Menjebak Tamara
Zea POV
Tamara terlihat sangat bahagia saat menerima buket bunga dan sebuah kartu akses sebuah kamar hotel, dia mencium kartu ucapan bertuliskan kata kata manis yang terselip dalam buket bunga.
“Akhirnya kau membuka hatimu untukku,” lirihnya.
Aku menatap Tamara di balik sebuah pilar, menatap sinis gadis angkuh itu.
“Sebenarnya aku tidak begitu membencimu, sayangnya kau memiliki nama belakang Hirawan, kau harus hancur hingga menjadi butiran debu,” sinisku.
Tamara memasuki sebuah kamar suit presiden di sebuah hotel bintang 7, dengan gaun malam seksi melekat di tubuh indahnya, dia terlihat bangga saat mata laki laki keranjang menatapnya dengan tatapan lapar.
Saat memasuki sebuah kamar president suite, bibir tipis milik Tamara yang dipoles gincu berwarna merah darah tersenyum saat membaca sebuah note di atas sebuah meja.
‘Aku akan terlambat sekitar satu jam, nikmati wine mu’
“Jangankan hanya satu jam, sepuluh tahun juga aku sanggup menunggumu” ucap Tamara.
Lalu dengan santai dia menyesap wine yang ada di hadapannya. Tamara sangat menggemari wine, terutama jika umur wine itu sudah tua.
“Mengapa disini panas sekali,” Tamara mengipas ngipas tubuhnya.
Ting Tong! bel pintu kamar berbunyi.
“Davendra, apa kau sudah datang?” ucap Tamara dengan suara manja, tanpa curiga dia membuka pintu kamar.
“Ricky?” Tamara kebingungan.
Ricky mendorong tubuh Tamara masuk kedalam kamar dan menguncinya.
“Apa apaan kau ini? keluar!” raung Tamara.
“Maaf aku bukan Davendra,” kekeh Ricky.
“Mau apa kau kesini?” tanya Tamara, sebisa mungkin dia menahan gelenyar aneh di seluruh tubuhnya, mendadak tubuhnya terasa panas.
“Aku kesini untuk menolongmu, Sayang!” tangan Ricky meremas b****g sintal Tamara.
“Aaah!” desis Tamara, sebenarnya dia sangat marah dilecehkan seperti itu, namun sayangnya tubuhnya berkata sebaliknya.
“Ada apa denganku?” desis Tamara.
“Biarkan aku menolongmu” Ricky langsung mencumbu leher Tamara.
Ricky merobek gaun malam yang melekat di tubuh Tamara, tangannya langsung bergerilya di tubuh Tamara bagian belakang.
Tamara melumat bibir Ricky dengan penuh gairah, tangannya dengan lincah melucuti pakaian Ricky.
“Sudah gak kuat ya Sayang?” bisik Ricky di telinga Tamara.
“Sentuh aku, tolong!” Tamara memohon seperti w************n yang haus akan sentuhan.
Malam itu Ricky tanpa ampun menggempur Tamara, hingga beberapa kali Tamara jatuh pingsan, setelah menjelang pagi, Ricky meninggalkan tubuh polos Tamara begitu saja.
“Zea, makasih!” ucap Ricky saat menemuiku di kafe yang buka 24 jam didekat hotel.
“Kau tahan lama juga,” kekehku.
“Gue puas saat Tamara memohon gue buat nyentuh dia, dia kayak p*****r yang haus akan sentuhan laki laki, gak ada lagi sikap angkuh yang dia selalu dia liatin ke gue,” ucap Ricky emosi.
“Pulang sana, kayaknya lo kecapekan,” ucapku
“Ngomong ngomong, kenapa lo ngelakuin ini sama Tamara? lo benci juga ama dia?” tanya Ricky.
“Gak usah banyak tanya, transfer aja saham lo secepatnya,” sinisku.
“Oke,” ucap Ricky.
Tepat jam lima pagi, aku mengirimkan file video panas Tamara kepada seorang hacker, aku memintanya mengupload video tersebut ke seluruh platform berita online.
Tubuhku panas dingin saat melihat video Tamara dan Ricky, mereka begitu liar, desahan dan erangan tidak henti hentinya keluar dari mulut mereka berdua.
“Lebih cepat lagi, Sayang!” teriak Tamara.
Ricky semakin semangat menghentak hentakkan pinggulnya.
“Say my name!” desis Ricky.
“Lebih dalam lagi, Ricky” desah Tamara saat kenikmatan menguasai dirinya.
Aku langsung menutup video mereka. Sudah tidak sanggup lagi untuk menonton lebih jauh.
“Mata gue ternodai” kekehku.
[Jam enam pagi, aku ingin video ini tersebar, pastikan tidak ada yang bisa melacak dari mana asal video ini dan biarkan video ini menjadi trending selama 7 hari]
Klik! aku mengirimkan pesan pada Hades, seorang hacker yang sudah lama aku kenal.
Setelah mengirimkan video kepada Hades, aku merebahkan tubuhku daan mencoba menutup mata, aku harus tidur. 2 jam lagi keluarga Hirawan akan terguncang badai dahsyat.
**
Aku terbangun pukul sembilan pagi, itu karena Ibu menggedor gedor pintu kamarku dengan bar bar.
“Ini anak gadis jam segini belum bangun! kamu pulang jam berapa tadi pagi?” sengit Ibu.
“Bu, gedor pintunya biasa aja, Ibu mau nyaingin densus yang lagi ngegerebek pengedar narkoba?” kesalku.
“Bangun! mandi! sarapan! emangnya kamu gak kerja?” tanya Ibu.
“Zea dipecat, Bu!” lirihku.
“Kok bisa, Nak?” nada suara ibu sudah berubah menjadi lembut.
“Anak Bos Zea gak suka Zea lebih pinter dari dia,” curhatku.
“Kok gitu? kamu bela belain pulang ke Indonesia buat kerja di Hirawan Grup, kalo Ibu gak salah itung, 5 taun kamu mengabdi disana, terus kamu di pecat gitu aja?” ucap Ibu emosi.
Aku hanya menghela nafas panjang, Ibu memelukku dan membelai rambutku. Aku balas memeluknya, aku sangat menyayangi wanita ini, walaupun aku tahu dia bukan ibu kandungku, tapi aku menyayanginya sepenuh hati.
“Zeaaaa, cepat sini!” ayah berteriak dari ruang TV.
Aku dan ibu buru buru menghampiri ayah.
“Ada apa, Yah?” tanyaku.
“Itu liat di berita, bukannya Hirawan Grup itu tempat kamu bekerja?” tanya Ayah.
Aku menganggukkan kepalaku.
“Oalah, itu video m***m anak perempuannya pak Hirawan lagi hot trending, di beritain dimana mana” jelas Ayah.
“Itu yang mecat kamu?” tanya Ibu.
Lagi lagi aku menganggukkan kepalaku.
“Sukurin! kena azab dia!” maki Ibu.
Aku terkekeh mendengar ucapan Ibu.
“Kamu dipecat?” tanya Ayah.
“Jangan sedih ya Sayang, banyak kok perusahan yang mau nerima kamu,” Ibu memberi semangat.
“Iya dong! Hirawan Grup yang rugi mecat aku,” sombongku.
Aku mengambil ponselku yang sedang di cas di samping TV, aku melihat 78 panggilan tidak terjawab dan 279 pesan belum terbaca.
Senyuman sinis tersungging di bibirku. Ponselku bergetar, layar ponselku menampilkan tulisan Tamara melakukan panggilan.
“Apa?” sengitku.
“Kau kemana saja?” sembur Tamara di seberang sana.
“Dirumah orang tuaku,” jawabku sambil menjauhkan benda pipih itu dari telingaku.
“Tolong aku!” lirih Tamara.
“Apa kau lupa kau sudah memecatku kemarin,” sinisku.
“Apa kau belum melihat berita?” tanya Tamara.
“Aku baru bangun, menikmati hari pertamaku sebagai pengangguran,” sarkasku.
Tok Tok! aku mendengar suara pintu diketuk.
“Siapa?” suara Ibu melengking memekakkan telinga.
“Itu pasti suruhan Ayah, Zea please, kau harus menolongku,” Tamara mulai menangis.
“Baiklah,” lirihku.
Setelah mandi dan sarapan, aku dibawa ke kantor pusat Hirawan Grup.
“Zea! apa kau tahu kesalahanmu?” bentak Hirawan.
“Tidak!” ucapku datar.
“Beraninya kau!” Hirawan melempar dokumen yang ada di mejanya.
“Tamara sudah memecatku kemarin, aku tidak bertanggung jawab lagi atas apapun yang terjadi pada Tamara,” ucapku penuh penekanan.
“Apa? Tamara memecatmu?” tanya Hirawan.
“Ya, setelah dia memecatku, aku pulang ke rumah orang tuaku dan bangun siang untuk merayakan kebebasanku. Jadi salahku dimana?” suaraku terkesan menantang Hirawan.