Posesif dan Cemburuan

1949 Kata
Levin menatap tajam pada Alex setelah mendengar ucapan pemuda itu yang seolah menantang dirinya. Dia tidak menyangka jika Alex punya nyali untuk berkata seperti itu padanya. Levin mengertakkan rahang, mencoba menahan amarahnya dan berbicara datar pada Alex. “Silakan aja, saya nggak akan marah. Toh Gabby dateng ke sini sama kamu, jadi memang sebaiknya tetep sama kamu. Hanya, tolong jaga Gabby dan anterin ke rumah dalam keadaan baik. Jika ada sedikit aja luka, baru saya akan turun tangan.” Levin mengatakan semua tanpa melepaskan tatapan matanya dari Alex yang terlihat tetap tenang, bahkan terkesan santai. Alex mendengkus pelan mendengar jawaban Levin. Ucapan dan sikap yang ditunjukkan pemuda itu jelas-jelas sangat bertolak belakang. Ingin rasanya dia tertawa mendengar perkataan Levin yang diucapkan dengan terpaksa dan sambil menahan amarah. Lagipula, apa hak Levin berkata seperti itu. Dirinyalah orang pertama yang akan turun tangan jika sesuatu terjadi pada Gabby. Siapapun orangnya, jika berani menyentuh sehelai saja rambut Gabby, maka akan berurusan dengannya. Baru jadi kekasih saja sudah bersikap menyebalkan seperti itu. Bagaimana kalau sudah menikah. Seperti apa kehidupan yang harus dijalani Gabby bersama pria posesif seperti Levin. Namun, Alex merasa sudah cukup untuk saat ini. Dia tidak ingin membuat Gabby yang sudah gelisah sejak tadi menjadi tidak nyaman. “Oke,” sahutnya enteng. “Kamu nggak usah khawatir, saya akan jaga Mikha dengan baik, dan saya pastikan kalo Mikha tidak terlukai.” Alex sengaja menyebut Gabby dengan Mikha untuk menunjukkan pada Levin, jika dirinyalah yang sebenarnya lebih dekat dengan Gabby. Bahwa hanya dia satu-satunya yang mempunyai panggilan khusus pada gadis itu. Levin mengernyit saat mendengar Alex menyebut Gabby dengan nama lain. Dia sama sekali tidak memperhitungkan kalau hubungan Gabby dan Alex sedemikian akrab hingga memiliki panggilan tersendiri. Di satu sisi, Levin merasa kalah dan itu membuatnya semakin marah dan tidak menyukai Alex yang dianggapnya sebagai saingan berat. “Saya pegang janji kamu.” Levin mengalihkan tatapannya pada Gabby dan dengan sengaja berkata dengan nada mesra pada gadis itu untuk membalas Alex. “Kamu hati-hati ya By, jangan lupa makan juga. Kalo udah di rumah, kasih kabar ke aku.” Tidak lupa Levin mengelus kepala Gabby dengan lembut, sembari melirik ke arah Alex untuk melihat reaksi pemuda itu. “Hm.” Gabby mengangguk singkat sambil memundurkan kepalanya supaya Levin berhenti melakukan perbuatan konyol di hadapan Alex yang hanya berdiri tenang dan tidak mempedulikan Levin. Gabby sudah merasa gerah menyaksikan kedua pemuda di dekatnya bertingkah seperti anak kecil yang sedang memperebutkan mainan. Tanpa menunggu lama, dia menarik lengan Alex dan menyeret sahabatnya menjauhi Levin yang masih melotot ke arah Alex. Setelah berada cukup jauh dari Levin, Gabby melepaskan tangannya dan mendelik pada Alex yang tetap bersikap santai, tidak merasa terganggu sedikitpun dengan kelakuan Levin tadi. “Elo ngapain sih pake ngomong kayak tadi? Pengen nyari ribut sama Levin?!” Alex mengulum senyum mendengar omelan Gabby yang terdengar manis di telinganya. “Nggak tuh, biasa aja,” sahut Alex tenang. Gabby mengentakkan kaki gusar mendengar cara bicara Alex yang terkesan santai. “Terus ngapain ngomong kayak tadi?! Kesannya kayak mau nyari ribut! Gue tau elo tuh jago berantem, tapi nggak gitu juga kali. Itu kan pacar gue, hargain gue dikit napa!” “Gapapa, aku cuma mau liat aja sampe sejauh mana dia bakal bersikap posesif sama kamu.” Akhirnya, Alex mengungkapkan alasannya sengaja bersikap seperti itu pada Levin. “Aku bingung sama pacar kamu Mik, baru pacaran aja udah kayak gitu, gimana nanti kalo udah nikah? Apa kamu yakin mau pacaran sama cowok yang suka ngekang dan cemburuan kayak dia?” Gabby mendelik gusar mendengar perkataan Alex. “Sok tau lo! Darimana elo tau kalo Levin itu posesif dan cemburuan?! Pacaran aja belum pernah!” Alex berdecak gusar mendengar ucapan Gabby yang meremehkan dirinya. “Aku tuh juga laki-laki kali Mik, jadi ya tau gimana sikap dan kelakuan dia. Itu tuh ciri-ciri cowok posesif. Kalo kamu nggak percaya, buktiin aja sendiri.” “Dasar sotoy!” Gabby yang gusar mendengar perkataan Alex yang semakin menyebalkan, membalikkan badan dan meninggalkan pemuda itu. Alex menggeleng melihat kelakuan Gabby yang seperti itu. Dia berjalan mengikuti gadis itu dari belakang dan terus mengawasi Gabby dengan baik. Sudah biasa melihat sahabatnya seperti itu, yang jika marah akan pergi dan berjalan seenaknya hingga amarahnya mereda. Dan seperti biasa, Alex hanya akan diam dan menemani sampai Gabby kembali seperti biasa. Seperti perkiraan Alex, tidak lama kemudian, Gabby berbalik dan berjalan ke arahnya, dengan wajah sudah seperti biasa lagi. “Lex, gue laper nih. Elo masih lama di sininya? Makan dulu ya, ntar mau balik lagi gapapa deh.” Alex tertawa dalam hati mendengar perkataan Gabby. Sehabis marah, gadis itu memang akan lapar, dan akan menghabiskan banyak makanan. Dengan santai, dia mencubit pelan pipi Gabby. “Kamu mau makan apa?” “Enaknya apaan ya?” Gabby diam dan memikirkan makanan apa yang cocok untuk dirinya saat ini. “Gimana kalo soto? Kayaknya enak tuh makan yang hangat-hangat, apalagi kalo ditambahin jeruk nipis dan sambel yang banyak.” Air liur Gabby terbit membayangkan menikmati soto yang akan dimakannya. “Oke, nggak masalah. Kita keluar sekarang?” ujar Alex tanpa mengajukan protes sedikitpun mengenai pilihan makanan Gabby, walaupun dia kurang menyukai masakan berkuah. Selama Gabby suka, itu sudah cukup untuknya. “Hm.” Gabby mengangguk senang karena Alex tidak menolak permintaannya. “Kamu mau pamit dulu nggak sama Levin?” “Nggak usah,” sahut Gabby tenang. “Ntar aja kalo udah di rumah gue kasih kabar ke dia.” Tanpa sungkan, Gabby melingkarkan tangannya di lengan Alex dan setengah menyeret sahabatnya meninggalkan ruang pameran. Tanpa sepengetahuan Gabby dan Alex, sejak tadi Levin mengikuti mereka berdua dan terus memperhatikan interaksi di antara keduanya. Levin menatap kepergian Alex dan Gabby dengan tatapan penuh kebencian dan amarah. Hati Levin panas luar biasa melihat kedekatan antara kekasihnya dan Alex. Dia merasa kalau Alex sedang berusaha merebut Gabby dari sisinya. Dan Levin tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Bagaimanapun caranya, dia harus bisa terus mempertahankan Gabby sehingga dapat melakukan apa yang sudah direncanakan sejak awal. *** “Mam, Gabby belum pulang?” tanya Abimanyu setelah melihat jam dinding. “Belum. Gabby bilang hari ini pulangnya rada telat. Kenapa?” “Ini kan udah malam, kasian dong kalo dia pulang sendirian.” Abimanyu beranjak dari sofa dan masuk ke dalam kamar. Tidak lama kemudian, Abimanyu keluar, sudah berganti pakaian sambil membawa kunci mobil. “Papa mau ke mana?”Helen mengernyit saat melihat suaminya sudah siap mau pergi. “Mau jemput Gabby,” sahut Abimanyu tenang. Helen menggeleng melihat kelakuan suaminya yang terlalu sayang dan terkesan memanjakan Gabby dan Reni. Abimanyu selalu seperti itu pada kedua putrinya, apalagi pada Gabby. “Pa, kenapa sih kamu nggak ngasih mobil aja buat Gabby? Jadinya kan kamu nggak perlu repot-repot antar jemput dia. Gabby kan udah besar, udah punya SIM juga. Nggak ada salahnya kan kamu ngajarin dia mandiri.” Abimanyu memandang Helen yang bersidekap dalam jarak sekitar satu meter darinya. “Emang kamu nggak keberatan? Papa emang ada rencana mau ngasih dia mobil, tapi Papa mau denger pendapat kamu dulu. Kalo kamunya nggak masalah, ya Papa bakal cari mobil yang cocok buat Gabby.” Helen terdiam mendengar perkataan Abimanyu, yang ternyata juga sepikiran dengannya. Suaminya adalah pria pendiam, akan tetapi selalu menunjukkan perhatian dalam bentuk tindakan nyata. “Mama sendiri sih nggak masalah, malah bagus begitu. Beban kita kan jadi berkurang satu, apalagi kan sekarang Gabby udah mulai kuliah, jadwalnya juga pasti padat. Mama kan nggak bisa setiap saat anter jemput dia, cuma ….” Helen sedikit ragu untuk melanjutkan ucapannya, karena apa yang akan dikatakan menyangkut hubungan Gabby dengan Levin. “Cuma? Ada sesuatu yang bikin kamu nggak yakin?” Abimanyu mendekat dan memandang istrinya lembut. “Kamu bilang aja, jika memang alasan yang kamu kasih masuk akal, Papa akan tunda ngasih mobil ke Gabby. “Apa nantinya nggak akan bikin Levin jadi minder? Kita kan tau seperti apa keadaan keluarganya. Kalo Gabby punya kendaraan sendiri, apa nanti nggak akan jadi ganjelan buat Levin?” Abimanyu mengembuskan napas mendengar ucapan istrinya. Dia memang belum menceritakan tentang Levin yang sebenarnya pada Helen. Sebisa mungkin, dia tidak ingin ada seorangpun tahu mengenai cerita menyakitkan yang terjadi yang berhubungan langsung dengan pemuda itu. “Papa rasa Levin bakal ngerti. Toh dia juga nggak bisa selalu anter jemput Gabby karena sekarang udah kerja, dan nggak bisa ninggalin mamanya terlalu lama sendirian di rumah.” “Ya kalo menurut Papa nggak akan masalah, Mama sih ngikut aja.” Abimanyu tersenyum lembut pada istrinya yang selalu pengertian dan mendukung dirinya sepenuh hati. “Oke, kalo gitu besok Papa akan mulai cari-cari mobil yang cocok buat Gabby. Tapi, untuk malam ini, biarin Papa jemput dia ya?” “Si-” Helen tidak jadi melanjutkan ucapannya karena melihat Gabby sudah berdiri di ruang keluarga sambil tersenyum lebar. “Malam Pa, malam Ma.” Abimanyu menoleh mendengar suara Gabby dan langsung tersenyum lega melihat