Perjalanan pulang bersama Ami, cukup menyenangkan. Dia terlihat ceria dan tidak henti menyanyi, sampai kami tiba di depan pintu rumahnya.
"Loh, baju Ami kenapa?" tanya Mbak Winda, begitu melihat Ami yang tidak mengenakan seragam. Dia tidak begitu senang melihatku, dan dengan terang-terangan menunjukkan ekspresi jengah.
"Seragamnya basah. Karena takut masuk angin, jadi kugantikan dengan baju biasa," ujarku seraya memberikan tas sekolah Ami dan kresek berisi baju Ami yang basah.
Gadis kecil itu mengeratkan pegangan pada tanganku, seolah enggan berpisah.
"Ya, sudah. Ami masuk," ujarnya tanpa ucapan terima kasih. Dia pun segera berbalik masuk ke rumah, mengabaikan aku yang masih berdiri di depan pintu bersama Ami.
Meski mendapat perlakuan demikian, aku tidak peduli. Segera aku berlutut mensejajarkan pandnagan mata dengan Ami. Bagiku, dia yang terpenting sekarang.
"Ami masuk dulu ya, Bu Fira harus pulang. Besok kita ketemu lagi di sekolah," kataku padanya pelan-pelan.
Ami menggeleng, dan memegang tanganku dengan kedua tangannya.
"Nggak mau, Ami mau sama Bu Pia. Bu Pia di sini saja, temani Ami," rengeknya.
Waduh! Gimana ini?
"Bu Fira harus pulang, ganti baju, dan bersih-bersih. Ami juga, makan siang terus bobok siang," ujarku mengalihkan perhatiannya.
"Nggak mau, pokoknya nggak mau, huwaaaaaaaa! Bu Piaaaaaa!" Seketika itu tangisnya menggelegar.
Jujur saja aku auto panik. Khawatir nanti Mbak Winda menyangka yang bukan-bukan.
"Loh, Ami jangan nangis dong, besok kita ketemu.lagi di sekolah ya," bujukku dengan berusaha tetap tenang.
Ami masih dengan aksi tantrumnya, dan justru sekarang dia malah duduk di lantai sambil menendang-nendangkan kakinya.
Waduh gawat ini.
Seperti dugaanku, Mbak Winda segera menghampiri.
"Loh, kenapa Ami?" teriaknya histeris. "Kamu apakan dia!" bentaknya padaku, seraya berusaha merengkuh Ami. Namun gadis ke jl itu malah berontak dan mendorong Mbak Winda.
"Mau sama Bu Piaaaaaaa! Huwaaaaaaa!" teriak Ami lagi yang kemudian menarik-narik tanganku.
Astagaaaa, anak ini.
"Pssst, Ami, diam dulu dong. Kalau Ami teriak-teriak begini bagaimana bisa dengerin Bu Fira?" bujukku.
"Nggaaaakkk mau! Huwaaaaaa! Bu Pia ga boleh pulaaaang!" teriaknya lagi lebih histeris.
"Aduuh, kamu apakan dia? Pokoknya aku gak mau tahu, bikin dia diam. Kalau nggak, kulaporkan kamu sama Nyonya Besar!" ancam Winda yang terlihat frustrasi. Dia segera berdiri dan berkacak pinggang.
Sebenarnya, aku ingin menerapkan metode ignoring. Yaitu membiarkan anak tantrum yang sedang marah-marah sampai selesai. Namun melihat sikap Mbak Wind ayang langsung terlihat panik dan histeris. Tentu metode itu tidak akan berhasil. Jadi, aku terpaksa menuruti kemauan Ami, untuk saat ini.
Aku pun duduk di lantai, membersamai Ami. Kemudian kuelus kepalanya dan mengangkatnya ke pangkuanku. Dia tidak menolak saat aku melakukan itu. Kemudian kupeluk dia erat-erat. Suara tangisnya mulai reda dan gadis kecil itu membenamkan wajahnya serta balik memelukku.
Kuurai pelukan, kemudian kudongakkan wajahnya agar tatapan mata kami bertemu. Aku tersenyum seraya mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Ami diam dulu ya, Bu Fira mau ngomong," ujarku meminta persetujuan.
Dia mengangguk pelan, meski dari bibirnya masih terdengar isakan.
"Oke, Bu Fira temani Ami makan siang, tapi janji. Setelah itu Ami bobok siang ya?" pintaku dengan suara rendah.
Dia diam tidak menjawab.
"Kalau Ami tidak mau, nanti badannya capek. Bisa sakit," ujarku lagi. "Gimana, mau ya?"
Ami mengangguk.
"Oke, sekarang kita masuk, dan cuci tangan dulu," kataku padanya.
Ami mengangguk. "Ami mau sama Bu Pia," ujarnya lirih.
"Iya. Ayo masuk sama-sama." Aku pun menurunkan dia dari pangkuan, kemudian berdiri. Gadis kecil itu kembali meraih tanganku dan menyeretku masuk.
Mbak Winda masih menatapku dengan pandangan tidak suka. Namun, dia tidak mengatakan apa pun.
"Misi, Mbak," pamitku seraya melewatinya. Baru kali ini aku masuk lewat pintu depan. Ruang tamu ini begitu luas, tertata sangat rapi dan memiliki furnitur mewah. Dindingnya dilapisi wallpaper bernuansa emas, dan jyga ditempeli foto - foto berukuran besar yang dibingkai pigura.
Mataku terpaku pada satu sosok di foto paling besar itu. Seorang wanita berambut ombre dengan tubuh semampai yang dibalut gaun pengantin bergandengan dengan Papanya Ami yang mengenakan jas hitam. Keduanya terlihat begitu serasi.
Pasti itu Mamanya Ami.
"Ayo Bu Piaaaa," kata Ami yang menyeret tanganku.
"Iya bentar. Itu Mama Ami?" tanyaku sambil menunjuk foto itu.
"Iya, Mama," katanya singkat. Seolah wanita itu tidak begitu penting baginya. "Ayo Bu Pia, cepaaat. Kita ke kamar, Ami mau main sama Bu Piaaaa."
Aku pun berjalan kembali, mengabaikan rasa penasaran yang berkecamuk di d**a.
*
Sebenarnya, aku sungguh tidak nyaman berada di rumah Ami. Apalagi, dia seperti membuatku menjadi bagian dari keluarga dan memperlakukanku seolah kami telah mengenal bertahun-tahun. Salah-salah Mbak Winda akan menganggap aku merebut Ami dari asuhannya.
Sedari tadi, dia tidak berhenti mengawasi ku. Mengikuti kemana aku dan Ami pergi. Risih banget pokoknya. Syukurlah, setelah makan siang dan puas bermain, akhirnya Ami tertidur juga.
Setelah merapikan selimut gadis kecil itu, aku pun berpamitan pulang.
"Mbak, saya tinggal dulu ya, Ami sudah tidur," kataku.
"Ya. Lain kali nggak usah diantar pulang. Biar Ami sama neneknya saja. Jadi repot ada kamu di sini," katanya ketus.
"Maaf, Mbak. Tadi Bu Nurita yang telepon saya untuk mengantar Ami pulang," ujarku menjelaskan. Pengennya kutambahin, 'bukan aku ya yang pengen nganter dia' tapi nggak jadi.
"Oo, gitu. Yaudah sana buruan pergi. Ntar kamu lama-lama di sini, Ami keburu bangun," usirnya.
Aku mengangguk sopan, kemudian berjalan keluar kamar Ami. Alhamdulillah, lega rasanya. Setelah ini aku bisa mandi dan istirahat.
Dengan langkah ringan aku menyusuri balkon lantai dua dan keluar lewat pintu samping, agar lebih cepat turun ke garasi. Pakde pasti sudah menungguku di sana. Namun belum sempat aku mencapai pintu, nada dering panggilan telepon menghentikan langkahku.
Layar itu menampakkan tulisan, 'Pak Hariz Ami is calling'.
"Aduh, ada apa lagi sih ini?" rutukku.
Namun, tak urung juga kugeser tombol terima. "Halo, assalamualaikum?" sapaku.
"Bu Fira, ini Hariz," ucapnya dari seberang. Terdengar suara bising kendaraan sebagai begronnya.
"Iya, Pak," jawabku singkat.
"Anda masih di rumah saya, kan?" tanyanya lagi.
Hah, bagaimana dia bisa tahu?
"Emm, iya Pak. Si Ami sudah tidur, jadi saya mau pulang. Tadi sudah saya temani makan dan main," jelasku, sambil melangkah perlahan menuruni tangga.
"Jangan pulang dulu. Tunggu saya di rumah. Ini saya sudah dalam perjalanan ke bandara," katanya.
"Eh, emmm, tapi Pak ...."
"Sudah dulu ya, sampai ketemu nanti," tukasnya, lantas sambungan telepon pun terputus.
Langkahku terhenti di tengah tangga, kemudian kupandangi layar yang sudah kembali ke wallpaper kunci.
"Aduh, bagaimana ini?" kataku pada diri sendiri. Rasanya gak enak mau balik.ke dalam, apalagi tadi sudah pamitan sama Mbak Winda. Tatapan matanya yang tajam, bikin aku gak nyaman. Belum lagi ini baju kerja rasanya sudah lengket di badan. Pengen ganti dan rebahan. Oh, iya. Belum shalat Zuhur pulak. Di rumah Ami, juga tidak terlihat ada mushala, atau aku belum tahu tempatnya ya?
"Kenapa Mbak?" sapaan Pak Dewo mengagetkanku.
"Eh, anu, Pak. Itu, saya mau pulang. Si Ami sudah tidur. Tapi barusan Pak Hariz telepon, saya di suruh nunggu dia sampai rumah. Bingung saya Pak, mana gak bawa baju ganti pula," keluhku terus terang.
"Ya sudah, begini saja. Saya Antar Mbak Fira pulang ambil baju, terus habis itu langsung balik ke sini lagi. Toh, Bos Hariz masih dalam perjalanan, dan mumpung Non Ami-nya bobok siang. Bagaimana kalau gitu?" kata Pak Dewo memberi solusi.
"Wah, setuju saya. Kalau gitu saya pulang sebentar ya Pakde," ucapku sambil berdiri.
"Iya, ayo saya antar," kata Beliau sembari melangkah turun kembali. Aku pun mengikutinya dengan hati yang ringan.
Kadang-kadang memang gitu, masalah yang sebenarnya simpel, jadi ruwet kalau dipikir sendiri. Apalagi pas capek, duh, makin bikin empet. Untunglah ada orang seperti Pakde yang bisa diajak diskusi. Alhamdulillah, solusinya juga oke banget. Jempol buat Pakde!
...
bersambung ....