8. Pasangan Serasi

2417 Kata
“Suamiku,” ujar Winny dengan penuh rasa bangga. Aska langsung semringah. Sekalipun tahu Winny mengatakan itu demi pencitraan di depan teman-temannya, tapi dia tetap merasa bahagia karena ini insiatif pertama sang istri untuk menyentuhnya. Tidak ada tatapan kebencian, maupun rasa jijik dalam ekspresinya. Hanya ada keangkuhan untuk membanggakan suaminya. Dia berharap Winny bisa terus seperti ini agar ketampanannya tidak sia-sia. Rahang setiap wanita hampir jatuh di saat bersamaan. Bahkan Rulma yang telah mengetahui hubungan Aska dan Winny pun tak luput dari terkejut. Setahunya, teman baiknya itu sangat membenci Aska, tapi kenapa sekarang malah mengakuinya sebagai suami? Apakah Winny mulai menyukai suaminya? Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Menikmati wajah-wajah iri dari kaum hawa ini benar-benar memuaskan ego Winny. Kalau bisa, dia ingin tertawa terbahak-bahak sepuasnya, kemudian mengambil mikrofon dan teriak, ‘Apa kalian lihat suamiku? Ya, pria tampan itu suamiku! Apa kalian merasa iri sampai ke tulang? Nikmatilah sensasinya! Hahahahahaha....’ Luna menatap wajah Aska yang memang lebih tampan dari Kai, tapi hatinya tidak tergerak sama sekali untuk pria itu. Daripada ekspresi dingin Aska yang penuh permusuhan ketika menatap semua orang, dia lebih suka wajah ramah Kai yang membuat orang ingin dekat dengannya. “Apa kau benar-benar suaminya? Bukan orang yang dia sewa untuk berpura-pura menjadi suaminya?” tanya Laura kepada Aska. Perpaduan antara perasaan terpesona dengan si tampan Aska dan perasaan tidak rela atas keberuntungan Winny, bercampur aduk membuat hati Laura tidak nyaman. Akibatnya, dia tidak menyadari kalau ocehannya mulai ngawur, membuat semua orang menatapnya dengan aneh. Bahkan suaminya pun mulai terlihat kesal karena sang istri terus menatap Aska sejak kemunculannya. Rulma menyela, “Tentu saja itu suaminya. Sekalipun tidak ada pesta meriah, tapi keluarga, teman bisnis, dan beberapa relasi mengetahui hubungan mereka.” Dia mendadak menunduk, berpura-pura sedih. “Tapi kudengar dari Winny, dia dipaksa untuk menikah dengan Aska.” Aska tidak repot-repot memandang Laura dan Rulma, atau menanggapi ocehan keduanya. Dia hanya memandang Kai dengan sedikit seringai, lalu menatap setiap orang. Dengan senyuman provokasi, dia menggenggam tangan Winny. “Kenapa berkumpul di luar?” tanya Aska kepada Winny. “Lihat, tanganmu menjadi dingin.” “Mereka menunggu Kai. Katanya, tempat di dalam sudah disewakan kepada orang lain.” Winny membiarkan Aska mengusap-usap punggung tangannya untuk membuatnya hangat, sembari melirik ekspresi iri para wanita yang mengaku sebagai teman sekelasnya. Teman sekelas melirik kemesraan Winny dan Aska, lalu menatap Rulma yang terdiam. Tanpa menjawab pernyataannya, dua orang itu langsung menunjukkan jawabannya. Bukankah itu lebih menampar mereka daripada sekadar ucapan? “Oh, Tuan Kai ini bisa mengambil kembali tempat itu?” tanya Aska, lalu mengecup punggung tangan Winny seolah sengaja membuat panas mantan pacar sang istri. “Katanya dia bisa,” ujar Winny sembari melirik Kai. Apa yang dilakukan Winny saat ini tidak mengubah alur sama sekali, karena dalam cerita novelnya pun Kai dan Luna akan bertengkar setelah reuni hari ini. Dia hanya takut Kai akan membalasnya, tapi dia tetap nekad mengambil jalan itu karena mengandalkan Aska. “Ya. Aku. Bisa,” kata Kai, dengan setiap penekanan kata. “Albian Cafe ini milik temanku, dan Karnova Hotel sangat menghormatiku. Kalian jangan khawatir, aku akan dapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi hak kita.” Cara bicara Kai cukup ramah, dengan ekspresi dan senyuman hangat. Jika tidak didengarkan dengan detail, tidak ada yang akan menyadari nada angkuh dalam kalimatnya. Tapi si detail Aska bisa menyadari itu, terutama kalimat terakhir yang diucapkan Kai sembari melirik Winny. Dia mengartikan itu sebagai undangan perang. “Kalau begitu, tunggu apa lagi? Di luar dingin.” Aska mengusap pipi Winny yang memerah. “Kau tidak bermaksud membekukan istriku, kan?” Kai menggemeretakkan giginya ketika menatap lekat Aska yang menggenggam erat tangan Winny. Seolah provokasinya barusan tidak berarti apa-apa bagi pria itu. Dia pun melangkah lebih dulu, tak lupa menarik Luna untuk berjalan di sisinya. Setiap langkah terasa berat, dan hatinya merasa nyeri. Kai marah karena Winny terlihat sangat bahagia dengan suaminya, tapi di sisi lain, dia sangat sedih karena hanya dirinya yang belum bisa move on dari masa lalu. Dia jadi bertanya-tanya, apakah hubungan selama lima tahun itu tidak berarti apa-apa bagi Winny? Kenapa dia merasa wanita itu sengaja memprovokasinya dengan menunjukkan kemesraan di depannya? Apakah Winny yang memiliki senyum hangat itu palsu, dan Winny yang matre haus kekayaan inilah wajah aslinya? Luna merasakan tangannya sakit karena Kai menggenggamnya terlalu erat, tapi dia tidak mengeluarkan suara sedikit pun karena mengetahui suasana hati pria itu sedang rumit. Sebenarnya, dia juga ingin marah kepada Kai. Dia ingin bertanya, apakah dia benar-benar hanya pengganti untuk Winny? Tapi dia menahan diri agar tidak ikut-ikutan marah dan mempengaruhi hubungan mereka. Mengikuti Kai dan Luna di belakang, Aska bertanya dengan suara lembut kepada Winny, “Kenapa mengenakan pakaian yang tipis?” Winny merasa merinding dengan ucapan lembut Aska, tapi dia masih membalas dengan suara yang tenang. “Bukankah aku terlihat cantik dengan gaun ini?” “Memang, tapi kalau itu membuatmu sakit, lebih baik tidak usah memakainya.” Aska menyempatkan diri memperbaiki jasnya yang turun dari bahu Winny. “Pakai dengan benar.” Sekalipun tahu Winny hanya berakting menjadi istri yang penurut, tapi Aska sangat serius dengan perannya sebagai suami. Kapan lagi dia memiliki kesempatan menunjukkan cinta dan kepeduliannya kepada sang istri kalau bukan sekarang? Dia tahu, sepulang dari sini, istrinya akan kembali menunjukkan kebencian dan rasa jijik terhadapnya. Karena itu, selagi bisa memakai jabatan ‘suami’ ini, dia akan memanfaatkannya dengan baik. Orang-orang yang berjalan di belakang pasangan itu menjadi iri dengan Winny yang sangat beruntung mendapatkan pria tampan, kaya, penyayang dan penuh perhatian seperti Aska. Astaga, bagaimana bisa ada pria sesempurna itu di dunia ini? Kemudian mereka mengamati kalau Winny juga wanita yang cantik dan cerdas. Sekarang rasa iri mereka bertambah karena ada pasangan yang begitu serasi. “Akhirnya kau tahu kalau istrimu kedinginan? Lalu kenapa datang begitu lama?” keluh Winny. “Aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lebih dulu.” “Karena kau datang lama, aku dibully oleh mereka. Aku sangat ketakutan tadi.” Mereka yang katanya membulli Winny serentak berpikir serupa: “Takut? Siapa yang selalu berekspresi santai saat Laura terus mengoceh tentang suami yang tua dan jelek? Siapa yang tadi melawan dan membalas perkataan mereka dengan sengit? Siapa yang dengan berani bertanya kenapa dia harus meminta maaf, setelah membuat Laura menangis? Dengan ekspresi dingin dan tatapan tajam itu, siapa sebenarnya yang lebih cocok dianggap sebagai pembuli?” Aska mendadak menghentikan langkahnya, membuat jejeran orang yang berjalan di belakang pun terpaksa berhenti melangkah. Dalam hatinya dia bertanya dengan geli, “Takut? Siapa? Kau? Jangan bercanda!” tapi mulutnya mengeluarkan suara dingin, “Siapa yang melakukannya?” Winny menunjuk Laura tanpa ragu. “Dia bilang suamiku adalah om-om tua dan jelek. Dia bilang aku wanita matre yang menikah karena uang, dan aku hanya mengandalkan wajah untuk menikah dengan pria kaya.” Aska ingin tersenyum lebar karena ini pertama kalinya sang istri mengeluh kepadanya. Sekalipun tahu semua pengaduan itu semata untuk pertunjukan di depan teman-temannya, tapi tetap saja dia merasa bangga karena bisa diandalkan oleh Winny. Maka dia harus bermain peran sebagai suami dengan sangat baik, kan? Aska melirik tajam Laura, membuat wanita itu nyaris terkencing di celana. “Siapa kau, berani membuat istriku ketakutan?” “A-aku... aku tidak... bermasud begitu... aku hanya mendengar kabar...” “Tidak apa-apa kalau kau mengataiku tua dan jelek. Aku mengerti tidak semua orang memiliki selera yang bagus,” ujar Aska dengan dingin, sambil melirik suami Laura yang telah memucat. “Beberapa bahkan tidak memiliki mata yang bagus.” Winny nyaris kelepasan tertawa. “Ya, ampun, suamiku ternyata bisa berlidah tajam juga. Hahahaha...” “Tapi aku tidak suka kalau kau menghina istriku.” Ini dikatakan Aska dari dasar hatinya. Jika tidak mengingat Laura adalah wanita, dia sudah meninju wajahnya di tempat saat itu juga. Sekalipun Winny bisa menghadapi wanita ini dan tidak merasa terbulli sama sekali, tapi dia tidak tahan jika mendengar istrinya dilecehkan oleh orang lain. Siapa yang memberi mereka keberanian untuk menghina istri seorang Aska? Apa mereka sudah bosan hidup nyaman di kota ini? Suami Laura segera berdiri melindungi istrinya, dan membungkuk penuh hormat di hadapan Aska. “Maafkan istri saya, Pak. Ini hanya kesalahpahaman kecil. Saya akan mengajari istri saya dengan benar nanti setelah pulang.” Aska mendengkus. “Sepertinya aku pernah melihatmu.” Mendongak, suami Laura terlihat antara senang dan khawatir. Dia senang karena bisa masuk dalam ingatan orang penting seperti Aska, tapi juga khawatir pertengkaran istrinya bisa merembet ke hubungan pekerjaan mereka. “Saya Baras Darui, Pak. Pemilik Darui Printing. Bapak menggunakan jasa perusahaan saya dalam mencetak brosur kosmetik Bapak, untuk keperluan iklan produk. Saya sendiri yang membuat ide iklan penjualan untuk produk keluaran tahun lalu. Karena Bapak puas dengan kinerja perusahaan kami, tiga bulan yang lalu, kita menjadi mitra. Saya menjadi salah satu promotor tetap untuk produk-produk Triple A.” “Oh, benar. Itu kau, Baras Darui.” Karena terlalu khawatir masalah istrinya mempengaruhi kerja sama, tanpa memikirkan kalimat yang harus disusun dengan tepat, Baras mengutarakan secara langsung isi kepalanya, “Benar, Pak. Saya harap Bapak bisa melupakan permasalahan yang terjadi dengan istri-istri kita. Saya pikir itu tidak sepadan dengan kerja sama kita, dan proyek yang nantinya akan kita langsungkan. Saya benar, kan... Pak?” Winny merasa kasihan dengan nasib Baras. Andai saja pria itu tidak menyinggung tentang istri, mungkin Aska masih bisa memaafkannya karena hubungan kerja sama mereka. Tapi karena sudah membawa-bawa miliknya yang sangat dia lindungi, bahkan berani menyepelekannya, maka pria ini harus bersiap untuk semua kemungkinan terburuk yang akan dia hadapi. “Tidak sepadan?” Aska tersenyum tipis. “Ternyata istriku tidak sepadan dengan proyek kita.” Seolah tersadar akan kesalahannya, Baras segera berlutut di tanah yang dingin, tapi Aska sudah balik badan lebih dulu sembari menggenggam tangan Winny. “Maafkan saya, Pak! Pak, saya salah!” “Dia bahkan tidak layak diajak bicara,” bisiknya di telinga Winny. Winny hanya tersenyum kecil sembari melirik Laura yang sudah menangis di sebelah suaminya yang berlutut. “Bukankah mereka pasangan yang serasi? Sama-sama tidak bisa menahan lidah mereka.” “Kau benar.” Melirik Tian, Aska memerintahnya tanpa suara. Setelah bekerja selama lima tahun untuk Aska, Tian sedikitnya telah mengetahui tempramen dan pola pikir sang bos. Karena itu, sebagai sekretaris yang baik, dia segera pergi ke tempat yang lebih sepi dan menghubungi manajer, untuk kemudian mengatakan, “Batalkan semua kerja sama dengan Darui Printing. Jangan pikirkan ganti rugi.” Sementara itu, rombongan yang melaksanakan reuni akhirnya sampai di meja resepsionis. Kai dengan percaya diri mengeluarkan kartu namanya dan tersenyum ramah. “Aku sudah memesan Albian Cafe untuk acara reuni teman sekelasku, tapi kudengar kau memberikannya kepada orang lain. Apa kualitas Karnova Hotel sudah mulai menurun?” Melihat nama Oliver Kai Ayler dengan jabatan Direktur Utama Oliver Marks, wanita di balik meja resepsionis menjadi sedikit cemas. Oliver Marks adalah perusahaan properti yang merancang dan membangun Karnova Hotel. Untuk setiap desain dan interior di dalamnya, selalu ada campur tangan Oliver Marks. Karena itu, kedua perusahaan besar tersebut telah bermitra sejak lama. Orang-orang dari Oliver Marks akan selalu disambut hangat oleh Karnova Hotel. Wanita di balik meja resepsionis hampir mengatakan maaf atas ketidakadilan yang dialami Kai, tapi rekan di sebelahnya segera menyela setelah melihat nama orang yang memesan seluruh area Albian Cafe untuk malam itu. “Saya meminta maaf atas ketidaknyamanan Tuan Kai, tapi penyewa Albian Cafe adalah orang yang sangat dihargai pemilik hotel. Kami menyarankan untuk menyewa area lain seperti restoran, meeting room atau kolam renang untuk Tuan Kai. Kami berjanji akan memberikan pelayanan terbaik, dan potongan harga atas ketidaknyamanan yang Tuan Kai dan teman-temannya alami.” Kai mengernyit tidak senang. “Pemilik Albian Cafe adalah cucu dari pemilik hotel ini. Dia teman baikku. Jika kau menghubunginya, dan mengatakan aku ada di sini, dia akan langsung berlari untuk menemuiku.” Resepsionis tersenyum ramah. “Maafkan kami, Tuan Kai. Itu bukanlah prosedur kerja kami.” “Kenapa tidak kau saja yang menghubunginya?” tanya Aska. “Bukankah dia teman baikmu?” Kalau Kai bisa menghubunginya, apa dia akan menyuruh respsionis melakukannya? Kai tidak tahu apa yang dilakukan pria yang suka main itu sampai mematikan poselnya sejak dua jam yang lalu. Mengalihkan pembicaraan, Kai lantas bertanya, “Siapa yang menyewa Albian Cafe? Kupikir tidak ada yang lebih dihargai oleh pemilik hotel selain keluargaku.” “Itu adalah cucu dari investor terbesar dan berjasa yang membantu pendanaan pembangunan hotel. Saya dengar, investor tersebut dan pemilik hotel ini merupakan teman seperjuangan pada masa perang.” Setelah berpikir agak lama, Kai bertanya, “Bukankah investor itu adalah almarhum Tuan Abraham Alfari?” “Benar, Tuan.” “Apa orang mati bisa membuat reservasi?” “Yang membuat reservasi adalah cucu lelakinya satu-satunya.” Kai mengernyit. Kalau dia tidak salah... Dia segera menatap Aska yang telah tertawa kecil. “Ya, ini aku. Abraham Alfari adalah kakek dari pihak ibuku,” kata Aska dengan tenang. “Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi?” “Aku ingin memberi kejutan.” Kai mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak meninju wajah Aska yang bisa-bisanya tersenyum setelah apa yang dia lakukan. Maju selangkah, lantas dia bertanya dengan volume suara yang hanya bisa didengar oleh dua pasangan itu. “Kau sengaja ingin mempermalukanku di depan yang lain, kan?” “Aku hanya ingin memberi kejutan untuk istriku, tapi kalau kau merasa dipermalukan setelah bicara besar tentang menyewa tempat, itu bukan urusanku, kan, Tuan Kai?” Luna menyela, “Tuan Aska bisa mengatakannya sejak awal ketika kami menunggu di luar, tapi Tuan malah sengaja membiarkan Kai mempermalukan dirinya. Apa Tuan Aska punya dendam pribadi dengan kekasihku?” Winny membalas pula, “Suamiku orang yang murah hati. Ketika ada orang lain yang ingin menunjukkan kemampuannya, dia akan memberinya kesempatan untuk tampil.” Dia menyeringai penuh ejekan. “Kalau orang lain tidak bisa tampil dengan baik, itu bukan salah suamiku, kan?” Kai mendengkus, lalu tertawa terbahak-bahak. Dia mengalungkan tangan ke leher Luna, kemudian mengecup pipi gadis itu. Sepanjang aksi tersebut, tatapannya selalu tertuju kepada Winny. “Kau dan suamimu adalah pasangan yang serasi,” kata Kai. Winny mengangkat tangannya yang menggenggam tangan Aska, lalu mengecup punggung tangan suaminya pula. “Kau juga memilih pasangan yang cocok untukmu, tapi...” Dia tertawa kecil. “Apakah tidak masalah memilih barang yang palsu?” “...” Winny dengan polos menatap suaminya. “Bukankah tahun lalu ada yang mencoba meniru kosmetik perusahaanmu?” Aska tersenyum, lalu melirik Luna yang telah membeku. “Benar. Produk palsu itu merusak wajah pelangganku. Dia membeli barang imitasi karena harganya murah, tapi dia lupa dengan kualitasnya.” Winny mengagguk-anggukkan kepalanya. “Benar. Semua orang suka harga murah, tapi jangan sampai mendapatkan yang murahan. Bukankah begitu, Luna?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN