Zia cemberut digoda Risman.
"Aku jatuh cinta betulan nih ke Pak Tandi!" Ancam Zia pada Risman. Zia merajuk manja penuh godaan. Memang begitulah gaya menggemaskan Zia yang disukai Risman.
"Jangan dong! Kalau jatuh cinta betulan, nanti cinta Zia di hati aku bagaimana dong?" Risman bicara sambil meraba dadanya pelan.
"Zia tidak mungkin suka pada Pak Tandi, Sayang. Yang ada di hati Zia hanya Paman Risman." Risman meyakinkan Zia.
"Siapa tahu tak terduga, Paman." Zia berkata andai benar.
"Pak Tandi aku rasa orang yang setia. Tidak mungkin dia ada rasa sama Dila. Istrinya aja jauh lebih cantik dari Dila. Karena itu aku yakin Pak Tandi tidak mungkin suka sama dia." Risman sangat yakin akan hal itu.
"Yang suka kan Pak Tandi, bukan Paman Risman." Zia menatap Risman. Risman tertawa dengan nyaring. Mendengar Zia merajuk asik juga menurutnya.
"Zia sukanya sama aku aja jangan sama Pak Tandi. Kalau sama Pak Tandi nanti aku rusak motormu." Risman mengancam Zia.
"Ih tanda apa tuh? Tanda sayang, atau tanda cemburu?" Tanya Zia.
"Nggak usah dibahas Sayang." Risman masih meneruskan suapannya.
"Menurut aku Pak Tandi itu cocok kok dengan Dila." Zia jadi membayangkan andai Pak Tandi nikah beneran dengan Dila. Menurutnya meski Pak Tandi usianya jauh lebih tua tapi ganteng dan gagah. Istrinya juga mungkin suka dengan Dila.
"Itu karena kamu memang suka yang selera tua macam aku. Usia kita saja sudah jelas hampir selisih dua kali lipat." Kata Risman mengingatkan Zia akan selisih usia mereka berdua.
"Aku penasaran loh ingin tahu gimana isi hati Pak Tandi." Zia penasaran benar apa yang dirasakan Pak Tandi sesungguhnya pada Dila sekarang ini.
"Hati seorang lelaki biar jadi rahasianya sendiri. Jika memang ada jodohnya pasti akan bersama juga, Sayang." Risman berkata enteng saja. Bagi Risman keinginan lelaki adalah kodratnya. Tak ada manusia yang bisa mencegahnya.
"Dila kasihan ya. Semoga Dila bahagia hidupnya." Zia memikirkan Dila.
"Doa kan saja yang terbaik. Ini nikmat sekali. Acil ini memang pintar memasak." Risman memuji masakan Acil. Acil ini memang sudah dua tahun bekerja di rumah Nini. Dulunya bekerja disebuah rumah makan. Karena Acil sakit dan tidak bisa bekerja terlalu lelah jadi pindah kerja menggantikan Kia yang nikah untuk menemani Acil satunya.
Zia tidak berani banyak makan. Rasanya memang enak tapi pedasnya minta ampun. Zia makan seperlunya saja. Jangan sampai ia kepedasan nantinya bisa bahaya akibatnya. Bagi Zia memperhatikan Risman makan saja sudah kenyang rasanya. Risman begitu bersemangat menikmati hidangan diatas meja. Seakan tidak ada kekurangannya.
"Kenapa berhenti, Sayang." Risman menatap Zia yang mencuci tangannya.
"Sudah kenyang. Tidak muat lagi." Zia mengusap perutnya.
"Aku habiskan semua ya?" Tanya Risman menunjuk semua yang ada dimeja.
"Habiskan saja. Aku mau rebahan sebentar. Kalau ketiduran bangunkan aku ya." Zia berdiri dari duduknya. Lalu melangkah ke ruang belakang. Zia mengambil tikar untuk berbaring beserta bantal dan guling. Kemudian ia letakkan di lantai tak jauh dari tempat Risman duduk. Ia pergi menggosok gigi sebentar kemudian kembali lagi setelah selesai.
"Bangunkan aku nanti ya."
"Iya. Tidurlah."
"Terima kasih." Zia berbaring, matanya terpejam. Sebentar saja sudah tak terdengar lagi suaranya. Risman tersenyum menatap gadis kesayangannya. Gadis yang sekian tahun ia cinta dengan sepenuh jiwa, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja.
*
Hari Minggu Risman ijin pada Kai dan Nini untuk pulang ke rumah orang tuanya. Risman sudah mengatakan pada Zia ingin bertemu dengan adiknya. Risman janji bertemu dengan adiknya di restoran yang tidak begitu jauh dari rumah. Rumah makan yang menyediakan nasi kuning, lontong masak habang, ketupat Kandangan. Risman naik motor ke sana sekitar pukul tujuh pagi. Adiknya juga berangkat pukul tujuh pagi.
Risman mampir ke rumah Zia dulu. Pamit pergi ke rumah orang tuanya. Tenyata Zia belum bangun. Hanya orang tua Zia yang sudah bangun. Zia tidak bangun karena malam tadi sakit perut saat datang bulan.
"Biar saja tidak usah dibangunkan, Bang. Titip salam saja, minta tolong beritahu aku ke rumah Ayah, Bang." Risman berkata lembut pada El.
"Oh ya, sudah. Hati-hati ya, Man."
"Ya. Aku pergi, Bang. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Risman membawa motornya ke luar dari halaman rumah El dengan perasaan tenang karena sudah pamit pada gadis tercinta.
Risman tiba di rumah makan mereka janji bertemu. Ada tiga orang adiknya yang kembar ada di sana. Satu orang pria besarnya sama dengan Risman, dan dua orang wanita tubuhnya jauh lebih kecil. Lebih besar dari Zia, hampir mirip Rima. Ketiga orang itu mencium telapak tangan Risman. Setelah mereka berkumpul semua sepakat makan ketupat Kandangan. Tenyata tadi adik-adik Risman sempat makan serabi kuah gula.
"Ada yang ingin Abang tanyakan kepada kalian. Terutama kepada para cewek." Risman memulai misi awalnya. Misi yang menjadi tujuannya.
"Ada apa, Bang?" Tanya salah satu adik cewek Risman.
"Abang mau tanya, benar tidak kalian berdua ada hubungan cinta dengan saudara kembar Shana?" Rusman bertanya dengan tatapan jelas mengarah kepada kedua gadis itu. Dua gadis itu saling bertukar pandangan. Lalu kemudian sepakat menatap ke arah abang mereka.
"Iya betul, Bang. Tapi Bapak dan Ibu belum ada yang tahu." Salah satu menjawab pertanyaan Risman.
"Kenapa Bapak dan Ibu tidak kalian beritahu?" Risman menatap lebih teliti pada kedua adiknya itu.
"Kami takut Bapak dan Ibu tidak setuju."
"Usia kalian sudah mencukupi. Kalau kalian memang punya niat tulus untuk hal itu, kalian bicarakan saja dengan bapak ibu." Risman memberi saran pada kedua adiknya. Risman memang ingin kedua adiknya kuliah sampai sarjana. Tapi kalau punya niat untuk menikah, tentu tidak harus ditunda jika memang sudah merasa siap. Apalagi si pria sudah mencukupi umurnya. Bahkan sudah punya usaha yang bisa dikelola.
"Kami takut tidak direstui." Wajah adik Risman tampak tertunduk dalam.
"Orang takut itu suatu yang wajar. Tapi bukan berarti halus ditolak. Kalau hati kecil kalian menginginkannya lakukan saja. Beri penjelasan dan pengertian pada orang tua, jangan hanya kalian pendam sendiri saja." Risman ingin membuka pengertian pada pikiran adiknya. Bukan hanya mengalah tanpa usaha.
"Bicaralah pada orang tua, beri mereka pengertian. Nanti aku akan membantu sebisa aku. Sehingga apa yang menjadi niat kalian tercapai. Kalau kalian bahagia tentu kita semua pasti akan bahagia. Siapa yang tidak bahagia melihat saudaranya bahagia? Kita semua pasti akan bahagia." Risman mencoba memberi pengertian kepada adik-adik tersayangnya.
"Baik, Bang. Nanti kami akan bicara dulu dengan Abang-abang. Kalau Abang-abang sudah mantap keputusannya, kami akan bicara dengan ibu dan Bapak." Salah satu adik Risman memutuskan hal itu.
"Itu lebih baik. Kalau perlu cepat katakan secepatnya." Risman mengingatkan.
"Tidak apa misalkan lebih dulu kami dari Abang nikahnya?" Tanya adik yang satunya.
"Aku dan Zia akan menunggu waktu yang tepat. Kalian lebih dulu tidak apa." Risman memberi kepastian kepada kedua adiknya. Adiknya menarik nafas lega.
"Terima kasih, Bang. Sampaikan juga terima kasih kami pada Zia tersayang," ucap adik Risman. Bukan hanya Risman yang sayang sekali pada Zia, tapi saudara-saudara Risman juga sayang pada Zia.
*