“Ah, pagi yang cerah!”
Fergus berlarian mengelilingi rumah kecilnya. Kakinya yang mungil melangkah dengan gesit. Anak laki-laki itu lalu menuju pintu depan, ia menuruni tangga dengan hati-hati dan menyapa anak-anak lain yang bermain di halaman. “Selamat pagi!
“Oh, Fergus!” Tawa mereka terdengar riang. Anak-anak menghampiri bocah bernama Fergus itu. “Sepatumu bagaimana?”
Fergus menggoyang-goyangkan jemari kakinya di tanah. Pasir pantai yang masih tercampur hingga di halaman rumahnya ia mainkan. Sesekali Fergus sengaja membenamkan jempol kakinya dalam pasir lembut itu. “Masih rusak! Mama sedang menjahitnya!”
“Aku nyaman tanpa sepatu!” sambungnya lagi.
Anak kecil yang lebih pendek dari Fergus menariknya keluar halaman rumah. “Ya sudah! Ayo main!”
Kota Simia, kota paling timur dari Kerajaan Meronia selalu menyambut pagi dengan aroma lautan. Bau amis ikan dan sisa-sisa jaring nelayan sudah biasa mereka cium dan mereka temukan. Tak jarang mereka juga menemukan kepiting berjalan hingga masuk ke dalam rumah. Itu hal yang sangat biasa.
Kapal-kapal datang dan pergi. Saat malam hari kapal berlayar dari Pelabuhan Simia. Ketika hari menyambut fajar, kapal-kapal kembali ke Pelabuhan Simia, membawa barang dagangan dari kota lain. Uniknya, kapal mereka tak pernah berhenti lama di Simia. Begitu barang dagang diturunkan, semua kapal langsung berlayar di sekitar bibir pantai, mengapung di arus yang lemah. Tak ada satu saja yang mau menambatkan kapalnya di Simia.
Fergus saat ini sedang mencari kerang. Cangkang kerang yang kosong ia kumpulkan hingga menumpuk begitu banyak dalam keranjang. Ibunya selalu mengingatkan agar tak menumpuk kerang di keranjang, apalagi itu keranjang untuk buah. Akan tetapi, Fergus tak pernah mau mendengarkan. Ia menyebut kerang-kerang itu sebagai koleksinya yang berharga.
“Fergus! Jangan bermain dulu, kau belum makan!”
Dari kejauhan, ibu Fergus berseru kencang. Ia mengejar anak itu sampai bibir pantai dekat pelabuhan, tempat dimana Fergus dan beberapa anak lain berada saat ini.
“Fergus!” panggilnya lagi.
“Aku belum lapar!” sahut Fergus dari jauh. Ia masih saja mengumpulkan kerang.
Ketika tangan Fergus meraih beberapa cangkang kerang di pasir, sebuah benda berkilau menarik perhatiannya. Fergus inisiatif menggali pasir sedikit demi sedikit lantaran benda itu terkubur sebagian. Setelah Fergus berhasil mendapati bentuk keseluruhan dari benda berkilau itu, ia justru memiringkan kepala.
“Pedang? Bukan, ini.. pisau?” gumamnya bingung. Benda berkilau itu ia amati tanpa berkedip. Fergus memperhatikan ukiran pada pegangannya. Simbolnya sangat indah. Apalagi pada ujungnya, ada sebuah batu yang mengkilap, batu berwarna merah. Fergus sendiri tak yakin pernah melihat pisau yang berhiasan seindah itu.
“Anak nakal!”
Begitu sadar dengan sebuah suara yang semakin keras di telinganya, Fergus menoleh. Anak itu berlari ketika ibunya datang menghampiri. Ia tertawa keras lalu melesat menjauh. Meskipun ia suka bermain, Fergus bukanlah tipe anak yang akan mengabaikan perintah ibunya. Bocah itu berlari menuju rumah dan melambaikan tangan. Ibunya yang masih di belakang hanya bisa menghela napas.
“Sifatnya itu.. sebenarnya mengikuti siapa, Nyonya...”
***
Fergus melirik ke ibunya. Saat ini mereka duduk berhadap-hadapan di ruang makan.
Ibunya benar-benar marah.
“Sudah kubilang, jangan main sebelum makan! Kenapa susah sekali menurut. Harus dipanggil dulu baru kau mau kembali, Fergus.”
Sarah menyodorkan semangkuk sup ikan. “Sarapan adalah yang utama!”
“Ya...” jawab Fergus pelan.
Sebuah fakta kecil, Fergus tahu ia bukan anak kandung dari Sarah, ibu asuhnya yang telah membesarkan dirinya. Perbedaan itu terlalu menonjol, Fergus bisa mengetahui dari sekali lihat. Di umurnya yang menginjak usia tujuh tahun ia sudah tahu. Apalagi, banyak pembicaraan tetangga mengenai asal-usul dirinya.
Rambut Sarah yang merah dan rambut Fergus yang hitam kelam. Perbedaannya terlalu mencolok. Sarah sendiri sudah memberitahunya sejak lama jika dirinya bukanlah anak kandung. Fergus menerima itu dan tetap menyayangi Sarah sebagai ibu.
Di sisi lain, Fergus kesulitan mendapat jawaban dari satu pertanyaan. Pertanyaan yang paling dalam dari semua pertanyaan lain, yaitu siapa orang tuanya. Sarah tak pernah memberitahu. Begitu Fergus menanyakan itu, Sarah selalu menghindar. Fergus bukan anak yang bodoh, dia tahu itu sesuatu yang Sarah tak ingin ceritakan. Namun sayangnya, Fergus itu terlalu baik, sehingga ia berpikir jika Sarah akan menangis kalau dirinya merengek minta jawaban. Ia percaya bahwa apa yang terjadi di masa lalu sangat membuat Sarah terpukul. Fergus hanya perlu bersyukur karena ibunya saat ini telah membesarkan dengan baik dan tidak perlu mengungkit yang telah berlalu.
“Kerang itu mau kau apakan?” tanya Sarah disela-sela Fergus menyantap makanan.
Sarah sedang mencoba untuk lebih mengetahui keinginan Fergus. Dia cukup pengertian karena keinginan anak-anak pastilah sederhana. Mereka mudah tertarik untuk hal-hal yang unik dan indah.
Anak itu tak langsung menjawab. Mengambil jeda beberapa detik, barulah Fergus membuka mulut.
“Untuk hiasan rumah!” katanya dengan riang. Senyum Fergus mengembang. “Ah, Ibu! Aku juga menemukan ini tadi!” Fergus mengeluarkan pisau berukiran indah itu dari dalam saku celananya yang cukup besar.
“Lihat pisau ini! Bentuknya bagus sekali!”
Sarah kaget. Matanya membulat sempurna. Ia berdiri dan cepat-cepat meraih benda itu dari Fergus, menjauhkannya.
“Ini.. belati,” gumam Sarah tak percaya dengan apa yang saat ini ia bawa, ukiran ini, sebuah simbol pada bagian bawah dan batu mulia di ujungnya. Sekali lihat saja Sarah tahu benda ini merupakan benda yang sangat berharga. Tatapan kembali berubah tajam, Sarah melirik ke arah Fergus. “Dimana kau menemukannya?”
Tidak mungkin seseorang memberikan benda berharga itu. Apalagi belati itu memiliki simbol keluarga bangsawan. Dari simbolnya saja Sarah sudah bergidik ngeri. Perkiraan pertamanya adalah benda ini terbawa oleh ombak yang cukup besar hingga terdampar di bibir pantai Simia.
Dan asal benda itu adalah dari salah satu kota besar Kerajaan Meronia. Kemungkinan besar ketika perang benda itu terhanyut.
Jika bisa, Sarah ingin menjauhkan Fergus dari segala hal di masa lalu. Akan tetapi, sepertinya takdir berkata lain. Menghela napas perlahan Sarah meletakkan belati itu di atas meja. Berikutnya ia memegangi kedua pundak Fergus, Sarah berjongkok untuk menyamakan tingginya hingga pandangannya saling bertemu dengan sorot polos milik Fergus.
“Fergus, mulai sekarang jauhi pelabuhan ya?” pinta Sarah hati-hati. Sebisa mungkin ia tak ingin memarahi Fergus. Anak itu harus diberi penjelasan agar mau mendengar kata-katanya.
“Kenapa?”
Dugaan Sarah selalu tepat. Fergus akan penasaran.
Sarah kembali menatap Fergus. “Benda yang kau temukan itu benda mahal. Tidak sembarang orang memilikinya. Belati ini akan ibu simpan, tapi lain kali jika kau melihat benda yang sama-sama unik dan indah terdampar, jangan mengambilnya. Untuk sementara Fergus, jauhi pelabuhan. Turuti ibu ya? Ibu hanya khawatir kau bertemu orang jahat.”
Fergus mengangguk. Ia menyeringai lebar. “Ya! Lagipula, orang-orang di pelabuhan selalu terlihat buru-buru. Ibu, kenapa kapal mereka tak pernah tertambat untuk waktu yang lama? Selalu pergi setelah mengantar banyak barang dan tong ikan.”
“Ah itu..” sahut Sarah sembari berdeham. “Karena kota kita menarik! Kalau mereka berhenti untuk waktu yang lama, bisa-bisa mereka tak mau bekerja lagi dan memilih berlibur! Berjemur di pantai itu impian banyak orang.”
“Tapi, Ibu..” gumam Fergus lagi, berpikir keras, “Simia tak pernah kedatangan orang baru. Aku sudah berkeliling, tapi kota kita ini sangatlah sepi sampai aku menghapal siapa saja yang ada di sini. Mulai dari Paman Hyke, Rio, Mary, Nenek Sola, lalu ibu-ibu di pasar raya. Selain awak kapal yang hanya menurunkan barang, aku tidak pernah melihat orang asing.”
“Benar,” tukas Sarah. Ia menjentikkan jari. “Pasti karena sibuk. Lalu, Simia jika dibandingkan Hacres, atau Syre, tidak ada even besar di sini. Orang-orang akan berdatangan jika ada festival seperti di kota lain.”
“Benarkah?” tanya Fergus bersemangat. Matanya berbinar-binar. “Ibu tahu bagaimana festival di kota lain? Apa indah? Wah, aku mau ke sana!”
“Biaya naik kapal cukup mahal, Fergus,” kekeh ibunya, “akan sulit untuk pergi ke sana.”
“Tapi, Paman Hyke juga punya kapal, kita bisa meminjamnya!”
“Itu kapal untuk mencari ikan, kalau kita meminjamnya, Paman Hyke tak bisa bekerja.” Lagi-lagi Sarah mematahkan pemikiran cemerlang Fergus. Sebenarnya Sarah penasaran mengapa Fergus bisa mengetahui banyak hal dengan cepat serta mencari pemecahan masalah dengan mudah. Sepertinya itu faktor lain yang sampai kapanpun tak bisa Sarah mengerti karena ia hanya ‘orang asing’.
[Benar, orang rendah sepertiku bisa tahu apa? Fergus sejak awal memiliki garis keturunan emas.] Sarah berbicara dalam hati.
[Ketika saatnya tiba, ya? Nyonya, ia bahkan sudah mengetahui sejak awal melalui instingnya. Aku tak bisa apa-apa selain mengiakan fakta kecil di masa lalu demi menutupi sisa yang lain.]
Sarah menghela napas. Ia berpikir untuk mengalihkan pembicaraan. Ketika Fergus bertanya akan hal-hal rumit, Sarah cenderung melemparnya kembali pada fakta bahwa ia dan Fergus tak ada hubungan darah, itu senjata bermata dua bagi Sarah. Ia yang tak mudah berbohong hanya menunggu waktu agar Fergus siap menerima semua. Hal rumit jika ditimbang dengan hal rumit akan menimbulkan ketiadaan atau keseimbangan. Setidaknya, untuk saat ini.
Lagipula suatu saat, ia tetap harus mengatakan semua. Itu hak Fergus untuk mengetahui. Yang menjadi titik berat bagi wanita itu hanya rasa iba. Sarah mudah tenggelam dalam rasa takut ditinggalkan seorang diri.
“Fergus, apa kau masih ingin tahu? Siapa dirimu.”
Kepala Fergus terangkat. “Tapi, Ibu, aku sudah tahu hanya dengan melihat, jadi tak usah. Karena mau seperti apa, ibuku tetap ibu seorang!”
“Ya,” sahut Sarah tak bisa berkata-kata lain. Ia mengusap air mata yang hampir menetes.
“Ibu tidak apa-apa?” Anak itu memeluknya. Fergus sangatlah peka pada suasana hati Sarah. “Aku takkan main lagi di dekat pelabuhan! Janji! Terus tentang kapal itu aku tak jadi tertarik! Merangkai kerang jauh lebih bagus!”
“Maaf. Ibu tak bisa.” Sarah kini membenamkan wajah di pundak Fergus.
“Tapi ibu berjanji, kelak ketika kau sudah lebih mengerti di sekitarmu, barulah.. ibu akan bercerita.”
Fergus terdiam. Anak berusia tujuh tahun itu sebenarnya tergelitik untuk mengetahui banyak hal dimulai dari keluarganya sendiri. Tapi karena Sarah berjanji mengatakan ketika dirinya sudah lebih tahu, apapun itu, mengenai hal yang sedang terjadi di sekitarnya, Fergus akan bertanya lagi di lain waktu.
Sekarang ia hanya perlu mencoba mengenal Kota Simia, kota kelahirannya.
“Ibu, apa ibu mau ke pasar?” tanya Fergus lagi. Ia secara tak langsung mengajak ibunya ke sana. “Makan siang nanti, aku ingin cumi-cumi!”
Sarah tersenyum kecil. Ia melepas rangkulannya pada Fergus. Benar, harusnya begitu. yang terjadi di masa depan biarlah terjadi nanti! Saat ini adalah waktu untuk menghadapi apa yang ada di depan mata sebagai tugas dan kewajiban seorang ibu.
“Cumi-cumi? He.. tapi, ibu maunya makan sayur-sayuran,” pikir Sarah memprotes. Ia tersenyum menggoda anaknya itu. “Makan makanan laut pagi, siang, malam, itu tidak baik. Ah! Ibu juga mau membeli beberapa roti! Pasti enak juga kalau ditambah selai kacang atau selai blueberry. Fergus mau?”
Fergus melipat tangan di depan d**a, bibirnya manyun. “Cumi-cumi enak juga! Aku mau cumi-cumi itu dibakar, pasti aromanya sangat enak! Tak mau sayur! Pahit!”
“Tapi, sayurnya tomat dan wortel, itu tidak pahit!”
“Pokoknya cumi-cumi!”
Sarah terkekeh. Fergus selalu mendebatnya ketika mengangkat topik bahan makanan. Anak itu juga punya ketertarikan dalam hal memasak. Entah mengapa, fakta kecil itu membuatnya nostalgia pada seseorang di masa lalu.
“Ya sudah! Cumi-cumi ya cumi-cumi!” seru Sarah mengalah. Ia berkacak pinggang. “Tapi cuminya dicampur sayur! Kita tumis lalu masukkan ke dalam roti! Roti isi cumi!”
“Ibu, jangan aneh-aneh!” pekik Fergus hampir jijik membayangkan rasanya. Tapi detik berikutnya ia kembali berpikir. “Tak ada salahnya dicoba, Ibu! Menarik sekali! Baiklah, aku yang bawa keranjangnya ya, Ibu!”
Mereka tertawa lepas bersama. Hari itu, keduanya masih diberikan kebahagiaan sebagai kekuatan untuk menjalani waktu berat yang menanti mereka di depan.
***