putrinya baik-baik saja, hanya wajahnya saja yang terlihat lelah. Abimanyu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke arah Gabby. “Baru Papa mau jemput, eh kamunya udah sampe duluan.” Gabby menghambur ke dalam pelukan Abimanyu dan menyusupkan kepala di d**a ayahnya dengan manja. Abimanyu mengelus sayang kepala putri sulungnya. “Cape?” tanyanya lembut pada Gabby. “Banget, rasanya badan Gabby mau copot semua tulangnya.” “Emang kamu ngapain aja?” “Banyak, dan nggak bisa diomongin satu-satu.” Gabby melonggarkan pelukan dan memandang manja pada Abimanyu. “Tapi Gabby suka, dan nggak nyesel udah milih kuliah di perhotelan.” Abimanyu tersenyum lembut mendengar perkataan putrinya. “Baguslah kalo kamu suka,” ujar Abimanyu turut senang. “Dan Papa harap, setelah lulus, kamu bisa wujudin mimpi kamu.” “Harus Pa, harus bisa.” Gabby menatap Abimanyu dengan semangat terpancar jelas di kelua bola matanya. “Apalagi nanti, kalo buka toko, Gabby bisa barengan terus sama Levin, keren kan?” Abimanyu tidak mengatakan apa-apa tentang ide Gabby. “Sekarang mending kamu mandi, makan, terus tidur, oke?” “Siap Bos.” Gabby melepaskan pelukan Abimanyu dan berjalan ke kamarnya. Helen yang sejak tadi memperhatikan raut wajah suaminya, merasa kalau Abimanyu menyembunyikan sesuatu. Dia menghampiri Abimanyu yang sudah kembali duduk di sofa. “Pa, kamu kenapa? Kok muka kamu langsung beda pas Gabby bilang mau buka toko bareng sama Levin? Kamu tau sesuatu yang Mama nggak tau?” Abimanyu memandang Helen dan menggeleng pelan. “Gapapa Ma, cuma kan kayaknya masih cukup lama aja sampe semua impian Gabby bisa jadi kenyataan. Andai sebelum dia lulus, udah nggak ada hubungan sama Levin gimana? Makanya Papa nggak mau bahas apa-apa dulu.” Helen belum puas mendengar jawaban yang diberikan Abimanyu. Namun, dia tahu percuma saja membujuk suaminya yang terlihat enggan membahas tentang hal itu. Jika Abimanyu sudah siap, Helen yakin suaminya akan bercerita sendiri tanpa diminta. “Ya doanya jangan yang gitu dong.” Helen memilih untuk mengikuti keinginan suaminya, walaupun hatinya tetap penasaran dengan sikap Abimanyu tadi. “Harusnya kamu doain biar hubungan mereka langgeng sampe nikah.” Helen sengaja menambahkan ucapannya untuk melihat reaksi Abimanyu sekali lagi. Abimanyu yang merasa sudah cukup membicarakan tentang masalah Gabby dan Levin, mencoba untuk mengalihkan perhatian Helen. “Kamu udah siapin makan buat Gabby? Kayaknya sebentar lagi dia selesai mandi.” Melihat sikap Abimanyu, Helen semakin yakin jika suaminya menyembunyikan sesuatu. Tanpa banyak tanya, Helen meninggalkan ruang tamu menuju ke ruang makan untuk menyediakan makan malam bagi Gabby. Setelah Helen meninggalkan ruang keluarga, Abimanyu menyandarkan kepalanya ke sofa dan memejamkan mata. Kembali terlintas kenangan menyakitkan yang hingga sekarang tidak pernah bisa dilupakan, dan akan terus menjadi kenangan pahit dalam perjalanan kehidupannya. Air mata menetes dari kedua mata Abimanyu yang terpejam saat mengingat tentang masa itu, masa terkelam dalam keluarganya. “Apakah semua harus terulang lagi?” gumam Abimanyu getir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN