6. Kecemburuan Ardhy

1468 Kata
Mereka mengawal Adira pergi dari rumah mewahnya. Beliau adalah bisnisman hebat yang bahkan bisa berpindah-pindah negara hanya untuk mengurusi tanggung jawabnya. Beberapa pengawal dibutuhkan demi keselamatan beliau. "Bodyguard-nya banyak banget, udah kayak presiden aja," kekeh Luna. Gadis itu pun masuk ke kamar pengantin mereka. Sangat cantik. Duduk sebentar di tepi kasur untuk memeriksa ponsel. Tak ada pesan atau panggilan dari Ardhy. Luna merasa sangat cemas. "Kak Ardhy beneran marah. Sebenarnya aku juga larang Dhitya untuk bilang ke Kak Ardhy soal kepindahan ke Jepang. Kalau dia tau, pasti nggak akan direstuinya. Ini gimana cara ngomongnya besok?" Tak ingin membebankan pikiran lagi, Luna mengambil gaun tidur di lemari sudut. Dihabiskan waktu beberapa menit untuk membersihkan polesan make up. Debaran jantungnya mengiring ketika dia mengguyur diri di bawah shower. Malam pertama semakin dekat. Sementara itu di luar sana, Adhitya masih duduk dengan tiga temannya itu sambil melahap cemilan dan minuman soda. Kartu Uno menjadi pilihan mereka kali ini melepas malam dan temu kangen. "Dasar anak gila. Bukannya ngajak smack down bini, malah ngajak main kartu. Otaknya minus, astaga!" ejek si tambun berbaju hijau itu. Bintang hanya tersenyum sinis, meletakkan kartu berwarna merah di atas meja. "Coba aja dia ninggalin Luna nanti, gue gorok lehernya." Adhitya terkekeh pelan, menepuk bahu temannya itu. "Nggak gitu, Bin. Gue mah udah nggak tahan, tapi ya gue balikin lagi ke Luna. Kalau dia belum siap dan cinta sama gue, nggak perlu gue paksain juga. Dia nerima lamaran gue aja udah alhamdulilah banget. Mimpi apa gue bisa nikah sama dia." "Iya, Beauty and the Buriq," sahut teman yang lain seraya melempar kulit kacang ke arah Adhitya. Bintang mengangguk saja, menarik kartu lagi dari tumpukannya dan memeriksa lalu susunan kartu di tangannya. "Tadi bokap lo pergi ke mana? Heboh banget banyak pengawal gitu?" "Bokap gue balik ke Jepang. Ntar lusa gue juga nyusul. Ini rumah jadi sepi aja tinggal gue sama Luna. Yang lain pasti udah tidur, kecapean," seru Adhitya. Memang tak banyak yang berkeliaran lagi. Hanya petugas WO saja yang mengurus sisanya sambil mendengarkan music cukup keras dari arah belakang. Selang lima belas menit kemudian, mereka meminta izin pulang dengan Jeep biru itu. Biarlah Adhitya dengan urusannya. Adhitya masuk bersamaan Ardhy yang berjalan sempoyongan dengan botol alkohol di tangannya, berjalan di pelataran dengan mata tak fokus. Rumah kosong, tak ada penjaga yang sejak tadi sibuk berada di pelataran belakang dan turut membantu para kru yang lain membereskan urusan pesta. Ardhy berjalan di antara hatinya yang remuk. Air mata yang jatuh berurai tawa. Berulang kali dia mengetuk dadanya, menahan rasa sakit karena kehilangan sang adik. "Kak Ardhy cinta sama Luna. Luna jahat! Luna cuma punya Kak Ardhy." Sesekali Ardhy cegukan, terhuyung ke sisi kiri dan mencari jalan saat pijakan sudah tak mapan lagi. Limbung dan duduk sebentar di sisi tembok dekat jalan setapak menuju taman belakang. Sementara itu di kamarnya, Adhitya memunggungi Luna yang sedang duduk bersandar di kasur. Kulit mulusnya yang putih bersih dengan wajah cantik alami tanpa riasan make up. Tubuhnya sebagian terekspos dengan gaun tidur pendek sutra. Dia asik membaca n****+ karena sejak tadi Adhitya belum masuk ke kamar. "Mau mandi? Perlu aku siapin air hangat?" tanya Luna. Adhitya berbalik sambil membuka ikatan dasinya. "Nggak, Lun. Kamu tidur aja kalau ngantuk." Adhitya kembali berbalik ke arah lemari, meredam wajah merah dan otak yang sejak tadi tak berkonsentrasi lagi. Membuka kancing kemeja saja tak selesai-selesai. 'Aduh, tegang banget gue. Serius. Pengen, tapi Luna mau nggak, ya? Aduh, jantungan gue. Please, dedek bawah sana jangan bangun dulu,' batin Adhitya, merutuki kecanggungannya saat ini. Menyadari sejak tadi Adhitya melamun, Luna turun dari kasur dan berdiri tepat di belakang sang suami. Tepukan di bahu memaksa Adhitya menoleh. Hatinya lumer menatap bias cantik dan senyum Luna dari dekat. Hanya beberapa inchi saja. "Kenapa, sih? Malu gitu," goda Luna. "Aku masih mikir keberangkatan kita lusa. Kayaknya kita harus ngobrol lagi sama Kak Ardhy. Kamu beneran belum ngasih tau dia, ya? Aku sama papa nggak ngomong karena kamu yang minta," sahut Adhitya. Luna mendekati sang suami, menyelipkan tangannya di balik lengan kekar itu yang kini menjadikan sandarannya menggantikan Ardhy. Apakah dia telah menyakiti sang kakak sejauh ini? Keputusan gegabah semata ataukah memang ini takdir Tuhan? Adhitya terus menahan degup jantungnya. Terasa seperti dadanya bergemuruh saat tubuh itu begitu rapat memeluknya. Tubuh ramping dengan d**a penuh. Dia bisa mati jika terus menahan diri sebab keseksian sang istri yang belum bisa disentuh. "Aku nggak bilang sama Kak Ardhy. Takut aja nantinya dia nggak terima lamaran kamu," ujarnya. Adhitya menunduk, mencium puncak kepala Luna yang beraroma shampo strawberry. "Apa kamu cinta sama aku, Lun?" Belum ada jawaban dari Luna. Wanita itu berjalan ke sisi jendela yang terbuka. Bisa dilihat pemandangan kolam renang itu dari sisinya berdiri. Adhitya pun mendekat karena penasaran akan hati sang istri. Dia menggilai Luna sejak dulu, bagaimana dengan Luna? Apakah dia juga punya perasaan yang sama? Luna belum mengatakan cinta sama sekali sejak menerima lamarannya. Suka, itu sering diulanginya. Adhitya berharap Luna punya perasaan yang lebih lagi. "Cinta nggak semudah itu datang, Dhit. Tapi kalau kamu mau sabar, nggak akan sulit jatuh cinta sama kamu," ujar Luna, tersenyum. Adhitya mendekat, berdiri di hadapan sang istri. Luna belum menunjukkan persetujuan untuk disentuh, Adhitya tak ingin memaksa sebab begitu mencintai. Hanya degup gugup saat Adhitya menunduk, membuat Luna memerah karena sepertinya, sikap sopan Adhitya ini akan membuatnya tertarik. Luna mendekat, sedikit berjinjit untuk memeluk bahu sang suami. Diselipkannya kepalanya di ceruk bahu Adhitya. Detak cinta mungkin hadir. Adhitya memejamkan mata saat wanita itu lebih mendekat hanya untuk mencium ceruk bahunya. Apakah ini tanda bahwa Luna mengizinkan Adhitya menyentuhnya? Setelah itu, Luna menjauh dengan binar mata menggoda. Isyarat yang dipahami Adhitya. Pria itu menyentuh pipinya hanya untuk memberi kecup mesra. Gejolak yang hadir dan tak terbendung lagi. Luna pun tak pernah merasakan begitu bahagia seperti ini. Adhitya merapatkan pelukannya, membiarkan kecupan mengambil kendali atas pikiran dan hangatnya malam ini. Pemandangan yang menyakitkan. Dari sisi kolam, Ardhy melihat sang adik kecil itu sudah menjadi wanita dewasa dengan ekspresi manis. Marah, membenci, Ardhy tak rela Luna yang dia rawat dan cintai selama ini harus menyerahkan tubuh cantik itu pada lelaki yang baru saja dikenalnya. Ardhy berjalan sempoyongan mendekati jendela kamar itu, bersembunyi di sisinya. Sesekali dia cegukan dan menikmati suara Luna dan Adhitya yang kini melanjutkan cinta mereka di tempat tidur. Tetap bisa didengarnya meski suasana terganggu oleh suara musik yang cukup keras. "Luna milik Kak Ardhy. Si b******k harus mati," racau Ardhy sedikit cegukan. Adhitya dan Luna sedang memadu kasih, tak tahu akan hal mengerikan yang terjadi. Luna hanya tersenyum, sedikit mendekati untuk bisa menjejakkan kecup di sisi pelipis Adhitya. Keduanya semakin menggila. Di luar sana, Ardhy semakin jengkel karena terus mendengar suara Luna. Sejak tadi dia mulai terpengaruh dan membayangkan jika dirinya tidur dengan adiknya yang cantik itu. Kesal. Ardhy mengambil kerikil di dekat kakinya, lalu melemparkan ke arah kolam renang. Terus berulang hingga terasa berisik. Perhatian mereka teralihkan saat mendengar suara itu. Di luar sana, Ardhy masih berniat mengganggu sentuhan malam pertama sang adik. Luna pun merasa tak nyaman dengan suara berisik itu. "Dhit, apa ada orang?" "Ya?" gumam Adhitya. "Ada orang yang ngintip nanti, Dhit! Itu jendela ditutup dulu!" pinta si cantik berambut terurai sepunggung tersebut. Adhitya mendengkus kesal. Dia turun dari kasur, menarik jendela kaca sambil memeriksa keadaan sekitar yang sunyi. Ardhy bersembunyi ke sisi balik pohon yang gelap agar tak diketahui Adhitya. Setelah memastikan keamanan, Adhitya kembali ke kasur dan melanjutkan perang cinta yang sempat tertunda tadi. Kembali dikecupnya, lalu mendengar suara berisik lagi. Mereka berhenti sesaat dan mendengar suara sesuatu yang berat jatuh ke dasar kolam. "Kayaknya beneran ada orang, Dhit. Aku takut," lirih Luna, mengutip gaunnya dari lantai. "Siapa, sih?" gerutu Adhitya. Pemuda itu turun dari kasur dan mungkin akan mengamuk dengan psikopat gila yang mengganggu malam pertama mereka. Adhitya membuka jendela lebar-lebar, matanya awas dan mencari ke setiap sudut yang bisa dia lihat. Memang air kolam tampak bergelombang, tapi tak dia temukan siapa pun mandi di sana. "Awas aja kalau ketemu!" putus Adhitya, memanjat jendela tanpa teralis itu agar bisa keluar memeriksa keadaan. Luna pun sangat takut, memakai gaun tidurnya dan mendekati jendela. Takut saja ada maling karena petugas keamanan rumah pergi dan yang tersisa masih sibuk dengan urusannya. Dia pun menatap sang suami memeriksa keadaan di sekitar kolam renang itu. "Ada, Dhit?" tanya Luna. Adhitya hanya menggeleng, tak dia temukan siapa pun berada di sekitarnya. Tak lama, Luna terkejut saat melihat seseorang berjaket hitam dengan kupluk-nya keluar dari balik pohon. Luna tak melihat siapa orang itu sebab gelap dan hanya punggungnya yang tertutup balutan jaket. Dia mendekati punggung Adhitya. "Dhitya!" teriak Luna, segera memanjat keluar dari jendela. Mendengar teriakan Luna, Adhitya berbalik. Dalam remang cahaya lampu kolam, Adhitya sempat melihat sosok pria itu. Senyum mengerikan dengan mata merah Ardhy, hingga akhirnya Adhitya jatuh ke lantai saat kepalanya dipukul keras dengan botol alkohol di tangan Ardhy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN