Akad sebentar lagi digelar. Ardhy pergi ke kamar Luna, menatap sendu bias sang adik yang tersenyum sambil melambai tangan lewat pantulannya di cermin. Tanpa make up itu pun, gadis itu sudah sangat cantik. Rona di pipi dan merah delima bibirnya. Sesekali matanya yang berhias eyeliner dan bulu mata lentik itu tertunduk, menahan gugup. Rambutnya digelung dengan mahkota perak, juga ronce melati di sisi rambutnya. Sangat sempurna dengan kebaya berwarna putih dengan sentuhan emas.
Ardhy melangkah masuk mendekati Luna, memegang bahunya dari belakang.
"Luna bahagia?"
Gadis itu menunduk haru, lalu kembali tersenyum. "Makasih. Semua ini karena Kak Ardhy. Makasih banyak."
Bahagia Luna yang membuat Ardhy lupa akan sakitnya. Akad akhirnya berlangsung. Sejak tadi ketika Tuan Khadi menyampaikan pengantar, Ardhy sudah tak berkonsentrasi lagi. Haruskah dia berlari? Akan tetapi, senyum Luna membuatnya lemah. Bagaimana si cantik itu menunduk malu di samping Adhitya yang terlihat sangat tampan dengan beskap putih itu.
"Baiklah, kita mulai," sahut Tuan Khadi seraya mengangguk pada Ardhy dan Adhitya.
Ardhy gemetar, perlahan menaikkan tangannya untuk menyambut jabatan Adhitya. Raut gugup Ardhy justru mengundang tawa dari pengunjung akad.
"Lah, kenapa yang gugup malah walinya? Si Dhitya anteng aja," sahut Tuan Khadi.
"Dhitya, mah, udah nggak sabar aja mau smack down. Buchin sekali dia," sambut sang ayah di sudut yang merupakan satu-satunya orangtua Adhitya.
Tak ada sang ibu karena beliau sudah meninggal sejak Adhitya kecil.
Gelak itu membuat Adhitya malu, mengurai senyum Luna dalam tundukan. Ardhy menarik napas panjang dan mulai mengucap ijab atas bimbingan Tuan Khadi. Jantungnya terus berdegup, sampai detik terakhir, egonya pun kalah akan cinta seorang kakak.
"Saya nikahkan engkau dengan adik saya, Luna Cassandra binti Khairil Akhyar dengan mas kawin cincin seberat 30 gram dibayar tunai."
Jabat gemetar yang berusaha diabaikan Adhitya, tetap menyambut ijab Ardhy dengan kabul yang lantang. Sejak tadi Adhitya berusaha tenang karena genggaman Ardhy terasa longgar.
"Saya terima nikah dan kawinnya Luna Cassandra binti Khairil Akhyar dengan mas kawin cincin seberat 30 gram dibayar tunai!" ucap Adhitya dengan suara lantang dalam satu kali hembusan napas.
"Sah?"
"Sah!"
Doa yang terikrar bersambut tunduk dan tengadah tangan, menghantarkan kesadaran Ardhy bahwa gadis cantik itu sudah memiliki suami, pemilik baru yang akan menjaganya. Para keluarga memberi ucapan selamat, mengajak bercanda sebentar saat keduanya berdiri di depan pelaminan, menatap kamera dengan memegang buku hijau dan merah itu.
Begitu cantik bias Luna, Ardhy justru tak bisa menahan sakit hatinya. Setelah membiarkan pihak keluarga yang lain mengucapkan selamat, giliran Ardhy selanjutnya. Ardhy mendekati sang adik untuk mengutarakan kasih. Hanya peluk sebentar tadi pada Adhitya, lalu beralih pada Luna. Sambil memeluk erat Luna, dia berbisik pelan.
"Tugas Kak Ardhy sampai di sini, silakan kamu nikmati semuanya," lirihnya.
Ardhy melepas pelukan dengan wajah sendu. Saat hendak pergi, Luna menahan tangannya. "Kak Ardhy mau ke mana?"
"Please. Kak Ardhy udah tepati janji untuk nikahkan kamu. Jangan paksa Kak Ardhy lagi ada di sini," sahut Ardhy, menjauhkan genggaman Luna di lengannya.
Meski sedih, Luna membiarkan kakaknya itu pergi. Berpikir hanya karena Ardhy belum merestui sepenuhnya, Luna tertunduk sedih. Di sampingnya, Adhitya mengangkat dagu cantik istrinya itu.
"Ada apa? Jadi benar, ya, sebenarnya kakak kamu belum sepenuhnya setuju tentang pernikahan ini?" tanya Adhitya.
Hanya angguk pelan, Luna memaksa bibir ranum itu berurai senyum. "Nanti pelan-pelan kita coba luluhin Kak Ardhy, ya?"
"Nggak sempat, lah. Lusa kita langsung terbang ke Jepang."
Luna tak bicara lagi, terus menggenggam erat tangan Adhitya yang kini sudah sah menjadi suaminya.
"Mungkin karena aku bakal tinggal sama kamu dan ninggalin dia sendiri di sini. Apa Kak Ardhy boleh ikut kita ke Jepang?"
Pertanyaan Luna tak langsung dijawab Adhitya. Hanya senyum tipis dan mereka kembali menyambut para tamu undangan. Akad sudah selesai, kini mereka akan digiring ke kamar untuk mengganti pakaian khas pernikahan yang cantik. Tak ingin mengeluh lagi, Luna menahan sebisanya walau tanpa Ardhy. Ini sudah jadi keputusannya, dan tak ingin lagi memaksa Ardhy untuk turut hadir di acara ini.
"Kenapa kamu lebih milih aku dibanding kakak kamu?" tanya Adhitya, berbisik.
Luna terkejut. Pertanyaan itu membuat dirinya bungkam? Ya, kenapa dia menyetujui tanpa berpikir? Apakah dia hanya kasmaran saja? Ardhy yang menjaganya selama ini, lalu kenapa dia tak menuruti kakaknya saja dan menolak lamaran Adhitya?
Luna mengatakan bahwa dia bisa saja menolak dan Adhitya pergi ke Jepang. Meski pemuda itu mengatakan akan kembali dua tahun lagi, Luna tetap antusias menyambut lamaran Adhitya.
"Apa aku salah ambil keputusan, ya?" gumam Luna.
Adhitya mendecak kesal, mengetuk pelan pelipis istrinya itu dengan bibir mengerucut. "Apa, sih? Kamu nyesel nikah sama aku?"
"Masih aja nyebelin! Nggak aku kasih jatah, mau?" gerutu Luna.
Adhitya mengalihkan wajah dari Luna. Malu sekali jika membayangkan hal itu. Wajahnya terasa panas, berulang kali menepuk pipinya hingga mengundang perhatian orang-orang. Adhitya hanya terlalu gugup karena godaan sang istri.
"Perlu papa bantu naboknya, nggak?" singgung sang papa, tiba-tiba mendekati mereka.
Para rekan yang mengikuti di belakang sang papa hanya tertawa kecil. Adhitya mengurai senyum keki, mengusap tengkuknya sambil menunduk.
'Dasar ini otakku traveling ke mana-mana. Nikmat dunia!'
Adhitya yang manis dan polos. Luna hanya merasa ini pilihan tepat untuk melangkah maju. Pemuda itu mencintainya dan akan menjaganya menggantikan Ardhy, sang kakak tercinta.
"Nanti malam Papa langsung berangkat ke Jepang, ya! Jangan lupa kabarin kalau nyusul," ujar beliau.
"Iya, Pa."
Acara dilanjutkan lagi. Suara musik terdengar di luar sana, menjamu para tamu dengan kebahagiaan dan berbagai hidangan resepsi. Pesta putra satu-satunya Adira ini tentu menjadi perhatian besar sebab dialah penerus Adira Group, perusahaan besar yang sukses di bidang ekspor-impor. Juga perusahaan yang memiliki anak cabang di usaha mebel, advertising dan konstruksi itu.
Adhitya yang manis dan polos. Luna hanya merasa ini pilihan tepat untuk melangkah maju. Pemuda itu mencintainya dan akan menjaganya menggantikan Ardhy, sang kakak tercinta.
*
Suara denting terdengar ketika gelas alkohol itu menabrak botol di sampingnya. Sudah lewat senja dan Ardhy masih larut dalam kesedihan. Sejak tadi bartender menuangkan minuman keras dan membuat Ardhy mabuk sepenuhnya. Dia berada di salah satu bar yang tak jauh dari tempat kerjanya. Sesekali menggoyangkan gelas berisi es kristal yang menyatu dalam larutan memabukkan itu.
"Cowok b******k! Beraninya lo ngambil kesayangan gue. Mati Lo!"
Sejak tadi hanya itu yang digumamkan pria tinggi tegap itu dalam keadaan mabuk. Hari berat yang tak sanggup dia pikul dan lebih memilih alkohol sebagai pelariannya. Tiga jam berikutnya saat bulan mulai meninggi, Ardhy meninggalkan bar untuk menyelesaikan urusan yang masih mengganjal di hatinya.
Sementara itu, acara sederhana dan khidmat sudah selesai digelar. Luna mengurai napas lelah, menyingsingkan gaun putih menjuntai itu agar dia bisa duduk bersandar di pelaminan. Adhitya berada di sampingnya, mengusap rambut cantik berhias mahkota istrinya.
"Capek?" tanya Adhitya.
Hanya dijawab anggukan singkat saja. Sang suami pun melepas jas hitamnya dan meletakkan ke sisi kiri. "Ya udah, mandi trus istirahat. Aku nggak akan terkam kamu malam ini," ujar Adhitya, tersenyum.
"Kenapa?" tanya Luna dengan mata memipih.
"Sampai nanti perasaan kita sama dan kamu yang minta, Lun. Aku nggak akan paksa kamu. Aku juga nggak tau alasan kamu mau terima lamaran aku ini. Yang jelas, aku cuma mau kamu tau kalau aku akan jagain kamu setelah ini," ulas Adhitya.
"Dhitya!"
Suara panggilan dari luar memaksa sepasang pengantin itu keluar. Sepertinya para teman yang lain ingin pamit pulang setelah hari larut. Adhitya membantu Luna berjalan di antara gaun mewahnya yang membuat Luna sedikit kesulitan berjalan. Dilepasnya saja heels itu hingga Adhitya tertawa. Disambutnya ketiga temannya di meja putih bundar itu.
"Mau balik sekarang?" tanya Adhitya pada ketiga temannya itu.
"Kenapa?" keluh seorang teman sambil menatap Adhitya dengan raut mengejek, lalu berkata, "Ngusir Lo? Udah nggak sabar belah duren?"
Tawa geli mereka membuat sepasang pengantin ini malu.
"Nggak, lah! Main dulu, kita!" sahut yang lain.
Luna hanya mengangguk dan tersenyum, membiarkan Adhitya menghabiskan waktu dengan temannya. Hanya seorang pemuda yang justru larut dalam dunianya sendiri. Dia memandangi Luna, si cantik bak putri di negeri dongeng.
"Segitunya liat bini gue, Bin!" cibir Adhitya sambil menepuk bahu Bintang, salah seorang dari mereka.
Hanya senyum simpul yang bisa diulaskan Bintang. Adhitya mengetahui bahwa Bintang juga menyukai Luna sejak lama. Sering memberikan cokelat dan menemani Luna belajar di kelas. Hanya terlambat sedetik mengungkap cinta, Bintang harus melepas target yang dikejarnya beberapa bulan terakhir. Adhitya tak ingin membuat Bintang malu dan menyodorkan cemilan lagi ke arahnya.
"Main kartu, yok!" ajaknya.
Bahagia yang tak berujung. Meja itu pun kini dipenuhi soft drink dan juga kue-kue serta camilan untuk menemani malam. Karena sudah sangat lelah, Luna pun tak ingin menimbrung.
"Aku masuk duluan, ya!" kata Luna karena suaminya itu ingin menghabiskan malam dengan para sahabatnya itu.
Ini hari pertamanya menjadi seorang istri. Menantu satu-satunya di rumah itu. Saat hendak menghentak pintu kamar, Luna dihampiri oleh papa mertuanya, Adira.
"Sendirian aja? Anak gila itu mana?" tanya beliau.
Luna hanya tertawa kecil. "Lagi di luar, ngobrol sama temen."
"Nanti kalau dia jahatin kamu, bilang sama papa, ya! Tapi sekarang, Papa harus ke bandara. Masih ada meeting penting di Jepang, besok."
Luna mengangguk sopan. Beberapa petugas keamanan menarik koper Adira untuk dibawa pergi ke dalam mobil. Beliau harus kembali mengurus perusahaan besarnya di Jepang. Adhitya juga mengatakan akan menyusul lusa. Hidup baru akan dimulai sebentar lagi. Luna tak sabar akan hal menyenangkan itu.
"Hati-hati, Pa!" jawab Luna, mencium punggung tangan sang ayah mertua.