Aborsi

1062 Kata
Cahaya matahari yang masuk dari jendela begitu terik, membuat Kalix dapat melihat jelas wajah pucat Airin yang masih terkulai lemas di ranjang, berbagai cara telah ia coba agar gadis itu sadar namun belum juga membuahkan hasil. Rasa takut yang Kalix rasakan sebenarnya juga cukup besar, apalagi bila saat ini Rendy muncul dengan keadaan Adik kesayangannya yang terkulai lemas tak berdaya karena shock berat. Kalix berdiri lalu duduk, lalu berdiri dan kembali duduk, pria yang biasa terlihat tenang itu juga tampak kalut karena tidak tahu harus melakukan apa pada gadis muda yang ada di hadapannya kini. "Apa aku bawa saja Airin ke rumah sakit?" tanya Kalix saat memastikan bahwa denyut nadi Airin berdetak normal. Tiba-tiba saja jemari kelingking Airin bergerak membuat Kalix langsung menggenggam kuat tangan mungil dengan jari-jari yang lentik itu. Airin yang merasakan tangannya di pegang erat, berusaha membuka perlahan-lahan kelopak matanya yang terasa berat. Saat matanya terbuka sempurna, ia langsung melihat sosok Kalix yang sedang memegang tangan kanannya, mata mereka saling bertatapan dengan intens. "Ka-lix?" ujarnya terbata-bata. Airin dengan segera bangkit setelah menyadari dan mengingat kejadian yang terjadi padanya tadi. "Lepaskan aku!" bentaknya dengan mata yang penuh dengan bulir air mata. "Airin, tenanglah dulu, aku mohon jangan panik," bujuk Kalix berusaha tampak tegar dan tenang. "Tenang? kau gila ya! wanita mana yang bisa tenang saat kondisi tubuhnya seperti ini, aku hamil Kalix," teriaknya menutup kedua matanya yang berair. Kalix menghela kasar nafasnya, ia sadar dan tahu bagaimana perasaan Airin sekarang, Gadis yang sedang penuh semangat dan gairah untuk meraih cita-citanya sebagai seorang Dokter, kini harus pupus karena sedang mengandung anaknya. "Aku tahu, aku juga tidak menyangka hal ini terjadi, tapi kita harus tenang, ki-ta bisa gugurkan anak itu," jawab Kalix terbata-bata. Butuh keberanian besar untuk mengatakan hal gila itu, mengingat Kalix adalah seorang Dokter dan tidak seharusnya ia mengatakan hal yang di larang Agama maupun Hukum itu. Mengatakan kalimat mengerikan itu sudah membuatnya melanggar kode etik sebagai seorang Dokter Bedah Anak yang seharusnya menyelamatkan nyawa anak-anak yang sakit, tapi kini ia malah berencana untuk menghilangkan nyawa anaknya sendiri. Namun berbeda dengan Airin, gadis itu semakin kesal mendengar pernyataan kejam Kalix dengan wajah yang begitu tenang. "Maksudmu kita aborsi anak ini?" tanya Airin sambil meraba perutnya yang masih rata. Kalix mengangguk. "Sebentar lagi kau akan masuk Kuliah dan aku akan menikahi Angeline, bukankah hanya itu satu-satunya cara terbaik?" Airin memegangi dadanya, ia merasakan sesak di d**a, kenapa rasanya sangat sakit saat Kalix mengatakan hal itu, ia sadar kalau yang di katakan Kalix adalah satu-satunya jalan keluar untuk masalah mereka, namun kenapa begitu mudah bagi pria yang berprofesi Dokter itu untuk mengakhiri hidup calon anaknya sendiri. "A-ku ingin sendiri, tolong pergi dari sini," gumam Airin yang membaringkan tubuhnya ke ranjang, ia bahkan sengaja membelakangi Kalix karena merasa kecewa dengan pria itu. "Airin aku-" "Aku bilang pergi dari sini!" potong Airin memotong ucapan Kalix. Kalix pun bergegas pergi meninggalkan Airin dengan perasaan campur aduk, melihat ekspresi gadis itu ia sadar betul kalau Airin kesal padanya, namun ia sendiri tidak tahu harus mengatakan apalagi. "Baiklah aku akan pergi, dan jangan katakan apapun pada Rendy, aku akan menghubungi saat kau mulai tenang, jaga dirimu baik-baik," ujar Kalix sebelum meninggalkan Airin begitu saja. Setelah kepergian Kalix, Airin kembali menangis, kini gadis itu menangis sampai terisak, ia merasa kecewa pada dirinya sendiri apalagi ia teringat pada Rendy, satu-satunya orang yang tersisa di dunia ini yang mencintainya dengan tulus. "Maafkan aku Kak Rendy, aku salah! aku bodoh! aku hanya bisa membuat aib di Keluarga kita," tangisnya semakin pecah saat mengingat kedua orang tuanya yang telah wafat. Sedangkan Kalix, pria itu hanya bisa berjalan sambil tertunduk lesu. Ting... Pintu lift terbuka dan sosok Rendy keluar dari lift yang sedang ditunggu oleh Kalix. "Kalix?" sapa Rendy dengan senyuman ceria. Kalix yang kaget tampak melotot. "Hei Kawan ada apa?" tanya Rendy yang keluar dari lift. Melihat kepanikan di wajah Kalix membuat Rendy curiga. "Ada apa sih? kenapa kau terlihat bingung?" tanya Rendy menepuk sebelah kanan pundak Kalix. Kalix pun akhirnya sadar dan berusaha kembali fokus. "Y-ya, tadi aku ke Apartemen mu, ternyata kau tidak ada, jadi aku kembali," jawab Kalix gugup. Rendy mengernyitkan dahinya, perasaan ia tak bertanya masalah itu, kenapa tiba-tiba Kalix malah menjawab sesuatu yang tidak ia tanya sama sekali. Bagi Rendy, hal seperti ini sudah biasa terjadi, dan Rendy tak perlu menanyakan hal itu lagi bila Kalix berada di gedung Apartemen ini, pria itu pasti mencari dirinya. Namun ia tak mau ambil pusing. "Ha, baiklah sepertinya kau sedang memiliki masalah, ayo kita masuk ke Apartemen ku," ujar Rendy merangkul pundak Sahabatnya itu. "Ti-dak Ren, aku ada pekerjaan mendesak, aku harus pergi sekarang," ujar Kalix menarik dirinya dari rangkulan Rendy. Ia menekan tombol lift berkali-kali agar lift segera terbuka. "Aku pergi Ren," teriaknya saat pintu lift tertutup. Rendy hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya karena bingung dengan sikap aneh Kalix. "Sepertinya dia bertengkar dengan Angeline, aku dengar orang yang akan menikah memang akan sering berbeda pendapat, mungkin saja hal itu yang membuat Kalix gusar," ucapnya pada diri sendiri. Rendy pun mengacuhkan Kalix dan melanjutkan langkah kakinya menuju kamar Apartemen miliknya. Saat memasuki kamar Apartemen miliknya, ia merasa sedikit aneh, Televisi yang masih menyala namun ia tak menemukan Airin. "Airin, Kakak pulang dek," teriaknya sambil melemparkan tubuhnya ke Sofa, begitu juga tas yang berisi peralatan medis yang selalu ia bawah pergi dari Apartemen ke Rumah sakit. Namun, Airin tak kunjung menjawab. "Airin?" panggilnya lagi. Tetapi tetap tidak mendapat jawaban. Rendy yang begitu menyayangi Airin selalu merasa tidak puas hati bila tidak melihat wajah Adiknya itu saat ia pulang bekerja. Tok... tok... tok... Rendy mengetuk pintu kamar Airin. Ternyata Airin masih saja tenggelam dalam kesedihannya, ia masih terus menangis sambil menenggelamkan wajahnya dengan bantal. Tetapi setelah mendengar suara ketukan yang entah beberapa kali akhirnya Airin tersadar dan dengan cepat beranjak dari ranjang. "Airin, apa kau di kamar dek?" teriak Rendy dari balik pintu. Airin buru-buru menghapus air matanya, ia bahkan berulang kali mengeluarkan ingus dari hidungnya dengan tisu sehingga hidungnya yang mancung dan mungil terlihat sangat merah. "Y-ya, sebentar Kak," jawab Airin sedikit berteriak. Ceklek... Pintu kamar Airin pun terbuka hingga menunjukkan sosok dirinya yang berpura-pura tersenyum bahagia. "Kak Rendy sudah pulang?" tanya Airin lembut. Airin yang belum menyadari kalau matanya sembab dan hidungnya merah terkejut saat Rendy menggenggam erat pundak kanan dan kirinya. "Ada apa denganmu Airin? kau menangis? siapa yang sudah berani menyakiti Adikku?" ujar Rendy dengan suara yang sedikit meninggi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN