Aku menemani Tamara makan malam bersama keluarganya. Aku sudah biasa makan malam satu meja dengan keluarga Hirawan.
Hirawan duduk di tengah sedangkan di sisi kanan kirinya ada Thomas dan Tamara.
“Tamara, kau akan menikah dengan Ricky,” ucap Hirawan saat selesai makan malam.
“Tidak Ayah! apa Ayah gila?” sembur Tamara.
BRAK! Hirawan menggebrak meja makan.
Seketika Tamara menutup mulutnya.
“Apa kau bisa memikirkan jalan keluar lain?” desis Hirawan.
“Zea, tolong pikirkan sesuatu!” Tamara merajuk padaku.
“Apa kau ingin keluarga kita selalu menjadi buah bibir di masyarakat? kau tidak lihat harga saham terus merosot? jika terus seperti ini, kita akan bangkrut! kau mau jadi gelandangan?” teriak Hirawan.
“Tapi aku tidak mencintai Ricky, Ayah!” cicit Tamara.
“Kau bilang cinta? lalu kenapa kau tidur dengannya?” murka Hirawan.
“Ayah aku mencintai Davendra,” Tamara mulai menangis lagi.
“Kau pikir aku tidak menginginkan Davendra menjadi menantuku? kau yang membuatnya tidak mungkin terjadi!” maki Hirawan.
“Kau pikir keluarga Alexander akan menerimamu sebagai menantunya setelah skandal video panasmu tersebar ke seluruh negeri?” kekeh Thomas.
Tamara pergi ke kamarnya dengan tangisan yang menyedihkan.
“Bos, saya pamit pulang,” ucapku.
Hirawan hanya menganggukkan kepalanya.
Aku memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju apartemenku.
“Hari yang melelahkan,” lirihku sambil merebahkan tubuh di kasur berukuran queen size.
Aku membuka ponsel, ternyata Tamara mengirim sebuah pesan.
[Aku hanya ingin menikah dengan Davendra]
Aku membanting ponselku, Tamara sudah tidak waras. Sudah tiga tahun dia mengejar Davendra, namun hingga saat ini Davendra sama sekali tidak menunjukan ketertarikannya pada Tamara, ditambah skandal ini, Davendra pasti semakin jijik pada Tamara.
Tamara dibesarkan dengan sendok perak di mulutnya, semua yang dia inginkan selalu dia dapatkan, tidak heran sikapnya jauh dari kata dewasa.
Davendra memang tampan rupawan, wajahnya bak dewa Yunani. Matanya yang menyerupai almond, hidungnya yang memiliki jembatan tinggi dan bibirnya yang tipis menawan, jangan lupakan rahang kokoh dan alis tebalnya, aku yakin setiap wanita yang berpapasan dengannya akan menoleh setidaknya dua kali.
Statusnya sebagai penerus satu satunya Alexander Grup, membuat dia makin digilai banyak wanita, namun menurut kabar yang beredar dia memiliki orientasi yang menyimpang, karena sekalipun dia tidak pernah berdekatan dengan wanita.
Tamara jatuh cinta pada Dave saat pertama kali bertemu di acara makan malam kerja sama antara Alexander Grup dan Hirawan Grup. Hirawan tentu saja mendukung Tamara untuk mendapatkan hati Dave.
Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali saat menemai Tamara, aku tidak menyukai sorot matanya saat menatapku, dia seakan menelanjangiku, entah perasaanku saja atau memang dia tidak suka padaku.
Tamara pernah cemburu padaku karena beberapa kali dia melihat Dave memandangiku dengan intens, setelah itu, Tamara tidak pernah mengajakku untuk menemaninya bertemu dengan Dave.
Aku tidak keberatan dengan permintaan Tamara, karena akupun merasa harus menjauh dari laki laki tampan itu, tatapan matanya sangat menggangguku, tatapannya memabukan tapi juga berbahaya.
**
Keesokan harinya aku mendengar kabar Tamara dilarikan ke rumah sakit karena meminum banyak pil tidur, aku sangat sibuk semenjak pagi berusaha menutupi kabar ini dari wartawan.
“Dia sangat merepotkan,” batinku.
[Zea, tolong urus kontrak kerja sama kita dengan Alexander Grup]
Hirawan mengirimiku sebuah pesan, serta alamat tempat negosiasi kontrak.
Aku kembali ke kantor untuk mempersiapkan kontrak setelah sibuk menyuap wartawan yang mengetahui kabar Tamara di larikan ke rumah sakit.
Aku tiba di sebuah mansion yang cukup besar, seorang pria berjas rapih menyambutku dan menyuruhku duduk di ruang tamu, lalu dia meninggalkanku sendirian.
Seorang wanita paruh baya menyuguhkan teh dan makanan kecil, setelah aku mengucapkan terima kasih, dia pamit ke belakang.
Sepuluh menit kemudian, Dave turun dari tangga menghampiriku. Aku menarik nafas dalam untuk menenangkan degup jantungku. Dia sangat tampan, semoga saja aku bisa berkonsentrasi saat bernegosiasi kontrak dengannya.
“Sudah lama menunggu?” tanyanya dengan suara bariton yang seksi.
“Tidak" ucapku sambil memberikan senyuman terbaikku.
"Ini berkas kontrak yang Hirawan Grup tawarkan, Tuan Dave, silahkan di baca,” ucapku sambil menyerahkan dokumen.
“Silahkan diminum dulu” ucap Dave.
Aku meneguk teh camomile di hadapanku, teh ini sangat harum membuatku meminumnya hingga tandas.
“Mau lagi?” tanya Dave.
“Tidak, terima kasih” aku merutuki diri sendiri, kenapa minum sampai habis, keliatan banget kan hausnya.
“Apa kau mengenal Hardi Setiawan? aku dengar dia adalah sponsor mu?” tanya Dave dengan nada dingin.
“Sepertinya menggunakan kata sponsor kurang tepat Tuan Dave, beliau salah satu donatur yang membiayai kuliah saya” sinisku, jujur aku tersinggung dengan ucapannya.
Kata sponsor yang dia ucapkan untukku tentu bermakna tidak baik, dia menuduhku ada hubungan terlarang sebagai timbal balik kebaikan pak Hardi membiayai kuliahku.
Aku merasakan panas di sekujur tubuhku, nafasku memburu aku tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku.
“Apa obatnya sudah bekerja?” ucap Dave dengan seringai tampannya.
“Obat apa?” tanyaku.
“Obat yang sama dengan yang kau berikan kepada Tamara” kekeh Dave.
“A–Apa maksudmu?” aku tergagap mendengar pertanyaan Dave.
“Apa kau tidak menyangka karmamu datang secepat ini?” Dave menaikkan sebelah garis bibirnya.
Dave menyimpan berkas di atas meja, lalu duduk di sampingku.
“Kau mau apa?” tanyaku dengan nafas memburu.
Tangan Dave dengan tidak sopannya masuk ke dalam rok span yang aku gunakan, tangannya mengelus ngelus paha dalamku.
“Aaah!” desahku, aku menutup mulutku dengan tangan saat tidak sadar melenguh panjang menerima perlakuan dari Dave.
Dave terkekeh mendengar desahanku, tangannya mulai bergerilya didalam sana, aku menggelinjang bak tersengat aliran listrik.
Aku tidak pernah disentuh oleh laki laki manapun, aku tidak memiliki pacar hingga saat ini, karena aku merasa pacarku nanti hanya akan menghambat balas dendamku pada keluarga Hirawan.
Aku sudah tidak tahan dengan perlakuan Dave dan obat perangsang yang bekerja dengan optimal dalam tubuhku, aku meraup wajah Dave dan menciumnya dengan brutal.
Dave melemparkanku ke atas kasur berukuran king size, sentuhan sentuhan Dave sungguh sangat memabukkan, entah sudah berapa kali aku mengalami pelepasan, padahal penyatuan belum sama sekali dilakukan.
Dave membaringkanku dan bersiap untuk melakukan penyatuan kami. Dave tersentak mungkin karena terhalang selaput daraku.
“Akh! sakit, tolong hentikan!” jeritku.
Namun Dave sudah diliputi oleh gairah, dengan sekali sentakan dia merobek dan memasukiku lebih dalam lagi.
“Tidak jangan masuk lagi, ini sangat sakit” aku meneteskan air mata.
Dave tidak memperdulikan tangisanku, dia menggempurku habis habisan malam itu.
“Dave, mengapa kau melakukan ini padaku?” lirihku sebelum jatuh pingsan.