Fergus bersama dengan anak-anak lain telah menyiapkan banyak hal untuk festival satu malam itu. Dibantu oleh Sarah, Fergus mampu merealisasikan semua yang ia pikirkan.
Reid Charles sendiri mengajak warga kota untuk mewujudkan ide Fergus yang cukup unik. Sama seperti Reid, sebenarnya mereka juga bertanya-tanya apa yang mendasari acara festival tersebut.
Reid Charles hanya menjawab seperti ini, "Seorang anak kecil, tidak, dua anak kecil telah membuka pikiranku. Kita mungkin terkucilkan di tempat ini, maka dari itu biarlah kita bersenang-senang tanpa memedulikan mereka yang berada di luar Simia."
"Kita hanya akan makan, mengitari api unggun, lalu menyaksikan apa yang anak-anak pertunjukan untuk kita. Pasti menyenangkan."
Kata "menyenangkan" tak pernah mereka dengar. Tentu banyak orang yang kaget.
Keputusan Reid Charles yang secara sepihak sedikit berani. Apalagi Deus Charles sedang tidak ada di Kota Simia. Bisa saja, ayah dan anak itu akan berdebat hebat ketika festival itu terwujud. Jika itu yang terjadi, maka bukan hal yang tak mungkin raja akan memerintahkan "pembungkaman" massal orang-orang Simia.
Raja di Kerajaan Meronia yang memerintah saat ini dikenal sebagai raja yang tiada ampun. Meskipun begitu, dalam tangannya, kerajaan ini tetap stabil dalam berbagai aspek inti kehidupan. Tak ada yang perlu khawatir dengan persediaan makanan atau pekerjaan.
Setidaknya asal mereka diam dan menurut semua akan tercukupi.
Akan tetapi, apakah hanya dengan diam dan menerima saja akan membuat seseorang berkembang?
Setidaknya, orang banyak memerlukan hal lain untuk lebih menghidupkan kehidupan mereka.
"Anakku juga mengikuti Fergus, aku masih belum tahu apa yang ia perbuat," sahut beberapa orang di kerumunan yang dikumpulkan Reid. "Tapi ia memintaku untuk berjualan sup kerang sampai malam."
"Benar," celetuk beberapa pria. "Anakku juga begitu. Ia mengatakan bahwa Fergus sedang menyiapkan pentas api unggun. Katanya orang dewasa juga harus ikut memeriahkan."
"Oh! Tarian api unggun, musik, dan makanan hangat!" seru beberapa pasangan muda. "Tidak ada yang lebih menarik daripada itu. Aku menyukai pemikiran Fergus! Kenapa kita masih berdiri di sini? Ayo segera ambil alih toko pasar kalian yang hendak tutup! Kita berpesta sampai malam."
Reid tersenyum. Ia tak perlu berkata banyak karena pada akhirnya banyak orang yang juga menantikan kesenangan itu. Jauh di dalam hati orang-orang Kota Simia pasti menginginkan kebebasan yang tanpa syarat penuh omong kosong.
Setidaknya malam ini mereka bisa melupakan kejadian berat pasca perang silam.
"Ah!" Reid teringat sesuatu. "Fergus bepesan pada kita, jika ingin menghadiri festival dengan baik, maka kita juga akan meninggalkan dengan baik."
"Setelah menikmati malam, kita juga harus bekerja untuk menjaga seperti semula supaya besok pagi tak menimbulkan pekerjaan yang lebih berat."
Semua orang mengangguk setuju.
Reid menoleh pada Matahari yang hampir terbenam. "Anak-anak bersiap menampilkan sesuatu di bukit. Kita juga harus memulai."
"Keluarkan semua persediannya! Anggur, bir! Minuman hangat dan makarel! Malam ini kita menikmati kebersamaan dan bersuka cita!"
"Ya!"
Semua bersorak senang. Terima kasih kepada Fergus, idenya telah menggerakkan banyak orang di satu kota.
Siapa bilang seorang anak kecil tak mampu mengubah cara pandang orang dewasa? Fergus adalah contoh nyata anak kecil yang bisa mengeluarkan isi hati dan keinginan terdalam seseorang.
[Aku menantikan saat dimana kau dewasa, nak. Akan jadi apa dirimu kelak?] Reid mengulum senyum. Ia berbalik lalu menghilang di tengah kerumunan.
***
"Ya, akhirnya selesai juga persiapannya!"
Fergus berseru senang. Ia meninju langit saking senangnya. Fergus berkeliling pantai kegirangan karena saat ini api unggun telah dinyalakan tak jauh dari pesisirnya. Pasar raya dibuka malam itu dengan meriah. Ibunya telah membantu banyak hal untuk menyiapkan kemeriahan yang berbeda dari biasa.
Hiasan kertas, hiasan kerang. Kerajinan tangan Fergus yang sejak dulu ia lakukan dipasang di luar. Dekorasi festival pun didapatkan. Tak kalah dengan Fergus, anak-anak lain yang memiliki beragam mainan rangkaian kerajinan juga ikut mengeluarkan karya mereka. Karya-karya mereka, baik untaian maupun pajangan, tertempel pada kios toko, tiang, dan tergantung antara toko satu dengan yang lain. Menghias bagian atas. Tak hanya hiasan biasa, mereka juga menciptakan penerangan yang mampu mereka pasang di atas langit-langit toko dan merangkainya menjadi panjang. Penerangan itu mereka bentuk bulat berongga dari rangka kawat dan kain, lalu di dalamnya menyimpan api.
Lagi-lagi Fergus yang memikirkan ide itu.
Dia sungguh cerdik. Tapi sebenarnya Fergus mendapat ide itu dari Sarah. Ibunya pernah menciptakan hal serupa dari sisa minyak ikan, membungkusnya dalam kotak dan menutupnya dengan kain. Itu menjadi penerangan dapur ketika malam. Dari situlah Fergus mendapatkan inspirasinya.
"Wah cantiknya!" gumam beberapa wanita. Menoleh pada Fergus, mereka langsung tahu siapa yang menciptakan semua keindahan itu. "Kau hebat sekali menyiapkannya di waktu yang sedikit, Fergus!"
"Ahaha!" tawa anak itu terdengar. "Aku hanya menciptakan dari sisa-sisa, Nona! Ibu pernah mengajarkanku!"
Fergus menepuk bahu Mary dan Rio. Lalu beberapa anak lain ia rangkul bersama. "Merekalah yang hebat karena sudah membantuku dengan cepat!"
Semua orang bangga dengan kecerdikan anak-anak kecil itu. Beberapa nyaris tidak percaya karena usaha mereka yang berawal dari buah pikiran menjadi seindah yang sangat ini mereka semua lihat. Itu menakjubkan, sungguh menakjubkan. Cahaya api yang terpancar dari dalam bola kain itu mampu menyaingi indahnya kelap-kelip bintang. Diikat, diuntai pada tali, cahaya itu persis seperti penerangan di benua Timur. Bagi mereka yang pernah berpetualang, cahaya itu menjadikan nostalgia tersendiri di dalam hati.
Bau makanan tercium. Aroma lezat mengundang selera merebak di udara. Ada ikan, cumi-cumi, gurita, kue kering, roti yang dibakar, minuman manis, minuman hangat, dan tentu saja bagi orang dewasa takkan lengkap tanpa anggur dan bir. Lengkap sudah.
Reid datang dari belakang mereka. Ia sudah selesai pula mengajak orang-orang di Kota Simia. Ia melipat tangan. "Kalian hebat. Fergus, aku benar-benar kalah. Keputusanku sangat tepat mewujudkan keinginanmu."
Mata Reid bercahaya mendengar pujian itu. Ia sangat tersanjung. Itu pujian yang dalam. "Wah, terima kasih Tuan Reid! Ini berkat semuanya mau melihat kebahagiaan!"
"Lihat!" Tunjuk Fergus pada kerumunan yang tersebar dari pasar hingga mengitari api unggun. "Semua orang tersenyum! Wajah mereka bahagia!"
Reid melihat banyak orang yang tertawa. Semuanya, semuanya tersenyum lebar. Beberapa mengitari api unggun dan menari meskipun sebenarnya pertunjukan yang disiapkan anak-anak belum ditampilkan. Beberapa yang lain membeli makanan ringan.
Mereka menikmatinya.
Kota Simia menjadi hidup.
Reid sungguh terharu karena seumur hidupnya, baru kali ini ia merasa sungguh hidup. Dia bahkan pernah menyesal telah tumbuh menjadi orang yang menakutkan di masa lalu.
Terutama ketika peristiwa itu.
"Nah sekarang bagaimana dengan urutan penampilannya?" tanya Reid penasaran.
Fergus tersenyum polos. Ia memindah jari telunjuknya dari kerumunan orang banyak menuju wajah Reid Charles. Tentu pria itu menaikkan alis, bingung.
"Nah, Tuan Reid yang tampil pertama!"
"A-apa?"
Fergus lalu menarik tangan kekar pria itu. Ia mengajaknya menuju api unggun.
"Tu-tunggu, Fergus!" protes Reid yang mulai gelagapan, "aku belum berpikir akan menampilkan seperti apa! Kukira aku terakhir!"
"Ya! Maaf menunggu lama!"
Fergus tak memedulikan suara Reid di belakangnya. Saat ini ia sedang berbicara dengan kerumunan yang mulai memadat di api unggun. Barisan depan duduk melingkar, sedangkan beberapa lapis barisan di belakang berkumpul tak beraturan, penasaran dengan Fergus.
Fergus menunduk kecil. Tangan kanannya ia letakkan menyilang d**a, sementara tangan kirinya ia tekuk di balik punggung. Darimana Fergus mempelajari etika itu? Jawabannya adalah Sarah. Ia sangat detail jika itu mengenai etika. Ia sudah membiasakannya pada Fergus sejak dulu.
"Terima kasih karena telah menghadiri festival sederhana ini! Saya Fergus, sangat senang karena kalian semua datang untuk membantu dan menikmatinya!"
Semua orang bersorak pada kata sambutan Fergus.
[Anak kecil itu bukan lagi pintar namanya. Ia sudah masuk ke dalam jenius. Mampu mengucapkan seperti itu tanpa bantuan orang dewasa, sebenarnya apa saja yang diajarkan Sarah padanya?] tanya Reid tak kalah kaget. Semua sikap Fergus sangatlah spontan. Mustahil anak kecil biasa dapat mengatakan dengan lantang.
Itu bukanlah keberanian biasa.
Sesuatu mengalir dalam darah Fergus. Entah itu sebuah harapan, semangat, atau murni bakat, tak ada yang tahu. Bahkan Fergus tak tahu. Itu hanyalah hasil dari orang-orang pilihan.
"Berikutnya kita akan mendengar sambutan dari Tuan Reid Charles! Beliau akan memberikan beberapa kata untuk kita semua!"
Siulan keras terdengar. Tepuk tangan meriah kembali mengisi keheningan. Atensi penuh pada Reid telah didapat. Sekarang tergantung bagaimana Reid menanggapi.
Terkadang meskipun sudah dewasa, sangat sulit menghadapi banyaknya pasang mata. Jauh di dalam hati, orang dewasa sebenarnya lebih kekanakan daripada anak-anak. Mereka harus melakukan banyak hal dengan persiapan mati-matian. Jika tidak, mereka takut dan dihantui kesalahan.
Ini yang terjadi pada Reid. Sekarang keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Ia ingin mengatai Fergus, tapi anak kecil sepolos itu tidak boleh mendengar protes tak masuk akal miliknya.
Mengepalkan tangan, Reid maju ke depan. Ia mulai menyusun kata-kata secara spontan.
[Apa yang akan dikatakan Fergus jika dalam posisi ini?] pikir Reid pelan tapi pasti.
[Sebelumnya Fergus mengatakan sesuatu padaku, itu.. ah! Aku tahu.]
Sekarang Reid Charles lebih tenang. Tangan kirinya menggenggam sarung pedang di pinggang. Memberinya sedikit keberanian.
Pemimpin kota tak boleh menjadi pengecut di hadapan anak-anak!
"Sama seperti yang Fergus katakan, aku berterima kasih karena kalian mau berkumpul di sini," kata-kata Reid tertata dengan rapi. Ia menyebut nama Fergus begitu jelas agar ia tahu apa yang akan ia katakan selanjutnya. Di sampingnya, Fergus memberikan tatapan penuh harap yang luar biasa. Mata anak itu lagi-lagi berbinar.
Bagi Reid, tatapan polos Fergus sebanding dengan tekanan. Jika saja anak itu bisa deaasa lebih cepat, Reid tak akan ragu mengatakan semua kekesalan kecil di benaknya.
"Festival ini janganlah kalian anggap sebagai festival."
Sebuah kalimat yang berbeda dari Fergus.
Reid berdeham. "Anggaplah ini sebagai perayaan makan bersama untuk meningkatkan kebersamaan. Dengan itu tak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Baik, hanya itu yang ingin kukatakan. Aku hanya ingin kalian semua tersenyum lebar seperti ini, bahkan ketika nanti semua telah usai."
"Nikmatilah."
Tepuk tangan kaki ini dua kali lebih keras dari sebelumnya. Reid kikuk, ia hendak pergi. Namun ketika Reid melangkah ke belakang Fergus, hendak keluar dari kerumunan, Fergus menahan lengannya.
"Apa itu tadi Tuan Reid? Anda yakin tidak melupakan sesuatu?" tanya Fergus lembut.
Anak itu, menakutkan.
"Nah, sekarang kita akan melihat tarian pedang milik Tuan Fergus!"
Tak ada yang lebih terkejut selain Reid.
Pria tua itu hanya mengeluarkan pedang dengan ragu dan berdiri mematung.
Fergus sudah menduga hal ini akan terjadi. Ia memberi kode pada anak-anak lain.
Musik terdengar.
Mata Reid membulat sempurna.
Ia tahu iringan ini!
Tanpa diminta lagi, Reid menari dengan pedangnya. Pedang keperakan itu ia ayunkan ke depan, ke samping, laku ke belakang. Reid menari dengan indah sampai banyak orang kehilangan kata-kata.
Setelah iringan selesai, Reid menutup tariannya dengan mengangkat pedang ke langit penuh bintang. Lagi-lagi sorakan terdengar keras. Deru ombak dipadukan dengan sorakan itu sangat menggugah jiwa.
Setelah itu, Fergus memandu segalanya. Anak-anak mulai saling menampilkan pertunjukan urut sesuai susunan yang dikatakan Fergus sebelum mereka tampil. Hebatnya lagi adalah banyak orang secara sukarela ingin mengisi pentas itu. Mereka yang hebat bercerita mulai bercerita panjang lebar hingga membuat banyak pendengar terkesima. Mereka yang mampu menari dan bermain musik secara spontan menari tanpa diminta.
Festival sederhana yang dipikirkan oleh Fergus sungguh lancar.
Malam ini menjadi malam penuh kenangan.
Namun, itu harus berakhir ketika Deus Charles tiba.
"Apa-apaan semua ini?!"
"Kalian bisa seenaknya mengadakan hal besar tanpa persetujuanku?!"
Neraka yang pertama telah datang untuk menghantui Fergus.
***