7. Bertemu Protagonis

2278 Kata
“... Jika ada wartawan yang mendengar pernyataanmu, kau akan menjadi bahan bullian wanita satu negara ini, Laura.” “Bahan bullian? Kenapa?” Winny mengedikkan bahu. “Karena dia pria tertampan di negara ini.” “Hahahaha... lalu kenapa kau tidak membawa pasangan tampanmu itu ke sini?” “Apapun alasanku, itu bukan urusanmu.” Laura kembali tertawa. “Katakan saja kalau kau malu membawa pria tua jelek itu. Santai sajalah, Win. Kita semua di sini bisa mengerti kesulitanmu, kok. Tidak ada yang akan menyalahkan atau mengejekmu kalaupun kau menikahi om-om dan menjadi simpanannya. Ya, kan, teman-teman?” Laura tidak lupa tersenyum mengejek. Beberapa menanggapi dengan tawa canggung, sementara yang lain berpura-pura menghibur. “Benar, Win. Biar bagaimanapun penampilannya, dia tetaplah pasanganmu.” “Kau akan selalu menjadi teman kami, tidak peduli seperti apa kehidupanmu.” Laura merasa menang ketika semua teman mengikuti provokasinya. “Beberapa orang memang tidak bisa memiliki nasib seberuntung aku,” katanya sembari menyandarkan kepala ke lengan pasangannya. “Bisa mendapatkan suami yang tampan, kaya dan baik seperti ini.” Teman lain menyahut. “Benar. Nasibmu sangat baik, Laura.” “Aku masih beruntung karena bisa kerja di kota walaupun dengan penghasilan yang pas-pasan.” “Walaupun aku masih di desa, tapi aku bisa berkumpul dengan keluargaku. Dan itu juga suatu keberuntungan.” Mereka saling menanggapi dan obrolan menjadi hidup. Mulai dari menanyakan pekerjaan, sampai kehidupan sehari-hari pun dibahas. Winny seolah terlupakan dalam diskusi itu. “Kenapa kita tidak pergi ke tempat lain untuk bicara lebih leluasa?” “Tidak, kita harus menunggu Kai. Dia bilang ingin ke sini lebih dahulu untuk bicara dengan resepsionis di dalam.” “Apa dia punya koneksi ke hotel ini?” “Mungkin saja. Dia, kan, sekarang sudah menjadi orang sukses.” “Aku dengar, dia juga menjadi pewaris Oliver Group.” Laura menatap Winny yang telah diam sejak tadi, lalu berpura-pura ramah dengan mendekat dan hendak menggamit lengannya. “Jangan sedih, Winny. Kita semua berteman, dan akan bersenang-senang hari ini. Lupakan sejenak suamimu yang tua dan jelek itu. Kami menerimamu apa adanya. Kau juga bisa berbagi masalahmu dengan kami.” Winny menghindari tangan Laura tepat waktu, lalu mendengkus kecil. “Apa kau tahu pepatah yang mengatakan anjing ditepuk menjungkit ekor?” *Anjing ditepuk menjungkit ekor: Orang bodoh yang merasa sombong hanya karena sedikit pujian. “...” “Kau seperti itu.” “Seperti itu?” Senyuman Laura menghilang, ekspresinya berubah muram. “Maksudmu, aku seperti anjing?” “Aku mengatakan pepatahnya, tapi kalau kau mau disamakan dengan anjing, ya tidak masalah juga bagiku.” “Winny!” Winny menyipitkan mata, ekspresinya menjadi dingin. Dia maju selangkah ke hadapan Laura lalu bersedekap sembari sedikit memiringkan kepalanya untuk mengamati pihak lain dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Katakan yang sejujurnya, Laura, kenapa kau selalu menargetkanku sejak dulu?” “Apa yang kau bicarakan? Aku tidak menargetkanmu.” “Apa kau merasa kalah saing dariku?” Laura mendengkus, lepas sudah topeng munafiknya. “Kalah darimu? Aku selalu lebih baik darimu sejak dulu.” “Kalau kau lebih baik dariku, harusnya kau yang mendapat gelar Dewi Sekolah. Harusnya kau yang mendapat peringkat pertama paralel selama tiga tahun berturut-turut, dan menjadi pasangan dari pria tertampan di sekolah. Tapi... kenapa semua itu milikku?” “Jangan besar kepala, Winny. Itu semua─” “Laura si nomor dua. Kau tahu kenapa mendapat gelar ini?” Diingatkan kembali dengan masa sekolahnya yang selalu menjadi bayangan Winny, membuat darah Laura mendidih. Dia sangat membenci wanita di depannya. “Tapi semua itu di masa lalu. Lihat dirimu sekarang.” Laura melihat Winny dari kepala sampai kaki, lalu mendecih penuh ejekan. “Roda telah berputar.” “Benarkah? Kau masih tidak tahu apa-apa, tapi terus mengoceh seolah tahu segalanya. Kau lebih buruk dari katak dalam tempurung. Ah, aku lupa kau ingin disamakan dengan anjing.” *Seperti katak dalam tempurung: seseorang yang wawasannya kurang luas. “Winny!” teriak Laura, lalu tiba-tiba berhenti bicara. Mendadak dia mengubah sikapnya setelah melirik belakang Winny. Dia berpura-pura sedih bahkan berusaha keras menguras setitik air mata. “Kau salah paham tentangku, Win. Aku hanya menghiburmu yang memiliki suami om-om. Aku tidak bermaksud mengejekmu wanita matre yang menikah dengan pria tua dan jelek demi harta. Aku tahu kau memiliki masalah besar dan mencoba menawarkan bantuan, tapi kenapa kau malah mengungkit masa lalu?” “Tidak bermaksud mengejek, tapi terus mengatakan suamiku adalah pria tua dan jelek? Ya, ampun. Wanita ini berbakat menjadi drama queen. Kalau ada mommy Oki di sini, dia pasti akan merekrut Laura dan memberinya guru akting kelas atas.” Winny melirik melalui ekor matanya, mendapati tiga orang mendekati mereka. Salah satunya memiliki wajah sepertinya, lainnya adalah seorang pria yang selalu muncul dalam ingatannya, dan yang terakhir adalah teman parasitnya. “Ah, pantas saja dia mengubah wajahnya dengan cepat. Ternyata ada Kai. Apa wanita ini masih belum move on darinya?” “Sebenarnya sejak di sekolah dulu pun kau salah paham tentangku, Win. Aku tidak pernah ingin merebut gelarmu sebagai Dewi Sekolah atau merebut peringkat pertama paralelmu. Lebih-lebih merebut Kai darimu. Siapalah aku ini, sampai kau selalu berpikir kalau aku berusaha memisahkan kalian?” “Hei, Laura, serius, aku ingin merekrutmu menjadi partner latihan aktingku. Hahahahaha...” “Kupikir setelah Kai meninggalkanmu, akhirnya kesalahpahaman di antara kita akan selesai, tapi ternyata kau masih membenciku karena menjadi bayang-bayangmu.” Laura menangis, lalu memeluk suaminya. “Sayang, ayo kita pulang saja. Aku tidak ingin kau juga disalahpahami nantinya.” “Luar biasa! Aku ingin bertepuk tangan untuk aktingnya. Setidaknya dia lebih baik daripada Rulma. Walaupun sama-sama munafik, tapi dia memiliki satu tujuan yang jelas; mengalahkan Winny. Bukan seperti Rulma; yang serakah, tapi terlalu pengecut untuk menunjukkan keserakahannya secara terang-terangan.” Beberapa teman langsung bersimpati dengan Laura, dan menghiburnya untuk jangan pergi. Mereka bisa datang ke sana karena dibiayai oleh wanita itu, jadi mereka harus menahannya. Beberapa bahkan sudah menyiapkan amunisi untuk membujuknya agar mendapat pekerjaan di kota besar ini. “Bukankah kau seharusnya meminta maaf, Win?” tanya Rulma, yang baru datang bersama Kai dan Luna. Nada suaranya sangat lembut seolah membujuk, tapi ada tuduhan halus di sana. “Memangnya aku salah apa, sampai harus minta maaf?” Beberapa teman memandang Winny dengan kening mengernyit. “Kau salah paham tentang Laura sejak dulu, Win. Aku mengerti kau cemburu karena dulunya Kai satu organisasi dengan Laura, tapi sekarang Laura sudah punya pasangan, dan Kai juga sudah punya pasangannya. Kita semua teman sekelas, dan sudah dewasa. Bukankah lebih baik memulai hubungan baik, dan melupakan masa lalu yang tidak baik?” “Kenapa sesama munafik selalu sok bijak?” Mengalihkan pandangan dari Rulma yang mengenakan gaun hijau toska, Winny melirik Luna yang mengenakan gaun biru muda selutut, dengan panjang lengan mencapai siku. Rambut ikal gadis itu dibiarkan tergerai mencapai bahu, serasi dengan wajah ovalnya. Sapuan make up natural pun mempertajam dagunya. Ukuran dadanya tidak sebesar Winny, tapi itu cukup memuaskan untuk dipegang oleh seorang pria. Yang terbaik dari penampilan fisik Luna adalah netra ambernya. Siapa pun yang ditatap oleh sepasang mata itu, akan merasa terpukau dan ingin berlama-lama ada dalam garis pandangnya. Sayangnya, bagian terbaik tersebut justru yang paling tidak disukai Kai; karena berbeda dengan milik Winny. Bahkan dalam satu bab cerita, Kai memberikan soft lens untuk dikenakan oleh Luna. Kai mengenakan kemeja berwarna biru tua yang lengannya dia gulung sesiku. Penampilan tampannya ternyata tidak menjadi pusat perhatian sang mantan kekasih. Ketika tahu arah pandang Winny adalah Luna, hati kecilnya tersenyum puas. Apakah Winny cemburu dengan Luna? Untuk beberapa detik pertama, Luna merasa terkejut karena ada seseorang yang cukup mirip dengannya. Dia lalu melirik Kai yang terus menatap Winny, dan hati kecilnya menjadi tidak nyaman. Sudah sering dia mendengar rumor tentang menjadi pengganti mantan pacar Kai, dan santai saja menanggapinya. Tapi setelah menyaksikan sosok si mantan, dia merasa khawatir dan waspada. Dia perlu menguji karakter wanita ini. Beberapa teman pun menyudutkan Winny ketika Rulma selesai bicara. Secara halus mereka memintanya untuk meminta maaf kepada Laura. Berbeda dengan yang lain, Luna justru membela Winny. “Apa kau tahu apa permasalahan mereka?” tanya Luna kepada Rulma, nadanya tidak ramah sama sekali. “Huh?” “Kau datang bersamaku. Tanpa tahu permasalahannya, kau menyuruh wanita ini untuk meminta maaf hanya karena wanita lain menangis.” Winny menatap lebih detail penampilan Luna, yang persis dirinya di masa lalu. d**a yang belum tumbuh dan mata berwarna amber. Pantas saja penulis novel sangat merekomendasikan dirinya untuk memerankan tokoh Luna ini. Bertemu Luna secara langsung membuat Winny ingin memeluk dan menghiburnya. Dia ingin mengatakan bahwa bukan salah Luna kalau pria berengsek yang mencoba memperkosanya itu akhirnya mati. Pria itu tidak pantas disebut sebagai ayah. Dia juga ingin mengatakan kalau dia mengerti penderitaan Luna. Dia selalu menangis setiap kali membaca adegan Luna menyakiti dirinya sendiri ketika traumanya kumat. Dia ingin mengatakan kalau dia juga tahu rasanya kelaparan dan kesepian. Dia ingin mengatakan... Terlalu banyak yang ingin dia katakan kepada Luna. “Sial! Kenapa aku tidak memasuki raga salah satu teman Luna saja, sih? Kenapa aku harus berseberangan dengan tokoh favoritku? Oh... Mommy Oki.... aku ingin memeluk Luna!” Rulma merasa malu karena ditegur di depan umum, tapi dia masih berusaha tersenyum walau terlihat kaku. “Bukan begitu, Luna. Aku tahu kalau mereka memang sering bertengkar sejak dulu. Jadi, sebagai teman dekat Winny, aku mencoba membuatnya mengerti kesalahannya.” Luna melirik Kai yang tersenyum kecil, membuat emosinya mulai tidak stabil. “Waktu sudah berlalu lima tahun. Sudah banyak yang berubah sekarang.” Mendadak dia menggamit lengan Kai, seolah memprovokasi Winny. “Jika dulu Kai menjadi pasangan orang lain, sekarang dia milikku. Begitu juga dengan situasi dua wanita ini. Kita tidak bisa membela yang satu hanya berdasarkan masa lalu mereka. Bukankah begitu, Sayang?” Kai mengernyit ketika Luna tersenyum manis, tapi justri terlihat kikuk di matanya. Gadis ini tidak biasanya bertingkah romantis di depan umum. Beberapa teman mulai membuka suara untuk menjelaskan situasinya sampai Laura menangis, tapi Winny menyela di tengah sebelum mereka mencapai inti masalah. “Masalah ini tentang suamiku,” kata Winny sambil tersenyum kecil, dan fokus menatap Kai. Kai mengernyit tidak senang dengan kata ‘suamiku’ yang keluar dari bibir Winny. “Kenapa dengan suamimu?” “Laura sepertinya sangat ingin bertemu suamiku, dan sengaja terus memprovokasiku. Dia pikir suaminya yang paling tampan dan kaya. Padahal suamiku lebih tampan dan kaya daripada semua pria yang ada di sini.” Luna tidak suka dengan gaya bahasa Winny yang membanggakan suaminya, dan seolah merendahkan Kai, tapi dia lebih tidak suka ketika ekspresi Kai berubah karena kalimat terakhir wanita itu. “Kalau begitu, panggil dia,” kata Luna, dengan setiap penekanan kata. “Untuk apa?” sela Kai, nadanya hampir meninggi. Luna membalas, “Tentu saja untuk menyelesaikan permasalahan ini.” “Ini hanya masalah sepele. Tidak perlu dibesar-besarkan.” Kai melepas tangan Luna dari lengannya, kemudian menatap Winny kembali. “Kau baik-baik saja?” Semua orang tertegun di tempat. Bahkan Laura yang berakting menangis pun menghentikan tangisannya sejenak. Bukankahkah keduanya sudah putus? Tapi kenapa tatapan Kai masih sama seperti lima tahun lalu ketika mereka masih pasangan kekasih? Mendengar pertanyaan Kai, membuat Winny merinding. Dia tidak ingin menjadi sumber pertengkaran dua tokoh utama. Tapi menurut karakter pemilik tubuhnya, saat ini dia harus merasa berbunga-bunga dan bahagia karena mantan pacarnya belum melupakannya. Luna mendengkus ringan. “Ini bukan masalah sepele. Panggil suamimu.” Winny menyeringai kecil. “Aku khawatir dia tidak akan bisa datang,” sela Rulma. “Bukankah kau bilang dia membekukan semua kartu kreditmu? Kau juga bilang, dia mungkin punya wanita lain.” Laura diam-diam tersenyum, sementara Kai mengernyitkan kening. Rulma tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, Winny. Kita tidak perlu membahas suamimu kalau itu membebanimu. Laura juga pasti mengerti, kan?” Laura segera mengangguk. “Walau kau sudah mengatakan banyak hal yang menyakiti perasaanku, tapi karena kita semua berteman, aku akan melupakannya. Tidak apa-apa, Winny. Kau tidak perlu meminta maaf.” Winny menatap dingin Rulma. “Untuk memaksaku meminta maaf kepada Laura, kau sampai berbohong tentang suamiku. Apa permintaan maafku bisa memuaskan egomu?” “Yah, kita semua tahu kau tidak pernah mengatakan maaf sejak dulu,” sela Kai dengan sedikit senyuman nakal, dan tatapan rindu. “Karena itulah aku memanggilmu Kepala Batu. Mungkin mereka masih penasaran, kapan kata maaf akan keluar dari mulutmu? Bukankah begitu, Rulma?” Sekilas kalimat Kai seolah mengejek Winny, tapi sebenarnya dia membelanya. “Tidak, Kai. Aku mendengar sendiri Winny mengatakannya kemarin.” “Apa buktinya?” tanya Winny dan Kai di saat bersamaan. Luna mengepalkan kedua tangannya, langsung mengubah ekspresi ramah menjadi bermusuhan. Kai merasa senang karena jalan pikirannya ternyata masih satu dengan Winny. Dia pun tersenyum dan hendak menjangkau wanita di depannya. Sayangnya, dia didahului oleh pria lain. Winny tersentak kaget karena seseorang meletakkan jas ke bahunya. Dia mendadak kaku ketika sebuah lengan melingkari pinggangnya. Dia semakin kikuk ketika parfum aroma laut yang familiar memenuhi penciumannya. Mendongak, lalu netra hitamnya bertemu netra biru laut sang suami. “Kenapa kau meninggalkan suamimu?” Semua orang menahan napas karena sosok tampan yang baru saja muncul. Jika Kai memiliki paras rupawan bak pangeran di negeri dongeng, maka pria di depan mereka ini seperti seorang raja yang telah menaklukkan banyak kerajaan dan bertahta sangat lama. Sulit untuk menggambarkan seperti apa rasanya tekanan yang dibawa Aska. Ketika berada dalam garis pandang pria itu, mereka merasa telah menjadi seekor semut. Aura superioritas seperti itu dibangun dari penampilan jangka panjang, uang dan kekuasaan. Bahkan Kai yang telah berhasil memanjat ke salah satu cabang kelas atas pun merasa masih memiliki celah yang sangat besar dengan orang ini. “Siapa dia?” tanya Laura dengan lidah kelu dan tatapan iri. Winny menyeringai penuh kemenangan. Menggamit lengan Aska, lalu menyandarkan kepala ke bahunya dengan manja. “Suamiku,” ujar Winny dengan penuh rasa bangga. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN