Adhitya duduk sendiri di rerumputan dengan cahaya taman yang temaram. Sinar ponsel memantul ke arah wajahnya.
"Gila, kamu!" bentak Luna, menggeram.
Adhitya mengangkat wajahnya. Pemuda itu hanya tersenyum cuek, melepas satu kancing kemejanya sambil mengibaskan tangan sebab udara sangat gerah.
"Duduk sini!" perintah Adhitya.
Luna duduk di sampingnya, dengan ekspresi cemberut tentunya. Sudah lulus pun, Adhitya masih tetap jahil dan selalu cari masalah dengannya.
"Hapus fotonya!" perintah gadis itu.
Adhitya mengurai smirk, hanya memandang layar ponsel-nya. Tawa geli yang membuat Luna merasa malu karena fotonya dilihat dengan tatapan senakal itu oleh Adhitya.
"Dhitya! Kenapa diliatin gitu? Dasar m***m!" gerutu Luna.
Adhitya cuek. Saat Luna hendak merampas ponsel-nya lagi, Adhitya mengangkat tangannya. Kesal, Luna pun segera beranjak untuk menjangkau lengan itu.
Luna tak sengaja mendorong Adhitya hingga pemuda itu berbaring tepat di bawahnya.
Detik berlalu dan mereka saling pandang. Bukan Luna, Adhitya yang tampak gugup. Sesekali matanya mengerjap, membuka sela bibirnya untuk menghela napas berat. Hanya berjarak beberapa inchi dan Adhitya sesekali memerhatikan bibir cherry Luna.
'Dia kenapa?' batin Luna.
Luna sempat mengeratkan jarinya di sisi kemeja Adhitya. Polos sekali gadis itu. Tak tahu saja bagaimana gugupnya Adhitya saat cengkraman Luna itu sedikit menyentuh bidang dadanya.
"Luna?"
Luna segera bangkit setelah berhasil menyambar ponsel Adhitya. Dia pun duduk untuk memeriksa ponsel itu. Adhitya beranjak dari posisi berbaring, memperhatikan Luna yang sangat serius membongkar galeri ponsel-nya.
Luna menahan detak perasaannya. Bukannya menemukan foto tak pantas yang tadi dibicarakan Adhitya, galeri ponsel-nya justru penuh dengan foto-foto Luna yang diambil diam-diam dan terlihat sangat manis.
"Fotonya nggak ada. Aku bohong, Lun."
"Kamu nggak sopan, Dhit! Kenapa ngambil fotoku diam-diam?!"
Adhitya bungkam. Akhirnya Luna menyadari nada bicara Adhitya sangat berbeda.Cara bicara pemuda itu cukup sopan. Luna menatapnya serius saat Adhitya sedikit menunduk. Di bawah temaram cahaya lampu, Luna bisa melihat rona merah dan gugup di wajah Adhitya. Apa karena tadi? Luna tidak mengerti.
"Perusahaan cabang papaku yang di Jepang mulai beroperasi akhir minggu ini. Aku harus pindah ke sana," tutur Adhitya.
Luna menautkan alis, bingung. Tak ada alasan yang cukup bagi Adhitya untuk membicarakan masalah pribadinya. Bicara normal saja mereka tidak pernah.
"Trus? Kenapa? Apa hubungannya dengan kamu bohongin aku soal foto itu?" keluh Luna.
"Supaya kamu bisa datang ke sini."
"Kamu nggak bosan-bosan jahilin aku, ya! Kamu-"
"Marry me, please!"
Luna terkejut. Bagaimana bisa? Selama tiga tahun ini di kelas, Adhitya selalu menjahilinya. Mereka juga jarang bicara dengan baik. Tak ada alasan bagi Luna untuk menaruh hati padanya. Pun dia belum memikirkan cinta. Baginya, cinta Ardhy yang terbaik. Ardhy satu-satunya yang mencintai dan melindunginya. Luna tak pernah membayangkan ada pria lain selain kakaknya yang memberi rasa sayang juga. Ini cinta yang berbeda.
"Kamu abis 'minum' atau apa, Dhit? Tiba-tiba bilang gitu. Atau kamu mau ngerjain aku lagi?"
Luna tak lanjut berkata. Adhitya mendekat, menjangkau tengkuk Luna agar dia bisa memperdalam kecupannya di bibir Luna. Luna mematung. Adhitya hanyut dalam sensasi perasaannya. Sesekali Luna bisa mendengar hela napasnya yang berat. Apakah Adhitya serius?
Adhitya terhenti. Dia menjauh, sedikit tertunduk dan menutup bibirnya dengan punggung tangan. Ekspresi manis Adhitya pun mengundang gejolak perasaan Luna. Tiba-tiba saja perasaan itu hadir karena baginya, sisi manis Adhitya justru muncul saat dia mengungkap rasa.
'Manisnya,' batin Luna.
Begitu terpesona pada bias malu pemuda itu hingga dia lupa bahwa mereka berciuman lagi setelah insiden kelas.
Adhitya kembali menatap Luna. Kali ini Luna bisa melihat keseriusan di mata Adhitya. Ini bukan seperti Adhitya jahil yang selama ini mengganggunya di kelas. Perasaan suka yang tiba-tiba hadir di d**a Luna dikarenakan Adhitya menyentuh dan mengungkapkan cinta dengan manis. Akan tetapi, apa benar harus menikah?
"Dhit?"
"Aku nggak mau pergi. Aku nggak bisa jauh dari kamu. So please, marry me, Luna."
Luna belum bicara. Menikah bukanlah keputusan asal-asalan. Akan tetapi, wajah Adhitya sangat serius hingga Luna tak tahu harus menjawab apa.
"Kita bisa merit dan tinggal di sana. Nggak, aku nggak akan nuntut banyak. Tetap jadi teman setelah nikah juga nggak apa-apa."
Adhitya mengeluarkan selebaran dari dalam sakunya. Dia menunjukkan benda itu agar Luna membacanya.
"Kamu bisa kuliah di sana. Aku akan biayain semuanya. Kamu bisa lakuin apa pun, aku yang akan jaga kamu."
Luna heran dengan raut tergesa Adhitya. Ada harapan besar dari ekspresinya, pernikahan dadakan yang dia ajukan agar Luna tak menolak.
"Nggak perlu maksain diri, Lun. Aku juga tau ini terburu-buru. Tetap di sampingku aja udah cukup. Nggak perlu harus jadi istri yang baik juga. Aku tau kamu manja dan nggak bisa masak."
Adhitya terhenti saat Luna mengetuk kepalanya dengan ekspresi wajah cemberut. Pemuda itu tak bicara lagi karena harus mendengar keputusan Luna.
"Nggak berubah, ya! Kamu selalu bicara sesuka kamu, ngasih keputusan sembarangan. Kamu juga mau ngatur hidupku?" protes Luna.
Apakah Luna akan menolak? Adhitya mulai murung. Bibirnya terkatup rapat karena tak bisa memaksa lagi. Kegilaannya pada Luna membuatnya melamar sang gadis yang bahkan belum tentu punya perasaan padanya.
'Bodohnya aku! Jadi pacarnya aja dia belum tentu mau. Kenapa malah ngelamar dia kayak orang bodoh gini? Tapi Papa nggak mungkin pindah sendiri dan ninggalin aku di sini. Aku juga nggak bisa biarin Papa bolak-balik penerbangan cuma karena khawatir. Tapi aku nggak mau pergi. Aku nggak mau jauh dari Luna,' batin Adhitya.
Takut Luna jadi membencinya, Adhitya tak berani menatap Luna lagi. Gadis berambut ikal terurai itu masih memperhatikannya. Adhitya menoleh ke belakang, menyambar jaket yang sempat dia lepas tadi karena gerah menunggu Luna.
"A-aku pergi, ya. Kamu sehat-sehat terus. Kamu bisa lupain yang aku bilang tadi. Ka-kalau ada waktu, aku mungkin balik ke sini. Jangan buru-buru jatuh cinta sama cowok lain, ya!"
Adhitya terkejut saat Luna mendekat dan mengalungkan lengannya di bahu Adhitya. Dia tersenyum karena puas menjahili Adhitya yang selama ini selalu dominan menjahilinya.
"Kamu ngambek?" tanya Luna seraya menyentuh pipi Adhitya dengan jarinya.
"Luna?"
"Kamu bodoh atau gimana, sih? Apa gitu caranya melamar cewek? Nggak sopan! Aku bukan lahir dari batu, 'kan?"
Adhitya tertegun. Jawaban diwakili saat gadis itu memiringkan kepalanya untuk mencium pipi Adhitya yang berlesung itu. Dia kembali menatap Adhitya yang terkejut karena masih belum percaya.
"Aku masih punya Kak Ardhy. Besok malam, kamu datang sama papa kamu dan lamar aku di depan Kak Ardhy. Aku akan coba bicara dulu sama dia."
"Kamu serius?" tanya Adhitya dengan binar mata membola.
"Iya. Lagian nggak ada salahnya juga. Aku nggak mau Kak Ardhy terus ngurusin aku. Udah saatnya aku mandiri dan jauh dari dia. Tapi kalau ke Jepang, apa dia akan rela, ya?"
Adhitya mulai tersenyum. Dia sedikit menunduk untuk menempelkan dahinya di dahi Luna. Lamarannya disambut baik Luna. Menikah muda memang sudah direncanakannya sejak awal dia jatuh cinta pada gadis cantik itu.
"Marry me, Dhitya. Please."
"Makasih, Luna."
Pengikraran cinta yang entah kapan dimulai. Luna harap bisa menjadikan Adhitya sebagai sandaran untuk mengurangi beban Ardhy.
*
Luna sangat cemas. Belum sempat dia memberi tahu pada Ardhy tentang rencana lamaran Adhitya, Ardhy terburu-buru pergi bekerja setelah subuh. Hingga hampir petang pun, Ardhy belum pulang. Luna sudah berdandan rapi di kamar, menunggu Ardhy yang sudah berjanji akan pulang cepat.
[Kalau Kak Ardhy nggak pulang sekarang juga, aku nggak mau bicara lagi sama Kakak!]
Begitulah pesannya. Ancaman kesal itu pasti akan membawa Ardhy berlari ke rumah sederhana mereka. Benar. Tak sampai sepuluh menit, sepeda motor Ardhy terdengar dan kakak kandungnya itu masuk tergesa ke ruang tengah.
"Luna!"
Luna muncul dari kamar. Gadis manis yang sangat cantik. Rambut cokelatnya tergerai indah dengan pita putih di ujung kepalanya. Gaun putih selutut juga membalut tubuh rampingnya. Ardhy tertegun. Luna mendekat dan mengajak Ardhy duduk lebih dulu.
"Kamu kenapa dandan rapi gini? Ada yang penting?" tanya Ardhy, penasaran.
Luna tersenyum. Dari belakang, dia mengalungkan lengannya di bahu Ardhy. Dagunya disandarkan di bahu kokoh kakaknya itu.
"Pasti ada sesuatu, 'kan? Luna mau apa? Nggak perlu sampe ngerayu gitu," cetus Ardhy.
"Iya. Ada yang mau Luna minta. Luna harap Kak Ardhy setuju dan nggak nolak permintaan Luna."
"Ih, kapan memangnya Kak Ardhy pernah nolak maunya Luna? Semuanya buat Luna, 'kan?"
Luna menjauh dari Ardhy. Dia pun pergi ke dapur untuk mengambil teh agar dia hidangkan di atas meja. Setelah melepas jaketnya, Ardhy mengambil koran di atas meja, membuka kolom lowongan kerja. Dia menelisik satu per satu dari baris iklan tersebut.
"Kerja di cafe kayaknya cuma cukup untuk kita makan sehari-hari. Kak Ardhy harus cari kerja part time lain untuk tambahan biaya kuliah Luna. Luna nyusahin Kak Ardhy terus," lirih gadis cantik itu.
"Nggak, Luna bicara apa? Kak Ardhy sayang sama Luna."
"Luna cuma jadi beban buat Kakak. Kerja sehari-hari cuma buat Luna, buat Kak Ardhy kapan?"
"Buat Kakak? Emangnya Kakak buat apaan? Itu udah ada motor. Emang mau beli apa lagi?"
"Kak Ardhy harus mulai nabung untuk ngelamar calon kakak ipar Luna nanti."