Bab 10

1464 Kata
Tanah yang dipijak Tri masih basah, sisa hujan tadi sore, dengan hati-hati ia berjalan perlahan melewati halaman rumah Engkong Udin yang cukup gelap. Tampak Adam tengah sibuk memasang jaket kulitnya. Penampilannya sudah rapi seperti orang yang mau kencan bersama pacar. "Lama banget sih, Dam. Dari tadi saya teh nungguin kamu tapi ga nongol-nongol." Tri melayangkan protesnya. Sudah lebih dari sepuluh menit ia menunggu hingga akhirnya memutuskan untuk mendatangi Adam. Tri merupakan sosok yang selalu on time. "Nyari jas hujan ga ketemu, ternyata dibawa Engkong." Adam memberikan alasannya. Meskipun cuaca sedang tak bersahabat, Adam tak mungkin mengingkari janjinya mengajak Tri malam mingguan. "Ya udah atuh kita ambil dulu jas hujan punya saya." Tri memberikan usulan. "Oke." Adam tahu Tri memiliki banyak jas hujan. Di musim hujan, benda yang satu itu memiki peranan yang besar sebagai pelindung tubuh mereka di jalanan. Usai mengunci pintu, Adam menyalakan mesin motornya. Tanpa diperintah Tri langsung duduk di belakanngya. Keduanya mengambil jas hujan di kontrakan Tri sebelum melanjutkan perjalanan. Adam mengendarai motornya menuju jalan raya. "Kapan ya aku punya mobil." Adam bergumam. Di kampusnya hampir setiap mahasiswa membawa mobil sendiri. Bahkan beberapa ada yang sering ganta ganti. Tentu saja karena mereka kebanyakan berasal dari keluarga kaya. "Bukannya ada mobil pick up. Itu sudah punya mobil." Tri mengingatkan. "Itu kan mobil Engkong, mobil perusahaan. Maksudnya aku ingin mobil pribadi yang bisa bawa kita jalan-jalan." Adam memberikan penjelasan. Bukannya ia tak bersyukur dengn apa yang dimilikinya saat ini, namun sebagi manusia normal ia juga punya keinginan. "InsyaAlalh, segera." Tri mendoakan. Kalau Adam punya roda empat ia juga bisa nebeng dan ia tak perlu kehujanan dan kepanasan. "Amin. Kudu kerja keras bantuming tulang." Adam mengaminkan. Ia masih berjuang mengumpulkan uang untuk tabungan kuliahnya. Ia tak ingin terus-terusan merepotkan kakeknya yang telah mengurusnya sejak bayi. "Tambah lagi bisnisnya dan banyak sedekah dan doa biar duitnya segera terkump!" Tri terkekeh. "Sepertinya begitu." Adam terkekeh. "Jadi kita mau kemana?" Adam mengajukan pertanyaan. "Nonton dong. Tadi kamu bilang pengen ngajak nonton film baru." Sudah lama Tri tak ke bioskop. Besok hari minggu dia libur jualan jadi ia bisa santai tidur seharian kalau tidak ke pasar membantu Engkong Udin. Hari liburnya sering digunakan untuk melakukan aktifitas lain. Sesama jomblo yang belum memiliki pasangan, keduanya berusaha untuk saling melengkapi. Malam minggu mereka tak pernah kelabu, selalu ada acara yang dilakukan. Dalam berbagai kesempatan bersama teman-temannya, Adam sering mengajak Tri. Keduanya meluncur menuju sebuah gedung bioskop yang terletak di kawasan sebuah mall di pusat kota. Sepanjang jalan Tri memeluk adam tanpa ragu dan canggung. Sementara Adam menahan gejolak di dadanya. Perasaan hangat dan bahagia melebur menjadi satu. *** Setengah jam kemudian mereka tiba di lokasi tujuan. Adam langsung memarkir motornya. Di dalam gedung bioskop, pandangan keduanya tertuju ke arah seseorang yang mereka kenal baik. "Itu Ana." Ujar Tri menunjuk gadis cantik berwajah oriental. Ia langsung berjalann mendekat ke arahnya. Sepertinya Ana baru keluar dari studio. Agak jauh darinya ada sosok pria tinggi temgah menerima telpon. Adam pun mengikuti langkah Tri. Sebenarnya ia enggan bertemu dengan gadis cantik yang selalu tebar pesona kepadanya. Sejak dulu Adam paling tak suka dengan teman perempuan yang kecentilan. Tipe seperti Tri yang cuek dan judes yang lebih disukainya. "Bang Adam." Gadis cantik berpipi tembem itu menatap Adam penuh perasaan. Tentu saja Adam merasa tak nyaman. "Hai, Ana!" Tri menyapanya. Sebab Adam hanya tersenyum tanpa berkata-kata. "Eh, Teh Tilu." Gadis cantik itu cengengesan. Ia lupa menyapa Tri saking fokus melihat gebetannya. "Nama saya Tri, kebiasaan banget sih kamu." Tri cemberut. "Sori..sori.." Ana tersenyum. Meskipun berinteraksi dengan Tri tetap saja pandangan mata gadis bernama Ana itu melirik ke arah Adam yang terlihat tampan meski dengan pakaian sederhana yang dibelinya di Tanah Abang. "Sama siapa ke sini mau nonton juga ya?" Tri mencoba mencairkan suasana. "Kak Reyhan." Ana menjawab pelan dengan nada malas. Terkadang Tri heran dengan sikapnya yang aneh. Ketika bersama kekasihnya "Aku tinggal dulu ya, Teh." Ana segera pamit karena Reyhan melambaikan tangannya dengan tatapan tak suka melihat interaksi Ana dengan kesua kawannya. "Dag, Bang adam. " Ana berusaha memberikan senyuman termanisnya. Ia dan pria jangkung itu masuk ke studio 2. Sementara Tri dan Adam akan masuk studio 1 tempat film horror diputar. Mereka masih menunggu setengah jam lagi. "Ana kalau lagi sama cowoknya pasti sombong." Tri memberikan pendapatnya. "Perhatian sekali, Anda." Adam tak peduli. "Dia ga nyaman sepertinya." Lagi-lagi Tri memberikan pendapatnya. "Tahu darimana?" Adam heran mengapa wanita selalu pandai menduga-duga. "Lihat saja sikapnya barusan, dan saya banyak dengar obrolan Ana dan Dhifa kalai mereka lagi nongkrong." Tri tahu banyak hal tentang cucu Dirgantara itu. "Nguping ya?" Adam tak suka jika Tri terlalu kepo urusan pribadi orang lain. "Kedengeran aja, soalnya kalau lagi nongkrong tuh dua gadis temanya Kak Reyhan terus." Tri memberikan bocoran. Ana merupakan pelanggan setia Tri. Selain sering nongkrong di kedai, gadis itu juga sering memesan kuenya untuk acara-acara penting. "Menurut analisis saya, si Ana itu naksir berat sama kamu. Buktinya dalam seminggu dia bisa dua atau tiga kali nongkrong bareng temannya yang anak Chef itu. Tiap bertemu yang ditanyain oleh dia itu ya kamu." Tri mengingat tingkah Ana. "Aku tahu dan sayangnnya ga tertarik sama gadis kaya." Adam langsung mendeklarasikan penolakan. Ia tak i gin menjalin hubungan denga tipe seperti Ana. "Mereka baik ga sombong." Tri kenal baik dengan Ana dan temannya. "Iya mereka, tapi orang tuanya."Adam memiliki trauma masa lalu. "Jangan nuduh sembarangan." Tri tak suka dengan sikap Adam yang antipati terhadap orang kaya. "Ibuku berasal dari kalangan atas dan dia tega meninggalkan aku saat masih bayi." Adam mulai mengungkit masa lalunya. Ia sudah yatim sejak bayi, setelah ayahnya meninggal ibunya malah pergi meninggalkannya. "Dam, ga semua orang kaya gitu." Lagi, Tri memberikan pengertian. "Aku benci ibuku yang entah ada dimana. Bayangkan saja, kok ada ya seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya yang masih bayi, " Adam mengungkapkan perasaannya. Matanya mulai berembun. Sejak bayi ia tak pernah mengenallnya. Baginya Nini dan Engkong adalah orang tuanya. Tri meneteskan air matanya. Ikut sedih jika Adam membahas orang tuanya. "Kita senasib ya, Dam." Tri menggenggam rangan Adam. "Udah yuk, mending kita masuk. Biar dapet tempat mojok." Adam yakin jika cuehatan mereka dilanjutkan akan berujung banjir ir mata, lagipula tempat mereka berada bukan tempat yang pas untuk curhat-curhatan. *** Usai menonton mereka tak memperlihatkan rasa takut sedikit pun. Sebab nereka bukanlah sosok penakut. Tayangan horor dan komedi adalah favorit keduanya. Justru mereka anti film drama keluarga atau percintaan karena hidup mereka jauh dari hal itu. Antara Tri dan Adam banyak kesamaan. "Mau makan dimana?" Adam bertanya kepada Tri. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. "Makan ayam aja, biar ga usah kelmana-mana lagi." Tri menunjuk ke arah restoran cepat saji. "Boleh." Adam langsung setuju, ia tak masalah makan apapun. Saat sudah berada di dalam restoran dan mendapatkan tempat yang nyaman. Mata Tri menangkap sosok pria yamg akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Lucku tengah berduaan dengan wanita cantik di tempat yang sama. Rasa kecewa seketika menghinggapinya. "Teh, hei...kok ngelamun . Mau pesan apa?" Adam melambaikan tangannya. "Eh, hmm samain aja. Saya tunggu di sini." Tri berusaha menyembunyikan sesuatu. Ia tak akan menceritakan apapun tentang Lucky kepada Adam. Adam takbertanya lebih lanjut. Pemuda itu langsung menuju kasir. *** Tepat pukul sebelas malam Adam dan Tri sudah berada di teras rumah Engkong Udin. "Cie...cie...lu berdua malah pada cinta-cintaan sampai lupa waktu saking asyiknya malam mingguan." Engkong Udin menegur dua muda mudi yang baru saja tiba di depan teras. Pria itu sejak tafi memunggu kepulangan cucunya. "Eh, Engkong udah pulang." Tri tak menyangka kakeknya Adam pulang lebih cepat dari biasanya. "Gua balik dari tadi, Cu. Di pasar ada si Dudung. Jadi subuh ini mau tidur saja. Biar si Adam yang ke pasar." Engkong Udin menatap cucunya. Malam minggu memang jadwal Adam membantu Engkong. Tri pun sering membantu namun di hari minggu. "Lu berdua kagak macem-macem kan?" Engkong Udin menatap keduanya yang tampak basah kuyup akibat guyuran hujan tadi. "Mana ada kita ngapa-ngapain." Adam memberikan sangkalan. "Di antara saya sama Adam mah ga ada apa-apa, cuma teman." Tri kembali menegaskan. Tak pernah terlintas dipikirannya untuk menjadi kekasihnya. "Teman tapi mesra." Seru Engkong Udin terkekeh. "Sudah, Kong ga usah nuduh macam-macam." Tri ngambek. Adam hanya nyengir. Berbanding terbalik dengan Tri, justru pemuda itu memendam perasaan khusus kepada Tri yang tak mungkin diungkapkan karena ia ingin menjaga persahabatan mereka. "Saya pulang dulu, ya Dam, Kong. Makasih banyak traktirannya." Tri bersiap pergi. "Lu aneh, Dam. Kok si Tri ga langsung diantar ke kontrakan." Engkong Udin merasa heran dengan kelakuan cucu semata wayangnya. "Sengaja." Adam tertawa. "Cucu Engkong memang jail." Tri menatap sebal. "Ayo aku antar balik." Adam pun menemani gadis mungil itu pulang ke rumah kontrakan yang cuma berjarak dua puluh meter. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Hati-hati!" *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN