Tri sangat berhutang budi kepada sahabatnya.
"Sama-sama. Teteh ga usah bilang terima kasih terus." Adam terkekeh.
"Kalau Nini sama Aki butuh bantuan jangan sungkan ya." Sebelum pergi Adam menatap kakek dan nenek Tri bergantian. Meskipun baru bertemu namun Adam langsu g merasa cocok.
"Iya. Terimakasih banyak." Aki mengangguk.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kakek dan cucu itu meninggalkan rumah kontrakan Tri.
"MasyaAllah, si Adam teh sudah ganteng, baik, soleh lagi. Paket komplit pokona mah. Nini berharap kamu memiliki jodoh seperti dia." Nini Icih langsung memberikan pujiannya. Tipe lelaki seperti itu sangat cocok untuk cucunya bukan aki-aki peyot seperti Juragan Kardi Kertarajasa yang sudah bau tanah.
"Adam masih muda Ni, beda tiga tahun sama Tri. Dia masih kuliah." Tri memberi tahukan tentang status Adam.
"Tidak apa-apa atuh Tri." Aki sepertinya setuju.
"Keburu tua atuh Trinya kalau nunggu Adam, lagian Tri mah da tidak memiliki perasaan apapun sama dia. Kita hanya berteman." Tri tertawa kecil.
"Udah ah Ki, Tri mau ke warung dulu sebentar. Mau masak buat makan siang." Tri menghentikan tema percakapan tentang Adam. Usai memberikan air minum ia pamit pergi ke warung yang terletak di belakang kontrakan untuk belanja.
***
Nini dan Aki asyik menonton acara televisi sementara Tri sibuk menyiapkan makan siang mereka di dapur mungilnya.
Tak butuh waktu lama untuk melakukan aktifitasnya.
Usai masak ia berdiam sejenak. Ada hal lain yang lupa ia lakukan.
Tri segera mengaktifkan ponsel dan langsung mengeceknya.
Ada banyak pesan dan panggilan tak terjawab. Semua berasal dari kampungnya. Bi Nining, Mak Asih, Bapa Ujang dan juga Tama serta Dwi yang tinggal jauh di luar kota turut serta menghubunginya. Ini pasti karena ia telah membawa Nini dan Aki. Tri sudah memprediksinya jika seisi kampung pasti akan heboh.
"Di Kampung pasti sekarang lagi heboh." Tri memyampaikan dugaannya. Kepergian mereka yang tanpa pamit pasti akan membuat orang sekampung mencari-cari.
"Pastinya juga atuh." Aki Somad sependapat. Tak ada yang tahu alasan kepergian mereka bertiga.
"Bi Nining sama Emak sibuk mencari kita." Tri memberitahukan kabar pentingnya. Ia sudah mengirim pesan dan mengatakan kepada Bi Nining jika kondisi ia beserta kakek dan neneknya baik-baik saja. Dan memintanya untuk merahasiakan keberadaan mereka.
"Tri matikan lagi ah HPnya!" gumamnya
Tri kembali menonaktifkan benda pribadi miliknya. Untuk sementara waktu ia tak mau berkomunikasi dengan keluarganya.
"Menurut Aki mah orang tua tua kamu sama si Kardi pasti nyusul ke sini." Aki Somad menduga-duga. Tri juga khawatir, namun ia berdoa semoga ketakutannya tak menjadi kenyataan.
"Ih si Aki malah nyingsieunan (menakut-nakuti)!" Nini memperlihatkan wajah penuh rasa takut.
"Kita pasrahkan semuanya kepada Allah." Tri tak memiliki kekuatan apapun selain berserah diri kepada Sang Pencipta.
"Betul, apapun yang terjadi semua takdir Alalh." Aki Somad pun pasrah.
"Di sini ada Adam, Engkong dan teman-teman Tri. Kita pasti ada yang membantu." Tri meyakinkan kakek neneknya agar tetap tenang.
"Kalau begitu kita makan siang dulu ya." Tri melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjuk ke arah angka dua belas.
Gadis asal dusun Katumbiri itu pun segera menyiapkan peralatan makan dan hidangan makan siang yang belum lama dimasak olehnya.
"Semoga Aki dan Nini betah di sini ya, meskipun udaranya panas." Tri tersenyum ke arah Aki Somad yang kini bertelanjang d**a.
Aki dan Nini hanya tersenyum. Mereka tak bisa protes, beruntung ada kipas angin yang sedikit membantu.
***
Bersambung