Bab 7

1110 Kata
Acara Akikah putri ke dua Tama telah selesai sejak setengah jam lalu. Tri ikut sibuk karena harus membantu menyiapkan hidangan. Meskipun ada dua orang ART namun mereka tak bisa melakukannya berdua saja. Namanya masak dan beres-beres rumah pada acara syukuran pastinya akan memakan waktu dan tenaga. Tama terlalu pelit membayar orang lain untuk menambah tenaga. Ia hanya mengandalkan orang yang ada. Tri benar-benar lelah, ia lebih mirip ART dadakan. Ia tak yakin akan mendapatkan upah. Bukannya mengharapkan, namun yang sudah-sudah kakaknya itu selalu demikian. Hanya memberi janji jika nanti akan ditransfer. Semua hanya harapan kosong tanpa bukti yang nyata. Sampai detik ini tak pernah seperserpun Tri menerimapemberian darinya. Kemarin kakaknya memang memberinya satu juta, tapi itu untuk bayar utang Emak Asih. Uangnya juga sudah dirampas oleh ibu kandungnya ity, Tri yakin Tama tak tahu. Emak Asih memang licik terutama kepadanya. Hanya kakaknya yang bernama Dwi yang ikut serta menyambut para tamu dan terlibat dalam acara tadi. Tentu saja karena ia pandai berkomunikasi dan Shinta yang memintanya. Emak Asih dan Bapak Ujang juga malah sibuk di belakang. Baik Tama maupun Shinta rltak menghiraukannya. Mereka seolah tak ingin melibatkan orang tuanya, lebih tepatnya memperkenslkannya. Tri tak habis pikir dengan sikap Tama yang buruk. Emak dan Bapak juga tidak protes diperlakukan seperti itu. Mereka terlalu mengagungkan putranya. Tri sangat prihatin. Di kampung, Tama selalu dibanggakan. Emak dan Bapak membeli sesuatu selalu dikatakannya dari Tama, nyatanya bukan. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam, saat Tri masuk ke kamar Lily, keponakannya. Di sana gadis kecil itu sudah terlelap di temani Dwi yamg datang ke Depok tanpa keluarganya. Tri langsung menggelar kasur karpet di bawah. Tri mengalah kepada kakaknya tidur di lantai. Hanya dalam hitungan menit, ia langsung terlelap saking lelahnya. Ia lupa menghubungi Adam yang seharian terabaikan. Saking lelahnya untuk mengecek ponselnya pun ia tak sempat. *** Esok harinya usai acara sarapan bersama Tri, kedua kakak dan orang tuanya berkumpul di ruang tengah. Shinta tak hadir karena sibuk mengurus bayinya. Wanita itu jarang mau terlibat perbincangan dengan keluarga suaminya. Ia selalu menjaga jarak dengan keluarga suaminya. Hari ini Tama ambil cuti lagi karena masih ingin berkumpul dengan keluarganya. "Emak teh ingin memberikan kabar jika Tri sudah ada yang meminang." Emak Asih membuka pembicaraan. Semua mata tertuju kepada wanita paruh baya yang mengenakan daster ungu, tak terkecuali Tri yang menahan rasa sesak dan amarah di jiwanya. Ibunya itu tak peduli dengan penolakan dirinya beberapa waktu lalu dan kini malah menjadikannya topik utama. Padahal Tri menolak dengan tegas dan jelas. Bukan hanya dengan kakek tua bangka itu, melainkan sengan siapapun. Ia ingin memilih jodohnya sendiri. "Alhamdulillah atuh. Teteh ikut senang, Tri." Dwi tampak gembira sebab adiknya akan diambil orang. Akan ada seseorang yang bertanggung jawab terhadapnya. "Siapa yang melamarnya, Mak?" Tama penasaran dengan calon adik iparnya. Tri tak pernah terdengar menjalin hubungan dengan siapa pun. Ini sangat mengejutkan. "Juragan Kardi." Bapak Ujang yang menjawab pertanyaan anak sulungnya. Tri ingin melarikan diri mendengar nama itu disebit terua, namun ia berusaha bersikap tenang.à "Juragan Kardi? Bukannya dia sudah punya istri. Malahan istrinya ada dua, yang benar saja Ma." Tama memperlihatkan keterkejutannya. Di kampungnya, Juragan Kardi merupakan sosok terkenal. Ia pria kaya raya yang disegani. "Tidak masalah. Lagipula Juragan Kardi itu serius mencintai Tri. Bahkan ia pernah berkata kalau Tri memintanya menceraikan dua istrinya, ia bersedia. Kurang serius kumaha atuh?" Emak Asih berusaha meyakinkan anak-anaknya. Tama dan Dwi, diam tak mendebat meskipun tercetak jelas raut ketidakpuasan pada mereka. Sayangnya, mereka tak mungkin membantu adiknya untuk lolos dari perjodohan itu. Keduanya tak terlalu peduli urusan Tri. Di antara ke tiga anak hanya Tri yang berani protes kepada orang tuanya. Hal itu juga yang membuat kedua orangtua Tri makin kesal kepaa anak bungsunya. "Meskipun menjadi istri ketiga, Emak jamin kehidupannya tidak akan sengsara. Lihat saja kedua istrinya juga pada akur. Keubtungan yang sangat besar jika kita terikat hubungan dengan Juragan Kardi." Emak Asih tersenyum ceria, kembali berusaha meyakinkan keluarganya. "Tapi, Tri tidak mau dijodohkan, Emak kan sudah tahu jawabannya. Sampai kapan pun Tri tidak mau menerima lelaki itu." Tri bersuara ia harus membela diri. "Kamu ini keras kepala ya, tidak bisa diajak kompromi." Bapak Ujang memperlihatkan kemarahannya. Seingatnya dulu, Dwi tak dijodohkan. Anak Perempuannya itu yang memilih jodohnya sendiri hingga bersuamikan pria yang tak jelas pekerjaannya dan kini mengandalkan Dwi sebagai tulang punggung karena ia seorang dosen PNS. "Aa mah terserah Emak dan Bapak. Asalkan kalian bahagia. Tri juga harus menghormati keputusan orang tua demi masa depan kamum " Tama menatap Tri. Pria itu selalu seiya sekata dengan ibunya. Tama tak ingin ambil pusing. "Bayangkan atuh, kalau Juragan Kardi menjadi bagian dari keluarga kita, hidup kita teh pasti terjamin. Ini sebuah kehormatan dan juga kesempatan besar yangjm jangan disia-siakan." Emak Asih yang matre terus mensosialisasikan perjodohan anaknya. Ia sudah seperti juri kampanye yang berusaha menarik simpati dari masyarakat. "Kamu juga bakalan bisa mendapatkan modal bisnis, kehidupan emak dan bapak seratus persen terjamin " Bapa Ujang sudah berpikir ke sana kemari. Tri makin muak mendengar ocehan mereka. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya. Dwi, kakak perempuannya sebetulnya kurang setuju namun ia tak bisa membela adiknya. Kehendak Emak Asih sulit ditentang. "Bulan depan kamu pulang ke kampung! Pokoknya tak ada alasan." Bapak Ujang memberikan perintahnya. Tri enggan berkomentar, terlebih kefua saudaranya juga lebih banyak diam. "Juragan Kardi akan datang ke rumah." Sambung Emak Asih tampak semangat. "Ini semua demi kebaikan kamu. Maka terima lah. Kamu bakalan jadi nyonya kaya raya yang terpandang," lanjut Emak Asih terus membujuk Tri. "Emak dan Bapak sungguh tak berperasaan. Tri tidak mau menikah dengannya, Ma. Kalau Emak mau kaya, kenapa ga Emak saja yang menikah dengan lelaki tua itu. Tri bukan barang yang bisa seenaknya dijual atau doberikan sesuka hati kalian." Tri mengungkapkan isi hatinya. Plak Plak Dua buah tamparan melayang di pipi kanan dan kiri Tri, pelakunya adalah Bapak Ujang. "Lancag ya, kamu." Pria itu tampak emosi. Kalimat Tri dianggapnya tak sopan karena berani menyinggung ibunya. Tri mengusap bagian pipinya yang sakit. "Kamu memang anak yng tak berguna. Hanya menyusahakan orangtua saja." Bapak Ujang mencercanya. "Seharusnya kamu sadar jika ini semua demi masa depan kamu." Emak Asih menatap tajam Tri. Tri yang dulu selalu diam kini mulai berontak dan berani melawan. Tri juga bingung darimana ia mendapatkan kekuatan itu. "Tri, Aa mohon kamu nurut sama Emak dan Bapak." Tama memberikan masukan. "Kalian tega ya, menjerumuskan Tri untuk jadi pelakor." Tri tak kuasa membendung air matanya. Bukan rasa sakit si pilinya yamg ia rasa melainkan hatinya yang seolah ditusuk tusuk. Tak ada yang melakukan pembelaan terhadapnya. Semua seolah menjadikannya tumbal. Sejak dulu Tri tak pernah dianggap ada. Keputisan apapun tak peenah melibatkan dirinya. Tri kesal dan memilih keluar ruma. *** Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN