Saat ini, Rose, Dion dan Laura telah memasuki semester dua kehidupan universitas mereka. Namun ketiganya tidak berada di dalam kelas yang sama.
Laura dan Rose berada di fakultas seni namun berada di bidang yang berbeda. Rose di Seni lukis dan Laura di seni tari sedangkan Dion berada di fakultas bisnis. Meski demikian, ketiganya sangat sering bertemu karena fakultas bisnis adalah gedung yang paling dekat dengan fakultas seni sedangkan fakultas seni berbagi satu kantin yang sama. Jadi ketika Dion datang dan makan siang bersama Laura, mereka tentu akan bertemua dengan Rose.
Mengapa bukan Laura saja yang datang ke kantin fakultas bisnis untuk makan?
Jawabannya simple. Laura tidak ingin Rose berpikir dia melarikan diri dan takut padanya.
Pagi ini, Rose menyebabkan Laura jatuh ke dalam kolam dan menyulut amarah Dion, jadi Rose tidak akan terlalu terkejut jika Dion datang ke dalam kelasnya untuk marah. Namun sayang, beberapa saat setelah Rose duduk, dosen yang mengajar hari itu juga masuk ke dalam kelas.
Jadi Rose berpikir bahwa Dion akan melabraknya di kantin, tapi Dion ternyata tidak se-sabar itu. Karena tak lama kemudian Frita mendekat ke arah Rose dan berbisik. “Dion datang.”
Karena mereka duduk di barisan paling belakang, dosen yag memang paling memperhatikan mahasiswa yang duduk di barisan belakang menyadari percakapan keduanya namun memilih untuk menutup mata dan tidak peduli.
Lagi pula siapa yang mau menegur boss mereka sendiri?
Rose mendongak dari ponselnya dan mengarahkan pandangannya ke arah yang Frita tunjukkan dan melihat Dion sedang berdiri di koridoar, memandangnya dengan amarah yang sangat kentara di matanya.
Rose mengangkat alis, melepaskan ponselnya kemudian duduk bersandar dan mengangkat dagunya, memandang tanya ke arah Dion.
Dion yang melihat itu semakin kesal. Pasalnya postur Rose saat ini, alih-alih bertaya, dia justur terlihat memprovokasi.
Dion tidak memberikan gerakan apa pun, hanya memandangnya dengan tatapan sebal. Dan dia tahu Rose cukup tahu apa maksudnya.
Dia ingin gadis itu keluar dan berhadapan dengannya sekarag juga!
“Apa kau akan keluar menemuinya?” Linzy yang juga menyadari keberadaan Dion bertanya.
“Apa aku bodoh? Jelas-jelas dia terlihat akan memukul orang.” Rose mendengus lalu kembali meraih ponselnya dan mengabaikan tatapan tajam Dion yang seolah akan membuat lubang di dinding.
Frita menggigit bibir. “Tapi kita pasti akan bertemu dengannya di kantin nanti.”
“Aku tahu.” Rose sedang memainkan game dan tidak repot menyembunyikan suara ponselnya.
“Lalu apa kita tidak akan makan di kantin hari ini?”
“Kenapa? Menu hari ini adalah menu kesukaanku, tentu aku harus pergi.” Rose membunuh beberapa musuh di dalam game dan menyeringai.
Frita dan Linzy memutar mata diam-diam. Sejak kapan menu yang ada di kantin bukan menu favorit Rose? Tidak. Apakah bahkan Ada makanan yang tidak pewaris Miller itu tidak sukai?
Rose mungkin kurus dan langsing, namun dia benar-benar hobi makan apa saja, tetapi sama sekali tidak menambah berat badannya.
Untuk itu, Frita dan Linzy hanya bisa menggigit jari karena iri.
Linzy melirik ke arah Dion yang masih berdiri di luar ruagan dan bergabung dalam percakapan dua temannya. “Bagaiama jika dia datang dan mengamuk di kantin?”
“Bukankah itu pertanyaan yang kita semua tahu jawabannya?” Rose melirik sekilas dan kembali menekan-nekan ponselnya dengan keras. “Lagi pula ini buka pertama kalinya dia seperti itu.”
“Tapi dia terlihat sangat marah kali ini.”
Ya. Kali ini Dion memang marah besar. ini buka pertama kalinya Rose mengganggunya dan Laura namun ini adalah pertama kalinya Rose melakukan itu setelah pernikahan mereka. Jadi dendam kemarin bercampur aduk dan membentuk kemarahan tak terbendung di hati Dion hari ini.
Jika saja Rose seorang pria, dia pati benar-benar akan memukulnya saat ini juga.
“Mr. Austin? Adakah yang bisa aku bantu?”
Dosen yang sejak tadi bersabar mengabaikan semua suara yang Rose, Frita dan Linzy buat di barisan belakang, akhirnya menemukan objek untuk melampiaskan amarahnya begitu melihat Dion.
Dion sedikit terkejut begitu mendengar suara dingin dosen tersebut dan sedikit canggung ketika menemukan bahwa Dosen itu sama sekali tidak menyembunyikan raut marahnya. Dion mengenali wanita paruh bayah itu sebagai dosen killer fakultas seni yang pernah Laura katakan.
Dion menekan amarahnya dan membungkuk lalu meminta maaf. “Maaf Mrs. Zelin. Aku memiliki sedikit keperluan dengan Mrs. Miller.”
Kedutan terbentuk di dahi Mrs. Zelin. “Keperluan sepenting apa sehingga kamu berani menggangu mata kuliahku?”
Dion sadar bahwa dia telah membuat dosen itu semakin marah dan semakin tidak enak hati. Dia membuka mulut dan menutupnya kembali berkali-kali namun tidak ada kata yang tebentuk dari bibirnya.
Mrs. Zelin kembali bersuara. “Apa yang kau tunggu? Ingin aku laporkan kepada dekan?”
“Tidak!” Dion berdiri tegak dan kembali membungkuk. “Aku akan pergi sekarang.” Dion tidak ingin masalah ini mempengaruhi nilainya dan juga Laura. Jadi dia haya bisa melemparkan lirikan tajam terakhir ke arah Rose sebelum pergi.
“Dia pergi.” Linzy menghela nafas.
Rose tertawa kecil dan mematikan ponselnya. “Apa yang kau takutkan, ini tidak seperti dia benar-benar akan memukul seorang wanita.” Dia menguap lalu bersandar ke atas meja dan menutup matanya.
Selain mata kulian seni, Rose memang tidak pernah benar-benar menekuni mata kuliah lain.
Mrs. Zelin hampir mematahkan spidol di tangannya karena marah dan akhirnya Linzy dan Frita yang menjadi korban tatapan tajamnya hanya bisa menundukkan kepala untuk berpura-pura mendengarkan pelajaran.
***
Seperti yang ketiganya perkirakan, begitu ketiganya masuk ke dalam kantin. Suasana yang awalnya ramai menjadi hening seketika dan Dion juga Laura yang sedang menikmati makan siang mereka menoleh secara bersamaan ke arah pintu masuk.
Frita dan Linzy saling memandang lalu mengendikkan bahu sedangkan Rose sama sekali tidak mengubah raut wajahnya. Santai seolah tidak melihat sepasang mata yang mematainya seperti binatang buas.
Hanya dalam waktu beberapa jam, kejadian Laura yang jatuh ke dalam kolam karena Rose menyebar ke seluruh universitas dan menjadi bahan gosip paling populer hari itu. Kantin yang biasanya tidak penuh kini dihuni oleh mahasiswa dari fakultas lain yang penasaran dan ingin menonton apa yang akan terjadi.
Dan sengaja atau tidak sengaja. Satu-satunya meja yang kosong saat ini tepat bersebelahan dengan meja tempat Dion dan Laura makan.
Rose menenteng tas tangannya, mengabaikan semua tatapan orang-orang dan mengajak kedua temannya untuk mengambil makanan. Setelah itu, dia kembali dan duduk di meja kosong yag tersisa. Sedikitpun, dia tidak pernah memberi tatapan mau pun lirikan ke arah Dion dan Laura meski tatapan sepasang kekasih itu sangat jelas ditujukan untuk menarik perhatiannya.
Frita dan Linzy yang tahu karakter Rose, memilih untuk mengikuti kelakuan Rose, berpura-pura tidak melhat Dion dan makan dengan tenang. Bahkan sempat bercakap dengan kedua rekannya sambil tertawa.
Dion yang melihat itu mengerutkan kening tidak senang, Rose yang mengabaikannya sangat tidak biasa dan membuatnya semakin kesal. Dia ingin berdiri dan menghampiri gadis itu namun menghentikan niatnya begitu melihat piring Laura masih penuh dengan makanan.
Dion menghela nafas dan membelai tangan Laura yang terletak di atas meja. “Makanlah dulu, aku akan membuatnya minta maaf padamu nanti,” ujarnya menenangkan.
Pipi Laura memerah, namun balas menggenggam tangan Dion dengan malu-malu. “Kau tidak perlu melakukannya. Kita semua tahu bagaimana karakternya.” Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik rambut sebahunya. “Lagi pula aku baik-baik saja dan tidak terluka di mana pun.”
“Bagaimana mungkin kita membiarkannya begitu saja? Dia hanya akan semakin arrogan.” Dion menghela nafas. “Kau tidak perlu bersikap terlalu baik hati untuk orang sepertinya, kau hanya akan menyia-nyiakan perasaanmu.”
Laura menggigit bibir dan menggeleng, bulu mataya bergetar sedangkan matanya memerah seolah dia akan menangis kapan saja. “Aku tidak ingin kau dalam masalah, dia, dia memilki kekuasaan di kampus kita.”
“Bahkan jika dia berkuasa, dia tidak akan bisa dengan mudah menendangku keluar dari sini.” Dion mengulurkan tangan dan membelai pipi Laura dengan lembut. “Serahkan masalah ini padaku, kau hanya perlu duduk dan melihat.”
Laura akhirnya mengangguk setuju lalu dengan tekun melahap makannya. Namun, di sudut yang tidak Dion sadari, gadis itu tersenyum tipis.
Bersambung...