Bab 12

1344 Kata
Sepanjang perjalanan, mata Tri tertuju melihat berbagai pemandangan luar melalui kaca bis. Gadis tomboy itu sangat suka duduk di pinggir. Entah mengapa kali ini ia sulit memejamkan mata. Padahal jika perjalanan jauh ia senang menghabiskannya dengan tidur. Tri tak bisa mengobrol dengan teman satu jok lnya sebab, penumpang itu malah tidur pulas. Dia seorang nenek tua yang sepertinya sangat kelelahan. Sesekali ia membuka gadgetnya untuk mengecek pesan yang masuk. Setelah menempuh perjalanan selama hampir 4 jam akhirnya Tri sampai di tempat tujuan. Tak lama lagi ia akan turun, gadis itu segera berdiri lalu berjalan perlahan mendekat ke arah pintu bis bagian depan agar tak terlewat tempat turunnya. "Stop, Bang Stop!" Tri menyetop bis yang ditumpangi olehnya. Ia tak akan berhenti di terminal sebab jalan menuju rumahnya dilalui bis itu. Tri turun dibantu oleh kernet yang membawakan barang-barangnya ke lua, tak sampai satu menit bis sudah kembali melaju meninggalkan Tri yang masih berdiri dengan ransel dan kantong olastik warna hitam berukuran besar. Langit tampak cerah, matahari memancarkan sinarnya yang terang berderang seolah ingin menyambut kedatangan Tri di kota kelahirannya. Kampung halaman yamg selalu dirindukan olehnya. Gadis cantik bermata bulat itu tak perlu lagi naik angkot, ia langsung menuju tukang ojeg yang sedang mangkal. untuk segera tiba di rumah sang nenek tercinta. "Ojek, Mang!" "Ya Allah, ieu Teh Neng Tri?" tukang ojeg itu menyapanya. Tak ada yang berubah dari sosok Tri baik penampilan maupun sikapnya, tetap sama seperti dua tahun yang lalu sehingga sangat mudah dikenali. "Iya, Mang Budi." Tri tersenyum manis. Ia bersyukur madih dikenali. "Betah di kota ya, sampai ga mau pulang." Tukang Ojeg yang dipanggil Mang Budi itu ikut tersenyum. Namun ada sindiran di dalamnya. Benar, Tri memang lupa akan kampung halamannya karena terlalu sibuk berjualan dan terlalu enggan berkumpul dengan keluarganya. Tanpa menunggu lama, Ia langsung dibonceng pria berkumis yang tiada lain adalah tetangganya atau lebih tepatnya ayah dari teman semasa kecilnya. Sepanjang jalan keduanya mengobrol kesana kemari , terutama tentang anak mang Budi yang sudah menikah dan memiliki anak. Tri merindukan teman-temannya. Lima kilo meter dari pangkalan akhirnya ia tiba di kampung hlamannya. Sebuah desa yang asri, di kelilingi pemandangan sawah, sungai dan gunung. Sipapun yang melihatnya akan merasa betah. Udara sejuk dan semikirnya angin membuat perasaan hati menjadi tenang. Duku, Tri sering bersepeda untuk melihat pemandangan pesawahan yang terhampar luas. "Brrhenti di rumah Nininya, Mang!" Tri akan langsung menuju rumah Nini. "Siap, Neng" Mang Budi tahu persis kemana tujuan Tri. Tepat di depan sebuah rumah berpagar tanaman, ojeg yang ditumpanginya berhenti. Tri turun dan membuka dompetnya. "Makasih banyak ya, Mang." Dengan sopan ia memberikan ongkos sebanyak dua puluh ribu rupiah. Sengaja ia lebihkan lima ribu. "Sama-sama." Mang Budi menerimanya dengan senang hati. Tukang ojeg itu lantas pergi meninggalkan Tri yang masih diam mematung menatap sekelilingnya. Suasana pekarangan rumah Nini tak banyak berubah. Dipenuhi tanaman terutama sayuran. Nini lebih suka menanami lahan kosongnya dengn tanaman yang bisa dipanen agar hasilnya dapat dikonsumsi. Mereka tak perlu repot pergi ke pasar yang jaraknya lumayan jauh. Perlahan ia langkahkan kakinya menuju teras rumah. Sebuah bangunan sederhana semi permanen. "Assalamualaikum." Tri mengucapkan salam begitu tiba dekat teras rumah neneknya. Tampak seorang lelaki tua sedang sibuk membongkar kayu bakar di gerobak tunya. "Waalaikumsalam." pria tua itu berusia kira-kira tujuh puluh tahun seumuran Engkong Udin itu menjawab. Dia adalah Aki Somad, kakeknya Tri. "Tri." Ia tak percaya jika cucunya kembali. Seketika ia hentikan aktifitasnya. Cucunya yang sudah dua tahun tak pulang-pulang, akhirnya kembali. Binar bahagia terpancar di raut wajah pria tua yang kepalanya dipenuhi uban. "Aki." Tri langsung mencium tangan kakeknya dan memeluknya tak peduli peluh membasahi tubuh ringkih lelaki tua yang mulai terlihat membungkuk. "Aki pikir kamu lupa jalan pulang." Pria berkumis itu menatap cucunya dengan senyumannya. Aki Somad memang tak sebaik Nini namun Tri tetap menyayanginya. "Ih, si Aki mah ada-ada saja. Tri ingat." Tri tersenyum. "Hayu masuk. Sejak kemarin Nini menunggu kamu." Aki mengajak Tri segera menemui Nini. Sejak tiba di kampung rumah pertama yang ia injak adalah rumah Nini padahal rumah Emak Asih ada di samping rumah Nini. Tri memasuki ruang tamu yang penuh dengan berbagai kenangan masa lalu. Ia sangat merindukan kehidupan bersama neneknya. Ia berjalan perlahan menuju arah dapur Nini setelah menyimpan ransel, hanya jinjingan kantong plastik berukuran besar yang ia bawa . "Nini!" Tri langsung memburu neneknya yang kini duduk di kursi panjang yang ada di dapur dengan kaki selonjor. Bangunan rumah Nini merupakan rumah khas jaman dulu sehingga dapurnya sangat luas. Di dapur tersebut ada kursi tamu dan juga ruangan kecil yang berfungsi sebagai kamar. "Tri!" Nini tampak senang melihat cucunya datang. Sudah sejak seminggu lalu ia ingin bertemu Tri, sayangnya Ningsih, bibiyha Tri melarang menghubungi Tri, alhasil baru kemarin keduanya bisa berkomunikasi. Tri mendekat ke arah sang nenek. "Ya Allah Nini. Nini teh kenapa atuh?" Tri menunjukakan rasa khawatirnya yang teramat sangat. Di saat neneknya sakit ia tak ada di sampingnya untuk merawat dan menjaganya. Melihat kondisi neneknya yang tak bisa berjalan Tri merasa iba dan sedih. Tak terasa butiran air mata jatuh tanpa bisa dibendung. "Nini sudah tua jadi segala terasa, sakit segalanya. Sakit perut dan pusing sudah biasa itu mah. Di tambah gula darah Nini tinggi terus, darah tinggi, encok, asam urat. Komplikasi kata dokter mah. Ini juga Nini susah berjalan. Kudu dibantu tongkat." ujar Nini dengan nada sedihnya. "Nini yang sabar dan yakin pasti segera sembuh. Ini Tri bawakan oleh-oleh yang banyak." Tri menunjukkan bungkusan di tangannya. "Makasih ya Tri." Nini Icih tampak terharu melihat kedatangn Tri, tanpa ada oleh-oleh asalkan Tri mau pulang saja wanita itu sudah merasa senang. "Jam berapa kamu dari Jakarta?" Nini bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. "Setengah lima." "Kamu teh mendingan tidak usah balik lagi ke kota. Di sini saja menemani Nini."Nini Icih ingin Tri tetap bersama cucunya. Tri diam sejenak. Tak mungkin ia meninggalkan kehidupn barunya. Di ibukota ia merasa nyaman walaupun belum mapan. Di sana ia merasa diakui dan dibutuhkan. Ada keluarga baru yakni Adam dan Engkong Udin yang senantiasa menemani hari-harinya dengan penuh canda tawa. "InsyaAllah, Ni. Tapi kalau Tri di sini, Tri ga bisa kerja ga punya penghasilan. Nini juga ingat kan, Tri ke kota untuk meraih cita-cita Tri agar Tri bisa seperti A Tama dan Teh Dwi. Meskipun saat ini Tri masih mengumpulkan recehan hasil jualan." Tri memeluk tubuh kurus Nini. "Nini harus sembuh ya, dan doakan Tri supaya sukses biar bisa ajak Nini tinggal dengan Tri." Ia menghapus air matanya yang meleleh di pipinya. Entah mengapa berada di dekat keluarganya Tri mendadak menjadi cengeng. "Nini selalu mendoakan kamu. Semoga kamu teh bisa menjadi orang sukses." Nini mengusap puncak kepala Tri. Gadis malang yang terabaikan. "Kamu sudah makan Tri?" Aki baru kembali lagi dari luar usai mengangkut kayu bakar. Ia menatap Tri memastikan cucunya sudah mengisi perutnya. "Sarapan mah sudah tadi di bis," Tri menjawab seraya membongkar isi kantong plastik yang dibawanya. Tri tahu apa yang dibutuhkan oleh neneknya, makanan kaleng, dendeng serta, s**u dan kue ia keluarkan. "Kamu belanja banyak sekali, sayang uangnya mending ditabung," ujar Nini seraya menatap oleh-oleh yang dibawa cucunya. Tri tak sempat belanja pakaian sehingga hanya itu yang bisa diberikan. Tri berjanji jika ada waktu luang akan ke pasar untuk membeli kerudung Nini dan baju koko Aki. "Ini mah tidak seberapa atuh, Ni." Tri menyimpan semuanya di lemari. "Hayu atuh sekarang makan siang sulu, Kebetulan sekali Aki sudah masak sayur lodeh kesukaan kamu." Aki Somad berdiri untuk mengambil piring-pirinh diikuti oleh Tri yang hendak membantunya menyiapkan makan siang mereka. "Nini mah makannya pepes tahu sama tumis waluh saja!" Aki Somad mengisi piring istrinya dan bersiap menyuapinya. "Ki, biar Tri saja yang menyuapi Nini." Tri segera mengambil alih piring di tangan Aki. "Kamu mah lebih baik makan saja, habis perjalanan jauh biasanya cape." Nini tak ingin merepotkan. Namun Tri bersikeras untuk menyuapi wanita berkebaya hijau itu. Nini tak bisa menggerakkan tangan kanan dan kaki kanannya sehingga segala sesuatu harus dibantu. Dengan telaten Tri menyuapi Nini hingga piringnya tandas. Tak lupa Tri pun memotong buah apel untuk nini. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN