Bab 1
Selamat Pagi Ibukota!
Waktu menunjukkan pukul 6 pagi, matahari pun masih terhalang dedaunan, saat Tri akan berangkat untuk berjualan pancake menjalani rutinitasnya.
Gadis hitam manis berusia 23 tahun itu telah bersiap untuk pergi mengais rezeki. Di motornya telah penuh dengan barang-barang yang akan diangkut ke lapaknya yang berada di sekitar kawasan kampus Sejati. Sebuah universitas ternama di ibukota yang dihuni para mahasiswa kaum Borjuis. Hampir sebagian besar mahasiswa kelas atas menempuh pendidikan tinggi di sana.
"Pagi Mpok!" Seorang pemuda berkulit putih dengan tinggi sekitar 180 cm menyapanya. Raut mukanya selalu cerah dengan senyum menawan yang akan membuat jantung perawan yang melihatnya ketar ketir.
"Aduh Adam, sudah saya bilang berapa kali sih kamu teh tidak usah memanggil Mpok. Saya mah orang Sunda asli seratus persen jadi plis atuh panggil Teteh atau Neng." Teriaknya kesal. Anak muda yang satu itu paling ahli membuat panggilan seenak lidah.
"Okey Ceuceu..." Pemuda bernama Adam itu terbahak. Tak ada hal yang lebih menyenangkan bagi pemuda tampan berusia 20 itu selain menggoda Tri Kekasih Hati, gadis yang usianya lebih tua tiga tahun darinya. Gadis tomboy itu mudah sekali berubah moodnya.
"Kamu udah cakep gitu mau pergi? memangnya ada kuliah pagi, ya?" Tri mengamati Adam yang tengah memanaskan motor matic nya. Pemuda tampan yang kini duduk di bangku kuliah semester empat itu telah siap dengan jaket kulit dan ransel di punggungnya.
"Kuliah siang, tapi mau kerja kelompok dulu. Banyak banget tugas, lieur." Ia menjawab seraya memasang helmnya.
Terkadang Tri iri dengan Adam dan para pelanggannya yang bisa mengenyam bangku kuliahan. Dulu ia ingin kuliah di jurusan tata boga, sayangnya kedua orang tuanya tak sanggup lagi membiayai anak bungsunya itu. Tabungan dan harta mereka telah habis digunakan untuk sekolah kedua kakaknya. Maka dari itu Tri nekat kerja di ibu kota untuk menabung dan berharap suatu hari nanti akan melanjutkan pendidikannya.
"Nanti mampir ke kedai kan?" Tri selalu berharap kehadiran cucu pemilik kontrakannya itu. Dialah satu-satunya teman di ibukota tempatnya merantau. Pemuda itu siap sedia menemani dirinya dalam suka maupun duka. Berbagi cerita mulai dari yang serius sampai yang tak penting. Pergi kemanapun selalu bersama sampai-sampai disangka orang sebagai pasangan kekasih.
"Pasti dong. Kapan sih aku ga mampir." Ia selalu dengan senang hati menemani Tri.
Bagi Adam sendiri, Tri itu sangat istimewa. Ia bisa diajak kemanapun olehny. dia sangat berterima kasih kepadanya karena selalu baik mau membantunya membuatkan makanan dan menjaga engkongnya yang sakit-sakitan. Tak jarang kalau libur jualan ia turut ke pasar jaga kios buah milik Engkong Udin.
"Aku berangkat dulu ya Teh, bye. Bilangin sama Engkong, Assalamualaikum." Adam pergi meninggalkan Tri yang masih berbenah.
"Waalaikumsalam. Hati-hati." Tri menatap kepergiannya hingga tak lagi nampak.
"Tri, si Adam sudah berangkat ya?" Terdengar suara Engkong Udin yang baru saja pulang dari pasar. Tampak dirinya membawa sekantong plastik berisi sayuran dan buah-buahan.
"Baru saja pergi," jawab Tri sambil memasang helmnya.
"Oh, ya sudah Engkong masuk dulu ya, dah cape. Mau mandi terus tidur." Engkong Udin yang baru pulang jualan di pasar langsung berlalu meninggalkan Tri.
Usai mengunci pintu kontrakan ia pun segera berangkat. Dalam perjalanan ia tak henti berdoa agar hari ini mendapatkan rezeki yang banyak, pulang lebih awal agar cepat istirahat.
***
Pukul tujuh Tri tiba di sebuah bangunan luas dengan roda-roda yang berjejer rapi membentuk huruf u. Di tengah-tengah terdapat meja dan kursi panjang tempat pelanggan.
Di sanalah Tri berjualan pancake. Bangunan itu adalah milik Adam. Sudah dua tahun ia mangkal di sana.
Ada beberapa pedagang yang sudah sejak subuh menjajakan makanannya di sana. Soto, kupat tahu, mie ayam, mie bakso, gorengan, jus, kue basah dan masih banyak lagi.
Bisa dibilang kawasan ini merupakan tempat para mahasiswa kelas bawah mencari pengganjal perut. Semua yang dijual di sini harganya sangat ekonomis. Dengan uang 10-15 ribu perut mereka dijamin kenyang. Begitu juga dengan pancake buatannya, ia jual 10 ribu 3 kecuali yang ingin ekstra topping.
Tri sangat menikmati profesinya. Meskipun uang yang dihasilkan hanya cukup untuk makan dan membayar kontrakan, namun ia senang karena memiliki banyak teman dan kenalan mahasiswa. Jangan lupakan juga rekan sesama pedagang yang dianggapnya seperti keluarga. Ada yang bilang bahwa kehidupan di ibukota itu sungguh keras dan kejam. Bagi Tri itu tak berlaku, di sini ia menemukan kasih sayang dan kelembutan serta penghargaan dari orang sekitar. Berbeda jauh dengan kehidupan di keluarganya. Di kampungnya ia benar-benar terkucil.
Mengingat semua perlakuan orang tuanya ia sering menangis, ia selalu tersisihkan, merepotkan dan jadi beban mereka. Selama dua tahun tinggal di Ibukota ia hanya pulang kalau lebaran.
Sepanjang hari ia sibuk melayani pembeli yang tak henti mengantri. Boleh dibilang jajanannya merupakan primadona di sana. Tak ada yang bisa menyaingi kelezatannya.
Tri menunggu kedatangan Adam yang sampai pukul dua sore ternyata tak menampakkan batang hidungnya, Tri sampai kesal dibuatnya. Pemuda itu tak memberikan kabar berita.
Adam sibuk kali ya, kok ga ke sini. Batinnya bertanya-tanya.
Tri terbiasa dengan kehadiran Adam di kiosnya, selain membantu dirinya di jam kosongnya, mereka juga biasa makan siang bersama.
***
Pukul tiga sore ia dikejutkan dengan kedatangan sepasang pria dan wanita paruh baya yang tak asing lagi.
"Emak, Bapak! Apa kabar?" Tri menyambut kedatangan dua orang tua itu dengan terkejut. Mereka tampak mencari-cari Tri.
Mereka adalah orang tua Tri yang sengaja datang dari kampung.
"Alhamdulillah sehat," jawab Ibu Tri yang bernama Asih Kurniasih.
Tri lantas menyalami keduanya penuh hormat. Sungguh aneh menyaksikan kedatangan mereka berdua tanpa kabar berita.
"Ya Allah, Mak, Bapak kenapa tidak kasih kabar dulu, mungkin Tri jemput ke terminal." Tri berujar seraya menatap keduanya. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan heran melihat kemunculan Emak dan Bapak untuk kali pertama di kota lain. Mereka sering ke rumah kakaknya yang di Depok namun tak pernah sekali pun mampir menjenguk Tri. Ini benar-benar kejutan besar.
"Kamu dagang di sini?" ibunya bertanya dengan pandangan mata mengelilingi setiap sudut pusat jajanan.
Tampak sorot tidak puas dari raut kedua orangtuanya. Anak bungsu mereka hanya jadi pedagang kaki lima. Sungguh bukan hal yang patut dibanggakan jika dibandingkan dengan kedua anaknya yang lain. Ia tak pernah membuat kedua orang tuanya senang.
"Iya Mak." Tri mengangguk. Selama mengembara di ibukota hanya itulah mata pencahariannya. Sebenarnya ia pernah menjadi pelayan toko sayangnya profesi itu tak memberikan kenyamanan hingga ia memutuskan untuk berjualan.
"Ayo duduk dulu, Bapak sama Emak mau minum apa?" tanya Tri. Ia yakin kedua orang tuanya pasti kecapean.
Tri segera memesan minuman jus dan membuatkan pancake spesial untuk mereka. Ia juga tak lupa memesan mie ayam.
Pasangan suami istri itu lalu duduk di bangku kosong sambil menunggu datangnya pesanan.
Ibu Tri membawa tas besar yang entah apa isinya, Bapak juga menggendong ranselnya. Mereka membawa sebuah dus Indomie seperti kebanyakan orang dari kampung yang melawat ke kota.
"Emak sama Bapak mau ke Depok. Mau menjenguk kakak kamu. Shinta kan sebentar lagi mau lahiran jadi Emak mau jagain," ucapnya dengan nada bahagia.
Tri manggut-manggut pertanda paham. Kakaknya selalu mendapat perhatian lebih dibanding dirinya. Entah apa alasannya. Tri merasa menjadi anak tiri mereka.
"Tapi Bapak sama Emak mau menginap dulu di tempat kamu. Dua tahun di Jakarta kami belum pernah tahu kehidupan kamu." Sang Ayah menatap putrinya penuh selidik.
"Alhamdulillah kalau Bapak mau menginap, Tri senang sekali." Gadis berkemeja kotak-kotak itu sangat antusias dalam menanggapi niat baik mereka. Sejak lama ia ingin memperbaiki hubungannya yang kurang harmonis. Mungkin sekarang ini merupakan saat yang tepat.
"Silahkan makan dulu! Maaf hanya itu yang bisa Tri sajikan, kalau mau makan nasi nanti saja di rumah." Tri mempersilahkan keduanya makan.
Kebetulan gerobak yang biasa menjual nasi padang sudah tutup.
"Tidak apa-apa."
Mak Asih segera melahap hidangannya dengan lahap, Bapak Ujang pun tak jauh berbeda. Mereka sudah lapar sejak tadi. Tri memakluminya perjalanan jauh yang mereka tempuh tentu menguras energi.
"Kamu tidak makan?" Bapa Ujang melirik ke arah Tri yang hanya duduk menjadi penonton sambil memainkan ponselnya.
"Tri sudah makan ." Tri beralasan.
"O, ya itu pancakenya." Tri menunjuk ke arah kue buatannya. Mereka harus mencobanya.
"Iya."
Tri merasa bahagia melihat mereka tampak menikmati hidangannya.
***
Tri terpaksa menutup gerobaknya lebih cepat karena kehadiran orang tuanya yang butuh perhatian lebih. Apalagi ini merupakan kali pertama mereka berkunjung. Biarlah ia lanjut besok nyari rezekinya. Kedua orang tuanya lebih berarti walaupun ia yakin mereka tidak memiliki perasaan yang sama. Sejak dulu mereka tak pernah menganggap Tri berarti.
Usai memesan taksi onlen ia bersiap untuk pulang. Tentu saja tak lupa memberi kabar kepada Adam. Khawatir dia datang ke tempatnya. Biasanya Tri baru tutup selepas maghrib.
"Emak sama Bapak naik grab saja ya. Tri naik motor." Tri tak ingin orang tuanya naik angkot. Taksi online menjadi pilihan yang tepat demi keamanan dan kenyamanan mereka.
Kedua orang tuanya pun setuju.
"Iya, gimana kamu saja yang penting ongkosnya dibayarin ya, Emak mah ga ada duit." Mak Asih berkata tanpa rasa malu.
Tri tersenyum. Tentu saja ia yang bayar, tak mungkin dirinya menelantarkan kedua orang tuanya. Meskipun di masa lalu mereka sering memperlakukan dirinya dengan buruk dan membuatnya sedih, Tri tidak dendam. Ia masih menaruh hormat kepada mereka berdua.
Sambil menunggu kedatangan taksi, Tri pun membereskan semua peralatannya.
"Itu mobilnya sudah datang! Tri segera memburu Avanza hitam di depan parkiran kios pujasera, diikuti oleh kedua orang tuanya.
Tri memberikan alamat lengkap pada si sopir kemudian emak dan bapaknya masuk.
"Kalian duluan saja, nanti Tri nyusul." Tri masih bersiap membereskan barangnya.
***
Bersambung