8

750 Kata
Aku terus mengamit tangan Mas Yoga, membawanya menuju kamar kami yang besar. "Tunggu, Mas. Kenapa aku ditinggal ...." Aku menarik napas panjang, berusaha menekan amarah yang membuncah saat Anita menyibak tirai lalu masuk ke kamar kami, bibirnya yang seksi bergincu merah muda mengembang lebar. Mata bermaskaranya mengerling manja pada Mas Yoga yang kini duduk di sebelahku. Dasar nenek sihir! Kurasa, tidak keterlaluan memanggilnya begitu karena kenyataannya, dia memang seperti itu. Perempuan murahan. Mana ada gadis secantik dia yang masih belia mau dengan suami orang? Aku menahan kesal saat Anita melangkah mendekat. "Entah mengapa, bawaannya aku pengen deket Mas terus. Bobok di kamar kita yuk, Mas?" Sejenak, Mas Yoga menatapku. Menguatkan hati, aku perlahan mengangguk. Kamu pilih kasih, Mas! Awas saja, akan kubalas. Rutukku dalam hati menahan kesal. "Mbak Yu nggak cemburu, 'kan?" tanya Anita dengan tatapan tanpa dosa. Ia langsung menggelayut manja saat Mas Yoga mendekat, memeluk tangan mas Yoga cukup erat lalu menyenderkan kepala ke bahu suamiku yang menatapku salah tingkah. Cemburu katanya? Pasti, dia perempuan paling bodoh sejagad raya. Siapa yang tak cemburu jika melihat suami yang amat dicintai bermesraan dengan perempuan lain di depan mata? Siapa yang tak sakit hati dimadu? Kugigit bibir kuat mencoba menepis rasa sakit. Sungguh menjijikkan membayangkan suami bermesraan dengan perempuan lain, sungguh tak sudi aku berbagi suami. Sampai kapanpun tak akan rela. Lihat saja kamu, Mas! Akan kubalas. Aku menatap ke arah perut Anita yang sedikit buncit. Sebagai bidan aku tahu kalau itu pasti bukan karena kebanyakan makan. Sudah berapa lama kamu selingkuh dengannya, Mas? Dengan pandangan jijik, aku berkata dengan sinis, menumpahkan perasaan sebal yang sejak tadi membuat d**a begitu sesak. "Cemburu? Aku?" Tudinfku ke arah dadaku sendiri, padahal aslinya cemburu berat. "Duuuh, sorry," lanjutku lalu menyeringai. "Aku sudah puas dengannya. Nikmati saja bekasku. Aku sudah bosan dengannya! Semua gaya sudah kami coba. Aku benar-benar sudah bosan." Jelas, aku menafik. Berkata ini pun, aku sambil meredam emosi agar tak lirih dalam butiran air mata. Tapi aku harus mengatakannya agar hati senang. "Kamu bilang apa barusan, Cin?" Mas Yoga menatapku dengan wajah terkejut. Aku pura-pura tak melihat emosi di wajah Mas Yoga. Aku menatap Anita dengan sinis. "Silakan, nikmati dia sepuasnya. Aku sudah bosan dengannya," kataku sok tegar, melampiaskan rasa kesal yang sejak tadi mendesak-desak d**a. Mata memanas, tetapi coba terus menahan diri agar tak menangis. Aku tidak boleh terlihat rapuh di mata Anita dan Mas Yoha, suami pengkhianat. Katanya, sayang. Bilangnya, cinta. Ngakunya, tak bisa hidup tanpaku dan hanya mencintai saja, tapi kini mendua. "Aku nggak cemburu Mas mau ngapain aja sama dia!" Tanganku terkacung ke arah Anita. Masih dengan suara tegas aku menatap mata Mas Yoga yang justru nampak sedih. "Mas nggak usah ngerasa nggak enak, bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa seperti saat Mas Yoga bermain di belakangku! Aku nggak papa, sungguh!" Suaraku lantang dan tegas, tetapi mata ini justru terasa basah. Semakin memanas. Dan ingin menangis. Mas Yoga mendekat, memelukku erat. "Jangan bicara seperti tadi lagi, Dek, itu menyakitiku." Apa mas kira aku tidak sakit? Perempuan mana tak hancur hatinya berbagi kasih sayang? Istri mana tak lebur hatinya saat suami tercinta bilang, aku harus ikhlas karena sejatinya poligami tak dilarang dalam agama? Sakit, sungguh sakit. Pakai membawa-bawa agama pula. Ngaji saja nggak pintar. Aku membalas pandangan Mas Yoga, lalu berkata dengan jengkel. "Aku kan bicara realita, Mas. Sana, temani istri mudamu. Dia sedang hamil, anak kamu." Mas Yoga menatapku kaget. Mungkin tak menyangka aku tahu tentang kehamilan istrinya. Aku mencoba tersenyum, wajah kubuat seceria mungkin. Kudorong tubuh Mas Yoga dan Anita keluar kamar lalu mengunci pintu, lalu aku menangis terisak-isak. Tidak. Aku tidak boleh cengeng. Buat apa? Mas Yoga bersenang-senang, jadi, aku harus senang juga. Aku menuju ranjang, meraih ponsel, lalu menghubungi nomer Eni, semoga dia bisa membantu. Semoga .... "En, tolong aku," kataku setelah tersambung. Ide brilian yang tadi sempat kupikirkan setelah gagal bunuh diri, kini semakin menggebu. "Apa?!" kata Eni setelah kuceritakan ideku untuk membalas sakit hatiku pada Mas Yoga dengan detail. "Iya, En," sahutku sambil menyeka air mata. Aku punya cara jitu yang akan membuat Mas Yoga dan Anita menyesal seumur hidup. Maaf, Mas, tapi kamulah yang membuatku akan melakukan ide sinting ini. Kita lihat apa tanpa ada 'belalai' si Anita masih mau denganmu atau tidak. Karena 'belalai' itu adalah surga untuk perempuan di dalam pernikahan. Aku menatap gunting di meja dan tersenyum sendiri. Jangan lupa follow akunku lalu subscribe cerita ini biar selalu dapat notif UP. Apaaa yaa kira-kira yang mau dilakuin Bu Bidan? Ada yang tahu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN