Baju Baru

1096 Kata
Setelah menghabiskan waktu setengah hari di rumah sakit, Rose sudah merasa rindu dengan udara luar. Dan karena cuaca panas musim panas. Rose berusaha membujuk Adam untuk membelikannya es krim, yang tentu saja tidak berhasil. Karena itulah, sejak keduanya tiba di apartemen milik Adam, Rose masih memasang wajah masam dan langsung duduk di sofa. Tidak berkata sepatah kata pun pada si tuan rumah. Adam tersenyum dan menggeleng pelan, sembari melipat lengan bajunya, dia berjalan menuju dapur. Saat dia keluar lagi, segelas smoothies anggur dan kue ada di tangannya. "Aku mau mandi dulu, sampai makan malam siap, kamu makan ini dulu." Dia meletakkannya di depan Rose. "Saat kau sudah sembuh nanti, bahkan jika kau mau punya pabrik es krim sendiri juga tidak masalah." Rose mendengus pelan, masih mempertahankan wajah masamnya, tapi terlihat puas ketika menikmati makanan yang Adam sediakan untuknya. Setelah mandi, Adam lanjut menyediakan makan malam, lalu setelah memeriksa kondisi Rose, dia akhirnya bisa beristirahat. Apartemen Adam tidak terlalu mewah dan besar, tapi cukup untuk memiliki dua kamar yang masing-masing memiliki kamar mandi. Ini bukan pertama kalinya Rose datang untuk menginap, jadi kamar tamu apartemen itu sudah seperti miliknya secara pribadi, bahkan ketika dia harus pergi ke kampus, Rose tidak perlu pulang untuk mengambil baju ganti. Pakaian di lemari cukup banyak untuk dia pakai. "Hey, ini pertama kalinya aku melihat pakaian ini di lemari." Rose menarik sepasang kaos dan blazer Lavender panjang serta jeans yang tergantung berpasangan. Terlihat begitu mencolok diantara gaun-gaun Rose yang berwarna hitam. "Kapan aku punya pakaian dengan warna seperti ini?" Gumamnya sembari berjalan ke kamar mandi. Begitu Rose keluar dengan memakai pakaian itu, gerakan Adam yang sedang menyiapkan makanan terhenti. "Oh, kau bangun cukup cepat hari ini, jadi kau harus menunggu sebentar sampai semua makanannya siap." "Hn..." Rose mengangguk dan duduk di salah satu kursi, menopang dagu dan mematai setiap gerakan Adam. "Jadi, kamu yang membeli baju ini?" Gerakan Adam untuk sesaat melambat sebelum kembali sibuk. "Aku ke mall beberapa hari yang lalu dan melihat pakaian ini cukup cocok untukmu, jadi aku membelinya tanpa pikir panjang." "Tapi kenapa kau tidak pernah memberikannya padaku?" "...Aku, lupa." "Siapa yang sedang kau coba bohongi?" Rose bersandar ke kursi dan memiringkan kepala, ketika dia tidak mendapatkan balasan dari Adam, dia kembali berkata, "Benarkah hanya lupa? Bukannya karena berita pernikahanku membuatmu mengurungkan niat?" Adam masih tidak menjawab, meletakkan beberapa piring makanan dan kembali berbalik untuk mengambil yang lain. Rose mendesah. "Stylenya sesuai seleraku, tapi kenapa kau memiliki warna seperti ini? Aku hanya cocok memakai pakaian gelap." "Hanya kau yang berpikir seperti itu." Setelah semua hidangan selesai, Adam akhirnya bergabung ke meja makan. Dengan penampilan Rose, dia bisa cocok dengan warna apa saja, hal itu terbukti dari pakaian berbagai warna yang dia miliki ketika remaja, tapi semenjak Rose tau tentang penyakit jantung yang dideritanya, dia berhenti membeli pakaian-pakaian cerah, seolah memutuskan untuk berduka untuk dirinya sendiri seumur hidup. Tapi hari ini, adalah pertama kalinya dia memakai pakaian selain warna gelap dan monoton, jadi ketika dia berdiri dengan tenang di dalam lift, orang lain yang naik bersama mereka tak henti-hentinya melirik. Bukan berarti selama ini Rose tidak begitu menarik perhatian, hanya saja dengan penampilannya sekarang, aura suram yang biasanya selalu dia pancarkan sedikit berkurang. "Itu, Nona. Bolehkah aku meminta nomor w******p mu?" Seorang pria dengan berani mengejar setelah keluar dari lift, dia terlihat gugup, tapi masih menatap Rose malu-malu. Rose mengangkat alis. "Apa kamu juga punya nomor w******p?" Pria itu mengangguk, dengan pipi yang sedikit merah, dia mengeluarkan ponselnya dan menampilkan QR code di layar ponselnya. "Kalau kau sudah punya lalu mengapa masih minta padaku?" "Eh?" "Kau seharusnya puas dengan apa yang kau miliki sekarang." Rose meninggalkan pria yang masih mematung begitu saja. Adam yang menyaksikan itu semua dari jarak yang tidak begitu jauh, kesulitan menahan tawanya, bahkan tenggorokannya mulai terasa sakit karena dia terus berdehem. "Kalau ingin ketawa, ketawa saja." Rose menatap sebal. "Ini semua karena pakaiannya berwarna cerah, jadi mereka pikir aku sengaja menarik perhatian." 'Lalu kenapa masih memakainya?' Jika Adam memberinya respon seperti itu, dengan karakter Rose, gadis itu pasti akan melepaskan blazernya saat itu juga. "Baik, aku yang salah." Adam tersenyum tipis. "Tapi aku tidak tahan untuk membelinya karena yakin akan sangat cocok untukmu." Rose mendengus, tapi tidak kesal lagi. Dengan kaos croptop dan celana jeans pinggang tinggi yang dipadukan dengan blazer panjang, serta rambut yang terikat dengan gaya messy ponytail. Rose terlihat segar dan mudah berbaur dengan gadis universitas lainnya. Rose menghentikan langkahnya di depan motor sport hitam, sedangkan Adam berhenti di depan mobil. "Aku mau naik ini," ujar Rose. "Aku tidak bawa kuncinya." Crriiing... Rose mengeluarkan kunci dari sakunya. "Sekarang kuncinya sudah ada." Mau tak mau, Adam harus mengalah. Lagi pula, meskipun Rose punya penyakit jantung, naik motor sport tidak akan berpengaruh apa-apa asalkan dia tidak berkendara terlalu cepat. "Jangan pernah berpikir untuk mengendarai motor seperti ini dengan kecepatan kura-kura, atau aku akan mengendarainya sendiri." Seolah tau isi pikiran Adam, sebelum naik, Rose memperingatkan dulu. "Kau ini sakit jantung." "Hanya berpengaruh jika aku takut atau terlalu excited. Aku biasa-biasa saja naik motor dengan kecepatan tinggi." Rose naik dan melingkarkan lengannya di perut Adam. "Sudah lama kita tidak naik baby black ini, jangan membuatku kecewa." 'Memangnya kapan aku bisa menolak permintaan mu?' batin Adam sebelum meluncurkan meninggalkan gedung apartemen. Adam adalah salah satu lulusan terbaik Miracle Universitas, jadi meski tidak lagi menjadi salah satu mahasiswa, dia masih memiliki akses untuk sekedar masuk ke pekarangan universitas, dengan begitu dia biasanya mengantar Rose hingga depan fakultas seni. Jika penampilan Rose di lingkungan apartemen cukup menarik perhatian, maka di depan fakultas, dia sepenuhnya menjadi pusat perhatian tatapan aneh. "Apakah kemarin seseorang membuatnya marah?" Seseorang berbisik. "Tidak tau. Memangnya kenapa?" "Selama aku kuliah di sini, ini pertama kalinya aku melihatnya memakai pakaian selain warna yang gelap. Jadi, aku pikir mungkin saja seseorang membuatnya marah dan dia bersiap untuk memberikan hukuman yang tak terlupakan seperti penampilannya saat ini." "Kau ini, apakah seorang penulis n****+?" "Bagaimana kau tau?" Adam mengambil helm yang Rose sodorkan dan merapikan beberapa rambut Rose yang berdiri. "Pastikan untuk tidak makan makanan yang terlalu berminyak, apalagi Fast food. Es krim juga tidak boleh, mengerti?" Rose membuang muka. "Bawel," bisiknya. "Kau bilang apa?" Adam membungkuk, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. "Aku tidak mendengarmu." Dia masih tersenyum tipis, tapi Rose merasa pria itu tidak benar-benar tersenyum. Di dunia ini, jika ada yang bisa menekan dan membuat Rose yang keras kepala mundur, maka orang itu hanyalah Adam. Rose berdecak. "Baiklah, sana pulang!" Senyum Adam menjadi lebar, tapi sebelum pergi, dia menoleh dan bersitatap dengan Dion. Untuk sepersekian detik tatapan lembut yang selalu dokter itu perlihatkan berubah dingin. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN