Bab 21

1438 Kata
Hujan turun dengan deras sejak sore tadi diiringi suara petir yang menggelegar ditambah angin kencang membuat suasana malam ini tampak mencekam. Berulangkali suara seng dari atap rumah berbunyi keras sekali seolah mau jatuh. Tri beserta kakek dan neneknya mengurung diri di rumah kontrakan Tri yang sempit dan tak berani membuka pintu. Jendela yang biasanya terbuka mendadak dikunci rapat, pun kipas angin yang biasanya menjadi sahabat setia mereka mendadak dinonaktifkan. Udara terlalu dingin dari biasanya. Aki dan Nini berada di kamar, mereka berselimut ria, sementara Tri menggelar kasur lipat di ruangan depan sambil rebahan dan mendengarkan lagu-lagu kesukaannya melalui ear phone yang terhubung ke ponselnya. Ia tak bisa menyalakan televisi karena khawatir tersambar petir. "Tri, Aki merasa khawatir jika si Kardi akan kembali lagi ke sini." Aki Somad bangun dan mendekat ke arah Tri mengungkapkan perasaannya. Tri melepas alat yang terpasang di telinganya agar bisa mendengarkan kalimat yang diucapkan oleh kakeknya. Gadis itu juga mengintip ke arah pintu masuk kamar tempat nini berada. Memastikan ia sudah tertidur lelap. "Bukan hanya Aki yang cemas, Tri juga. Dia lastinakan datang kembali dan Tri bingung bagaimana cara menghadapinya." Sedari tadi pikirannya menjadi tak tenang, oleh karenanya ia menghibur diri dengan mendengarkan lagu-lagu dangdut. "Dia pasti kembali lagi." Aki Somad pun memberikan dugaannya, sependapat dengan cucunya. "Aki heran dengan tingkah kedua orangtuamu yang lebih memilih pria itu dibandingkan anak sendiri." Aki Somad memggelengkan kepalanya penuh dengan rasa kesal. "Ki, tolong jujur sama Tri. Tri beneran anak kandung emak dan bapak kan?" Tri kembali mempertanyakan masalah statusnya. Entah untuk ke berapa kali ia meminta pennjelasan yang sejelas-jelasnya. "Astaghfirullah, Tri. Kamu itu anak kandungnya. Saksinya Nini yang memunggui kamu lahir. " Aki meyakinkan. "Tapi mengapa mereka sepertinya membenci Tri seolah Tri ini anak tiri atau anak pungutnya emak dan bapak" Tri melayangkan protesnya lagi. Perlakuan mereka tak adil, jauh jika dibandingkan dengan kedua kakaknya. "Mereka sebenarnya sayang sama kamu. Hanya saja dulu saat emak kamu tahu hamil lagi dia sepertinya tak senang. Waktu hamil kamu ia sering keluar masuk rumah sakit. Ia juga sampai harus berhenti bekerja entah berapa banyak biaya yang keluar. Kehidupannya menjadi sulit, ditambah lagi waktu bayi kamu sering sakit-sakitan. Emak kamu menuduh jika kamu adalah pembawas sial. Makanya ia menitipkan kamu kepada kami. Selanjutnya kamu yang tidak sepandai kakak kamu membuat emak dan bapakmu semakin kecewa. Tri kamu jangan pernah membenci mereka, yang harus kamu lakukan adalah mendoakannya agar dibukakan pintu hatinya. Jauh dari lubuk hatinya mereka menyayangimu seperti aki dan nini." Aki mencoba menghibur Tri. "Tri harus bagaimana Ki?" Tri menatap kakeknya. Tak terasa air mata yang sejak tadi sudah berkumpul di pelupuk matanya, kini tumpah. "Kamu yang sabar, ada Aki dan Nini yang selalu menyayangi kamu sepenuh hati. Kamu anak yang baik dan berbakti. Semoga kamu mendapatkan keberuntungan Tri. Aki mah sudah tua tidak bisa lagi membahagiakan kamu." Aki Somad mengelus puncak kepala Tri penuh kelembutan. Ia tahu apa saja cita-cita dan mimpi Tri yang sering diceritakannya semasa remajanya dulu. "Terimakasih ya, Aki dan Nini selalu ada buat Tri." Tri memeluk kakeknya. Tak terasa hujan sudah reda dan malam.semakin larut. Tri fan kakeknya kembali ke tempat masing-masing untuk beristirahat. *** Masalah yang terjadi kemarin tak membuat Tri terpengaruh. Ia tetap menjalankan rutinitasnya seperti biasa untuk berjualan. Ia selalu ingat pesan Adam agar selalu kuat dan berusaha tegar dalam menghadapi semua ujian dan tantangan. Jam satu siang, dagangannya sudah habis terjual. Kemungkinan karena para pelanggannya merindukan makanan favorit mereka. Bahi Tri ini merupakan berkah luar biasa. Ia bisa pulang lebih awal. Adam ada juga di sana. Pria itu baru selesai melakukan ujian. "Main yuk!" Adam memberikan tawaran saat memeperhatikan Tri yang tampak tak sibuk . "Kemana?" Tri belum mandi dan merasa lengket. "Jalan-jalan keliling kampus." Adam tak akan mengajaknya ke mall atau nonton. Ia hanya ingin agar Tri bisa santai sejenak dan cuci mata di kampusnya. "Malu Dam." Tri sangat jarang ke sana karena tak memiliki kebernian. Kalau ada pesanan dari kampus ia lebih sering meminta jasa kurir. Di sana itu banyak mahasiswa anak gedongan. Tri tak punya muka untuk bertemu dengan mereka. Ia terlalu minder. "Ayolah, sebentar saja. Setengah jam, habis gitu balik lagi." Adam kembali membujuk Tri. "Saya tidak pede, coba lihat saya teh kucel begini dan belum mandi." Tri memberikan penolakannya. Melihat mahasiswa dan mahasiswi kampus Adam yang berpakaian mahal dan berdandan rapi, ditambah dengan paras yang rupawan, nyali Tri mendadak ciut, ia tak sebanding dengan mereka dan takut diusir satpam. "Cuek aja. Lagian kamu kan nemenin aku." Adam yakin tak akan ada yang berani menghina temannya. Di kampusnya ia merupakan salah satu mahasiswa teladan dan juga seorang ketua Himpunan Mahasiswa di jurusannya, ia pun calon ketua BEM. Ia disegani oleh hmpir semua mahasiswa dan juga disayangi oleh para dosennya. "Kamu cantik dan wangi kok."Adam memberikan penilaiannya. Baginya Tri terlihat seperti bidadari. Tentu saja Tri wangi, ia selalu mandi bersih dan memaksi parfum badan dan baju ditambah tak pernah meninggalkan sholat plus tiap saat mrncuci wajahnya dengan sabun pencuci wajah, meskipun harganya tak sampai dua puluh ribu namun Tri merawat dirinya dengan baik. "Kamu pede ya ngajak saya ke sana padahal teman-teman kamu pada cantik dan ganteng." Tri ragu. Memperhatikan sosok Adam, pemuda di hadaoannya itu memang pantas berada di kampus Sejati. Adam tampan dan bersih serta memiliki kepandaian. Tak akan ada yang menyangka jika ia berasal dari keluarga biasa-biasa saja. *** Dengan berbagai bujukan dari Adam akhirnya Tri mau ikut. Ia langsung naik motor duduk dibelakang Adam. "Kampus kamu hebat banget. Saya iri jafi ingin selerti kalian bisa duduk di bangku kuliah. "Tri memberikan komentarnya. Halaman dan Taman serta bangunan dari luarnya saja terlihat bersih dan terawat apalagi bagian dalamnyapasti didukung oleh fasilitas yang mewah dan canggih. "Mudah-mudahan kamu bisa segera kuliah. Ambil kelas karyawan saja biar masih bisa jualan." Adam memberikan saran. Sejak awal pertemuan mereka, Tri selalu curhat mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan studinya. "InsyaAllah rencananya tahun depan." Tri sudah merencanakannya dengan matang. Ia berharap semoga tabungannya cukup untuk biaya masuk yang tak sedikit. "Amin." Keduanya berkeliling di kawasan fakultas ekonomi sebelum akhirnya parkir. "Ayo, kita masuk ke dalam!" Adam menggandeng lengan Tri. Gadis berkemeja kotak-kotak dengan ransel di punggungnya itu merasa canggung. Adam dan Tri berjalan menuju ke sebuah ruangan yang terletak di lantai dasar, sepertinya ruang himpunan mahasiswa. Mereka langsung memasukinya. Disana ada dua mahasiswa tengah sibuk di depan layar komputer. "Siapa Dam?" Salah seorang temannya bertanya. "Cewek gue."Adam tersenyum manis tanpa melirik ke arah Tri. "Cie..cie..akhirnya diperkenalkan juga. Kapan-kapan kita nge date bareng ya, Bro." Teman Adam yang satunya lagi memberikan selamat. "Boleh." Adam mengiyakan. Tri mencubit lengan Adam yang telah sembarangan mengaku-ngaku. Adam malah tersenyum makin lebar. Jadi, gini ya rencana busuk Adam hendak memanfaatkan dirinya. Dasar Jomblo ngenes. Tri mengumpat kesal dalam hatinya. Sahabatnya itu memang kebangetan. Pada berbagai kesempatan ia sering menemani Adam untuk mrmghsdiri acaelra indangan namun Adam tak pernah dengan gamblang mengatakan ia adalah pacarnya. Mengungkapkan perasaan untuk memgajaknya jadian saja tak pernah. "Gua Rama ," mahasiswa bertopi menyebutkan namanya. "Baim," Satu lagi yang duduk di depan komputer pun turut memperkenalkan diri. Kedatangan Adam yang membawa seorang gadis pasti akan menjadi berita heboh, sekaligus meredam isu yang tengah merebak jika Adam tengah menjalin hubungan khusus dengan cucu pemilik yayasan yang bernama Alana. Gadis yang selalu.mengejar Adam. Mereka langsung pamit untuk melanjutkan acara jalan-jalannya. "Bentar ya, aku mau ke toilet dulu." "Oke." Tri duduk di bangku depan ruang HIMA. "Hai, Teh Tri." Terdengar suara tak asing di dekatnya, Dia Dhifa, salah satu mahasiswi yang menjadi pelanggannya. "Eh Dhifa. Mana Ana?" Tri mencari gadis yang selalu bersama Dhifa. Gadis yang ia kenal tengah mengejar Adam. "Hmm, barusan kan ada ke sini, aku lagi nyari dia." Dhifa dan Ana sengaja main ke kampus Adam, tentu saja untuk mengajaknya nongkrong bareng. Ya Allah, Tri merasa bersalah. Jangan-jangan ia mendengar ucapan Adam tadi. Kasihan dia kalau sampai salah paham. Ia dan Adam sama sekali tak ada hubungan khusus selain pertemanan. Ana sudah lama naksir Adam. Tri bakal kehilangan pelanggan setianya. "Teh, aku nyari Ana dulu ya, ke kampusku." Gadis yang dikenal Tri sebagai anak chef dan pemilik toko roti terkenal itu pamit meninggalkannya. "Iya." Tri mengangguk. Tri mulai melihat para mahasiswa lalu lalang. Mereka baru keluar kelas. "Dam, pulang yuk!" Begitu Adam kembali Tri mengajaknya pergi. Tri tidak nyaman melihat tatapan mereka yang seolah merendahkan dirinya. Tri terlalu negativ thinking dengan mengartikan tatapan mereka seolah merendahkannya, padahal bisa saja mereka cuma merasa asing. "Kita kan belum ke atas." Adam masih ingin menunjukkan kampusnya. Tri menggeleng. Ia tak memiliki kepercayaan diri untuk lebih jauh masuk. Bertemu dengan teman-teman Adam yang orang kaya membuat nyalinya ciut. "Kasihan Nini sama Aki, kalau pulang kesorean takut hujan." Tri beralasan. Akhirnya Adam menuruti keinginan Tri. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN