“Makasih, Sa,” ucap Zeline sambil berjalan menuju tempat yang ditunjuk Aksa tadi.
Zeline mengeluarkan hapenya untuk menghubungi Rania adeknya.
Zeline : Kakak pulang malam, Dek. Hari ini Kakak lembur karena pekerjaan masih banyak yang harus diselesaikan.
Rania : Oke Kak
Zeline memperhatikan Aksa dari kejauahan. Tubuh atletis Aksa berkilat di bawah pancaran terik matahari. Tidak berbeda dari Zeline, Aksa juga tengah memperhatikan Zeline dari tempatnya berdiri.
Tepat jam enam sore, Aksa baru selesai meninjau semuanya. Mereka kembali pulang dengan segera. Diperjalanan, Aksa membelokkan mobil memasuki pelatan parkir sebuah restoran.
“Kita makan malam terlebih dahulu, Zel,” ucap Aksa pelan.
“Apa enggak bisa langsung pulang, Sa?” ucapnya dengan nada khawatir.
“Mengapa? Ini sudah jam delapan malam, waktunya untuk makan malam. Setelah makan kita langsung pulang, oke?” ujar Aksa sambil memperhatikan wajah Zeline yang diliputi kekhawatiran.
“Tetapi, Sa---” ucapan Zeline terpotong karena dia ragu untuk menyampaikan apa yang dipikirkannya sekarang.
“Makan dahulu, Zel. Sekalian bungkus buat adeknya,” ucap Aksa sambil berjalan memasuki restoran.
“Kok kamu tau kalau aku punya adek?” ucap Zeline dengan mata berkedut dan alisnya yang rapi juga bertaut karena heran.
“Aku mengetahui semua yang berhubungan dengan kamu, Zel,” bisik Aksa.
Zeline tambah curiga dengan ucapan Aksa. Tetapi dia juga tidak tau apa yang dicurigainya. ‘Mengapa Aksa mengetahui semua tentang dirinya dan siapa Aksa sebenarnya?’ batin Zeline bergelut dengan pikirannya sendiri.
“Bukankah biodata lengkap kamu ada di atas meja aku, Zel. Jadi, wajar jika aku mengetahui semua tentang kamu.” Aksa menambahkan penjelasannya untuk menghindari Zeline yang sudah mulai memikirkan hal hal lain yang diluar dugaannya.
“Ooo, begitu. Bilang dong dari tadi. Aku juga sudah berprasangka yang bukan bukan karena ucapan kamu barusan,” ucap Zeline sambil tertawa hingga mata kecilnya yang menyipit menyerupai bulan sabit.
‘Bahagia rasanya jika melihat kamu tertawa lepas seperti ini, Zel,’ bisik hati Aksa.
“Sa, kalau bisa kita dikantor jaga jarak. Takutnya karyawan yang lain merasakan kedekatan kita.” Zeline mengutarakan kekhawatirannya, karena dia merasakan hubungannya dengan Aksa yang mulai dekat bahkan sudah panggil nama saja.
“Kamu tenang saja,” sahut Aksa dengan senyumannya.
Aksa mengantarkan Zeline sampai kerumah kontrakannya. Kontrakan Zeline yang berada di kawasan padat penduduk, dengan lingkungan yang tidak sehat. Aksa merasa prihatin melihat kondisi tempat tinggal Zeline yang jauh dari kata sehat.
“Jangan lupa kemasi barang barangnya, besok sudah bisa pindah setelah pulang kerja.” Aksa mengingatkan Zeline kembali.
“Baik, Sa. Terima kasih, Sa,” ujarnya sambil melangkah masuk kedalam rumah. Setelah memastikan Zeline menghilang di balik pintu rumahnya, Aksa pun mengemudikan mobilnya untuk pulang ke Apartemen.
“Kakak sudah pulang?” ucap Rania saat didengarnya suara pintu dibuka.
“Sudah, Dek. Kamu sudah makan?” tanya Zeline.
“Belum, Kak. Aku nunggu Kakak dahulu baru makan,” ucapnya sambil tertawa.
“Ya sudah. Makan sana gih,” ucap Zeline sambil memberikan kantung makanan yang dibelikan Aksa tadi.
“Makasih, Kak. Ini pasti enak banget,” ucapnya dengan wajah yang sangat bahagia.
“Setelah ini, kita kemas kemas semua barang barang, Dek,” ucap Zeline begitu dilihatnya Rania yang telah selesai makan.
“Mengapa, Kak?” tanya Rania yang melihat kearah sang kakak.
“Besok kita pindah dari sini, Dek,” ucap Zeline.
“Beneran, Kak? Kita pindah ke mana? Kakak enggak bohong, kan?” beragam pertanyaan keluar dari mulut Rania.
“Beneran, Dek. Besok kita pindah ke apartemen.”
“Kakak udah gajian? Kan belum sampai sebulan kerjanya?” tanya Rania heran.
“Apartemennya di fasilitasi perusahaan tempat Kakak bekerja. Nanti bayarnya dipotong gaji setiap bulan,” jelas Zeline sesuai dengan apa yang dikatakan Aksa tadi kepadanya.
“Alhamdulillah, Kak. Aku bahagia banget dengarnya. Akhirnya kita bisa juga keluar dari tempat yang tidak sehat ini,” ucap Rania dengan air mata yang menetes.
“Iya, Dek. Kamu doakan Kakak ya, biar kerjaannya lancar lancar saja sampai apartemennya lunas.” Zeline bahagia melihat adeknya yang sangat bahagia akan pindah dari tempat sekarang. Sebenarnya, Rania sudah sangat lama ingin pindah dari tempat sekarang, akan tetapi, Zeline belum mempunyai uang untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak. Gajinya selama ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari mereka dan untuk sekolah Rania yang masih duduk di kelas dua SMA.
Sebagai tulang punggung keluarga, setelah orang tuanya meninggal, Zeline bertanggung jawab dengan pendidikan adeknya dan juga kebutuhan harian mereka.
Setelah mengemasi barang barang mereka yang tidak banyak, Zeline dan Rania langsung tidur karena besok harus bekerja dan Rania juga harus sekolah. Mereka masuk kedalam kamar masing masing untuk tidur dan beristirahat.
Berbeda dengan Zeline yang sudah lenyap di alam mimpi, Aksa masih tidur menghayalkan wajah Zeline. Dari tadi, Aksa hanya berguling guling di atas kasur dengan mata yang masih terbuka. Dia tidak bisa memejamkan matanya karena kepalanya yang penuh oleh Zeline.
Setelah menunggu hampir sepuluh tahun lamanya, akhirnya Aksa bisa mendekati Zeline dengan perantara Farrel. Meskipun dari pancaran mata Zeline masih tersisa cinta untuk Farrel, akan tetapi Aksa bertekad untuk menghilangkan Farrel dari ingatan Zeline.
Aksa meraba pipinya yang dikecup oleh Zeline tadi siang, masih terasa hangatnya bibir Zeline saat menyentuh kulit wajahnya yang mulus. Membayangkan hal itu saja, sudah membuat inti tubuhnya bereaksi dengan cepat.
Setiap kali membayangkan Zeline, pasti akan berakhir dengan Aksa yang harus berendam air dingin untuk meredakan hasratnya.
Pagi ini Aksa terlambat datang ke kantor karena harus mengurus administrasi pembelian apartemen untuk Zeline. Semua dokumen menggunakan nama Zeline. Pekerjaan di handle oleh Farrel menjelang Aksa masuk.
Zeline sudah berada di kantor pagi pagi sekali. Jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Zeline memutuskan membuat secangkir minuman terlebih dahulu.
“Hmm,” Zeline menghirup aroma kopi yang dicampur sedikit creamer.
“Welcome Monday,” ucapnya sambil tersenyum indah dan berjalan meninggalkan pantry.
“Morning, Zeline Zakeisha,” ucap Farrel dengan senyuman hangatnya.
“Morning too, Farrel,” ucap Zeline sambil tersenyum.
“Cerahnya pagi ini,” ucap Farrel saat melihat senyuman indah milik Zeline.
“Harus dong, Rel,” jawab Zelin sambil menghidupkan computer dimejanya.
“Bagaimana, Zel. Apakah kita sudah bisa bicara?” tanya Farrel dengan tatapan memohon.