3. Hasrat Terlarang Abang Kandung

1424 Kata
Ardhy tertegun. Dia meletakkan pena saat Luna duduk di sebelahnya. Dia memeluk erat lengan Ardhy, bersandar di bahunya. "Kak Ardhy harus nikah. Kak Ardhy harus belajar bagi hati untuk orang lain," pinta Luna. "Luna mau bicara apa sebenarnya?" tanya Ardhy dengan nada selidik. "Luna nggak tau apa ini benar. Tapi, Dhitya ngelamar Luna, Kak." Ardhy terkejut. Setidaknya dia pernah mendengar nama teman sekelasnya itu saat Luna berkeluh kesah perihal jahilnya Adhitya. Luna segera menjauh dan duduk sempurna untuk bicara serius pada Ardhy. "Luna udah dewasa. Luna juga harap Kak Ardhy mulai kehidupan baru. Biar Luna tinggal sama Dhitya. Luna mau Kak Ardhy" "Apa-apaan ini, hah?! Kamu gila?" bentak Ardhy. Luna terkejut. Ini pertama kalinya Ardhy meninggikan suara setelah bertahun-tahun mereka bersama. Memang benar. Ini terlalu bodoh dan tergesa-gesa saat Luna menyampaikan bahwa Adhitya melamarnya. Tak tahu, Luna hanya merasa percaya sepenuhnya pada Adhitya. Adhitya itu pemuda yang baik meskipun selalu menjahilinya. "Kakak nggak mau bicara sekarang!" hardik Ardhy. Pria berusia tiga puluh tiga tahun itu segera pergi meninggalkan ruang tengah, membuka dan membanting pintu kamar dengan kasar. Luna membisu. Dia hanya terkesan dengan perasaan Adhitya. Tidak, dia mulai menyukai dan percaya bahwa Adhitya akan menjaganya menggantikan Ardhy. Apalagi malam ini, Adhitya akan datang bersama papanya. Luna pasti malu karena tak dapat restu dari Ardhy. "Kak Ardhy!" Luna mendekat ke pintu kamar Ardhy. Dia mengetuk berulang, berharap Ardhy membukanya. "Nanti malam Dhitya mau datang untuk ngelamar Luna. Kak, please, Luna suka sama Dhitya. Tolong biarin Luna yang tentuin masa depan Luna. Luna cuma mau Kak Ardhy mulai hidup baru tanpa Luna," pinta Luna, terisak. Tak ada jawaban dari dalam. Isak tangis Luna mengusik Ardhy yang bersandar di balik pintu yang sama. Entah kenapa, dia menunduk sambil menahan sakit di dadanya. Rasa sakit kehilangan, rasa sakit saat Luna mengatakan Luna mulai menyukai pria lain. "Lun, Kak Ardhy nggak mau jauh dari Luna," lirih Ardhy. Ternyata itu sebabnya adik kecilnya itu berdandan cantik saat menyambutnya. Ya, Luna sudah dewasa. Sudah saatnya dia melepas Luna pergi. Kenapa terasa sakit? Tangisan Luna juga menambah perih lukanya. Bertahun-tahun dia memenuhi keinginan Luna, tak pernah membiarkan menangis atau terluka. Apakah dia harus melepaskan Luna ke dunia seorang diri? * Selepas senja, mobil Adhitya tiba di depan pelataran rumah sederhana itu. Di sisinya ada sang ayah yang sejak tadi sangat kesal sambil memukuli bahu putranya. Baru lulus sekolah, Adhitya merengek pada beliau untuk dinikahkan dengan seorang gadis sekelasnya. "Apa, sih, Pa? Botakin aja palaku sekalian! Dari tadi di-bully terus," gerutu Adhitya saat papanya –Adira, menarik keras ujung rambutnya. Kali ini papanya menggerutu, lalu menjitak kepalanya dengan nada geram. "Papa tau kamu ini kadang nggak waras. Tapi kalau sampai minta lamar anak orang gini, ya Papa nggak habis pikir. Mau nikah? Kencing aja belum lurus." Sepanjang perjalanan tadi, telinga Adhitya sudah panas akan omelan. Ya, walau mengomel, papanya tetap berdandan rapi dan menurut saja diajak Adhitya datang ke rumah Luna. Pemuda berusia delapan belas tahun itu mengeluarkan kotak cincin dari sakunya, menatapnya bahagia. "Aku yakin semuanya akan lancar," gumam Adhitya. Beliau mendelik ke sisi kiri, mengundang raut keki sang putra. "Jangan-jangan, kamu udah buntingin anak orang, ya?" "Astaghfirullah, Pa." Adhitya terkejut, mengusap dadanya mendengar tuduhan beliau. "Aku tau kadang otakku ini di dengkul, tapi masih bisa mikir juga, lah. Tiga tahun aku nggak pernah ngobrol sama dia, baru ini ngajak merit. Mikirin w*****k, dia ngeliat mataku aja, jantungku langsung melorot," dumelnya. Gurau canda itu masih kentara, direkam dalam tatapan di balik gorden. Saat mendengar sura mesin mobil, Ardhy mengintip dan mendapati seorang pemuda yang diyakini pasti itu adalah orang yang dimaksud Luna. Tak ada raut yang berarti. Jantung Ardhy terus berdegup karena masih bingung haruskah dia memutuskan untuk menuruti Luna atau tidak. Pintu kamar Luna terbuka saat dihentaknya. Dilihatnya gadis cantik itu menangis di kasur. Matanya merah dan sembab, memudarkan aura sinis Ardhy karena ini pertama kalinya, dia membuat gadis kecilnya menangis. "Dhitya udah datang?" tanya Luna, setengah terisak. "Suruh dia pulang aja. Kak Ardhy nggak mau restuin, kan? Nanti aku bicara lagi sama dia." Apakah sejak tadi Luna berpikir untuk mengalah? Ardhy semakin tak tega, lalu mendekat dan duduk di hadapan adiknya itu. Diusapnya air mata di pipi itu, lalu berkata, "Kak Ardhy nyakitin Luna, ya?" Tak ada sahutan, Luna hanya menunduk. Sejak tadi pun bel sudah berdentang dengan berjeda. Adhitya sepertinya susah siap melamarnya dan tak sabar lagi menunggu. "Kak Ardhy sayang sama Luna," kata Ardhy, tulus. "Tapi ini saatnya Luna pergi, Kak. Kak Ardhy nggak bisa jagain Luna terus." Ardhy meraih bahu Luna, sesekali mencium puncak kepalanya. Luna sedikit berjengkit saat merasakan bibir tipis Ardhy mengecup pelan sisi tengkuknya dengan lembut. Berulang kali hingga Luna merasa sedikit tak nyaman. "Kak Ardhy?" "Cuma Kak Ardhy yang sayang dan cinta sama Luna di dunia ini. Kenapa Luna nggak ngerti?" Luna tak bicara lagi, hanya terus merasakan usapan lembut Ardhy di punggungnya. Sesekali deru napas Ardhy terasa di sisi telinganya, lalu bibirnya yang terus mencium mesra puncak kepala dan sisi ceruk bahu Luna bergantian. "Kak," panggil Luna agar sang kakak melepaskan pelukannya. Ardhy hanya memejamkan mata, menghirup dalam-dalam aroma parfum dan sabun yang menguar dari ceruk bahu adiknya itu. Wewangian yang membuatnya terlena dalam hitungan detik. Hasrat membara yang muncul seiring Luna tumbuh menjadi dewasa. Sangat cantik dan bisa menarik siapa pun untuk mencintainya. 'Luna cuma milikku,' batinnya. Pelan-pelan, Luna mendorong bahu Ardhy, lalu menatap bias sendu dan merah kakaknya itu. Sedikit ragu, akhirnya dia memegang pipi pria dewasa itu seraya tersenyum. "Luna tau Kak Ardhy sayang banget sama Luna. Tapi ini waktunya Luna mandiri, Kak. Walaupun nggak nikah sama Dhitya, Luna niat mau ke Bandung untuk kerja di sana. Kuliah dan mandiri," ulas Luna, berharap sang kakak memahami keinginannya. Ardhy terkejut mendengar keputusan Luna. Ya, gadis kecilnya itu sudah dewasa. Ardhy mengambil tangan Luna, mencium pelan-pelan ruas jarinya karena takut berpisah. Menyampaikan perasaan agar Luna memahami ketakutannya. "Nggak. Luna nggak boleh jauh dari Kak Ardhy. Kak Ardhy nggak bisa hidup tanpa Luna," lirih Ardhy. "Kalau gitu, biarkan Luna nikah sama Dhitya. Cuma ini satu-satunya cara supaya Luna nggak jauh dari Kak Ardhy." Begitulah hingga akhirnya Ardhy tak ada pilihan lain. Mereka keluar dan menyambut kedatangan Adhitya dan ayahnya. Pemuda itu sangat tampan dan rapi dengan kemeja putih berliris hitam pada lengannya. Tatanan rambut rapi dan klimis. Dia sempat memangkas rambutnya, membuat Luna memerah karena Adhitya terlihat sangat tampan dengan potongan undercut yang terlihat lebih manly. Keduanya bersebelahan, tetapi menunduk malu. Ardhy selaku wali, hanya bisa pasrah dan bicara seadanya dengan ayah Adhitya untuk melanjutkan pembicaraan ke tahap serius. "Ah, iya. Intinya, saya meminta maaf lebih dulu karena bentuk anak saya seperti ini. Jangan ragukan ketampanannya, liat isi otaknya. Minus," gurau sang papa. Luna tertawa melihat ekspresi keki Adhitya karena sang papa mempermalukannya. Akhirnya Luna bisa memahami bahwa tingkah konyol dan aneh pemuda ini adalah turunan dari sang ayah. Pesta pernikahan yang akan digelar. Sampai saat itu tiba, keduanya tak diizinkan bertemu sesuai tradisi. Ardhy juga sudah menyetujui apa pun permintaan dari pihak Adhitya, juga menerima mahar sebagai tanda jadi lamaran malam ini. "Baiklah, kami permisi pulang dulu," kata papanya Adhitya, berpamitan. Begitu kasmaran. Luna berdiri di depan pintu dan memberi lambaian tangan saat Adhitya berjalan mundur sambil berpamitan. Cinta datang tanpa diduga. Tak pernah terpikirkan bahwa Adhitya menyukainya. Kini, justru Luna mulai mengisi bayang-bayang Adhitya di hatinya. Mulai esok, selamanya. "Bye!" jerit Adhitya dari sana. Lama menunggu, Adhitya mengernyit kesakitan saat sang papa menjewer telinganya untuk segera mendekati mobil. Setelah pintu rumah tertutup, Adhitya akhirnya meluapkan kegembiraannya pada sang papa. "Aku kawin, Pa!" teriaknya seraya menggendong sang papa. Adhitya sungguh kasmaran. Tak peduli ketika sang ayah memukul berulang kali bahunya, dia tak menurunkan beliau yang digendong seperti pasangan pengantin. "Turunin, Woy! Dasar edan! Kawin gundulmu! Bukannya kuliah, cari kerja, malah kawin. Dasar! Anak a*u!" gusar papanya. Adhitya cemberut, segera menurunkan sang ayah dengan bibir tercebik. Ditatapnya kepala sang ayah yang helai rambutnya bisa dihitung. Lalu mengusap pelan. Tentu saja beliau menepis kasar tingkah kekanakan putranya itu. "Aih!" keluh beliau. "Dasar, Cah gundul!" gumam pemuda jangkung berusia delapan belas tahun itu, mengejek kepala ayahnya yang hampir erosi. Adhitya berlari kecil usai sang ayah menendang pantatnya karena geram. Tawanya mengurai di udara, disaksikan hembusan angin dan petal bunga Delonix regia yang berguguran dari sisi taman. "Aih! Balik sini!" teriak Papa Adira. "Nggak mau!" seru Adhitya sambil terus berlari dari kejaran sang ayah. Pria tampan dengan rambut tipis itu hanya menghela napas, berhenti mengejar. Dia menatap langit dengan bibir mencebik. Langit, di mana sang istri sudah lebih dulu kembali pada Sang Pencipta. "Sayang, kenapa kau pergi meninggalkanku sendiri mengurus anak setengah nggak waras ini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN