Andhara membaca dengan seksama lembar status pasien yang terhantar di mejanya. Status itu milik gadis kecil yang berusia delapan belas bulan. Pemeriksaan penunjang berupa USG, CT Scan dan MRI turut dilampirkan di sana. Dia positif mengidap cacat kongenital dengan kondisi pertumbuhan lingkar kepalanya yang tidak wajar atau biasa disebut dengan hidrosefalus.
Andhara tahu betul apa yang harus ia lakukan dengan kondisi pasien yang dihantarkan berkasnya di meja prakteknya itu, bukankan ini sudah masuk ranah spesialisasinya? Ia menghela nafas panjang, Ventriculoperitoneal Shunt Surgery adalah satu-satunya tindakan yang bisa lakukan untuk kasus ini.
Ia bergegas menghubungi bagian dokter awal yang menangani kasus gadis itu sebelumnya. Setelah berdiskusi panjang lebar dan menanyakan perihal kesiapan rumah sakit untuk prosedur VP Shunt Surgery itu, akhirnya Andhara memutuskan untuk sesegera mungkin melakukan tindakan operasi tersebut, lebih tepatnya besok pagi itu juga Andahara akan melakukan tindakan terhadap gadis kecil itu, terlebih posisi anak itu sekarang sudah menjalani rawat inap di RSUD ini.
"Kapan Anda akan melakukan visiting, Dok?" Andhara menyimak pediatric itu lewat telepon, sebelum dioper kepadanya gadis bernama Tissa ditangani oleh Dokter Adi.
"Mungkin nanti siang, selepas dzuhur."
Andhara mengangguk, artinya ia ada kesempatan untuk melihat dan meng-anamesa lebih lanjut kondisi Tissa untuk persiapan operasi besok pagi.
"Baik Dokter, izinkan saya bergabung pada visiting nanti," Andhara mencoret-coret agendanya, lalu membereskan berkas status Tissa yang berserakan di mejanya itu.
Semoga kedepannya akan lebih banyak hal yang bisa ia lakukan dengan ilmunya di rumah sakit ini. Dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan derita yang pasien alami adalah goals-nya sebagai dokter, dan ia bertekad untuk bisa menolong lebih banyak orang lagi dalam sepanjang kariernya, dalam sepanjang hidupnya.
***
"Jujur saya sangat menyesalkan pengunduran diri Dokter Andhara dari rumah sakit ini, Dok," Dokter Arya tampak tersenyum masam, di hadapannya duduk sosok Dokter Dirgantara Pambudi, dokter penyakit dalam yang juga ayahanda dari sosok yang sedang ia bahas itu.
Sejak masuk PPDS Bedah Saraf, Andhara Arunika sudah ia bidik dan ia gadang-gadang jadi ahli bedah saraf yang bisa diandalkan dan dibanggakan rumah sakit ini. Namun sayang, selepas kelulusannya, ia hanya bertahan satu tahun bekerja di bawah kepemimpinannya. Setelah itu ia lebih memilih mengundurkan diri dan kabarnya sekarang ia mengabdikan dirinya di sebuah Rumah Sakit Umum Daerah yang ada di salah Kota Solo itu. Sebuah rumah sakit yang sebenarnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rumah sakit swasta dengan skala internasional yang sekarang ia pimpin itu.
Dokter Dirga tampak menghela nafas berat, "Saya sudah mencoba untuk mencegahnya pergi, namun ia keras kepala, Dok."
"Maaf sebelumnya, sebenarnya apa yang terjadi, sehingga kemudian Dokter Andhara lebih memilih menyingkir dan mengasingkan diri sampai sejauh itu?"
Dokter Dirga kembali menghela nafas panjang, haruskah ia ceritakan pasal kejadian yang sebenarnya? Sebuah peristiwa pedih yang putri satu-satunya itu alami? Apakah sama saja dengan membuka aib keluarga dan sejawatnya jika ia menceritakan semuanya yang terjadi pada direktur rumah sakit ini? Dirga menatap nanar sejawatnya itu, kemudian menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan.
"Yang dia katakan pada saya hanyalah dia ingin membuka lembaran baru hidupnya, Dok. Dia ingin melupakan semua peristiwa yang terjadi pada hidupnya."
Dokter Arya tampak mengangguk tanda mengerti, perceraian ahli bedah saraf dengan sang suami yang kebetulan seorang ahli anetesi itu memang sudah ia dengar jauh-jauh hari sebelum kemudian dokter tiga puluh tahun itu memutuskan untuk mengajukan resign. Jadi karena itu? Karena ia tidak ingin mengingat semua yang telah ia lewati dalam kehidupan rumah tangganya kemudian ia memutuskan untuk pergi jauh dari kota kelahirannya ini?
Namun Dokter Arya tidak bisa memaksakan kehendaknya bukan? Persoalan psikologis macam itu tentu hanya Dokter Andhara sendiri yang paham dan tahu seberapa rapuh mentalnya setelah perceraian itu terjadi. Dokter Arya tidak tahu apapun perihal apa yang dia sebenar-benarnya rasakan bukan?
"Saya sungguh sangat menyesalkan tentang kejadian itu, kejadian yang membuat rumah sakit ini akhirnya harus rela kehilangan ahli bedah saraf terbaik."
Dirga menghembuskan nafas panjang, bukan hanya rumah sakit ini saja yang kehilangan. Tetapi dia juga! Dia kehilangan sosok itu. Gadis kecilnya yang manja itu kini berada jauh dari jangkauannya. Kenapa ia baru sadar bahwa ia turut andil dalam menciptakan luka di kehidupannya Andhara? Kenapa tidak sejak dulu Dirga menyadarinya? Tetapi sesalnya tidak mengubah apapun, semua sudah terjadi, sudah terukir dan yang pasti sudah tidak dapat diperbaiki lagi, semuanya sudah hancur. Dan Andhara adalah korbannya.
***
"Operasinya besok pagi, Dok?" wanita paruh baya itu tampak berkaca-kaca, Andhara tahu betul, pasti sangat berat melepas gadis delapan belas bulan itu untuk di dorong masuk ke dalam OK. Namun apa boleh buat, semua ini demi kebaikan dia bukan?
"Iya, lebih cepat lebih baik bukan? Jangan khawatir, kami akan melakukan yang terbaik untuk Tissa," Andhara mencoba membuat wanita paruh baya itu percaya dan yakin tentang tindakan yang akan ia lakukan pada putrinya itu.
"Baik, Dokter. Kami setuju," ujarnya kemudian yang disusul dengan helaan nafas lega dari Andhara dan Adi.
Tampak wanita paruh baya itu kemudian membaca dengan rinci surat persetujuan operasi itu sambil mendengarkan penjelasan tentang prosedur dan resiko yang akan terjadi pasca operasi dilakukan. Ia tampak sesekali mengangguk tanda paham, kemudian dengan mantab membubuhkan tanda tangannya di surat persetujuan operasi itu.
Andhara tersenyum, ia melirik iba Tissa yang hanya bisa berbaring di atas ranjangnya itu. Gadis ini adalah pasien pertama yang ia tangani di rumah sakit ini, gadis yang akan menguji Andhara dengan ilmu-ilmu kedokteran bedah saraf yang sudah ia pelajari bertahun-tahun.
Setelah melakukan visiting, Andhara memutuskan untuk kembali ke ruangannya, tepat di saat ia masuk ke dalam ruangannya, iPhone dalam saku snelli-nya berbunyi, ia merogoh sakunya dan menemukan nama itu ada di layar iPhone-nya.
"Papa?"
Sejenak Andhara ragu, untuk apa papanya itu menelepon? Apakah perlu ia angkat? Atau cukup abaikan dan menjadikan operasi sebagai alasannya? Rasanya itu tidak etis! Andhara menghela nafas panjang, lalu dengan mantab mengangkat panggilan itu.
"Halo,"
"An, apa kabarmu?" suara itu terdengar begitu parau.
"Baik, Andhara baik, Pa. Papa sendiri?" tanya Andhara basa-basi, sejujurnya ia malas, namun apa boleh buat? Ia duduk di kursinya sambil menyimak apa yang hendak papanya itu katakan.
"Entah, Papa sendiri tidak tahu," jawab suara itu lirih.
Andhara tersenyum sinis, " Tidak tahu? Papa sudah hampir empat puluh tahun jadi dokter dan tidak bisa sekedar memastikan kondisi diri sendiri?" sindir Andhara lalu menyadarkan punggungnya di kursi.
"Maafkan Papa, An. Papa memang orangtua yang buruk."
"Setidaknya Papa dokter yang baik, bukan?" rasanya Andhara ingin berteriak, memaki, menangis sejadi-jadinya, tapi untuk apa? Untuk apa ia melakukan itu? Tak terasa air matanya menitik, ia mulai merasakan dadanya sesak. Kenapa rasa sakit itu harus kembali muncul?