Safira - Panggilan Mendadak

1142 Kata
"Yang sudah selesai, boleh cuci tangan. Antri, ya!" kataku pada anak-anak. Kami baru saja membuat kolase dari biji-bijian. Sehingga tangan-tangan mungil itu banyak yang belpotan lem. Rutinitas mengajar hari ini cukup lancar. Tidak ada kendala yang berarti, sampai ponsel yang kukantongi bergetar. Setelah mengecek id nomor yang belum tersimpan itu, perasaanku jadi tidak enak. Entah kenapa langsung saja kugeser tombol terima. "Assalamualaikum," sapaku. "Ini Bu Fira kan?" tanya seorang perempuan dari seberang, tanpa basa basi. "Iya, benar. Saya bicara dengan siapa ya?" tanyaku penasaran. "Saya Nurita, neneknya Ami." Astaga, Bu Nurita sampai telepon langsung padaku. Pasti ada yang tidak beres. "Oh, Maaf saya tidak tahu. Selamat Pagi, Bu," sapaku formal, karena jam dinding baru menunjuk pukul sepuluh lewat lima belas menit. Satu jam jagi, tugasku mengajar di sekolah akan berakhir. "Tidak apa - apa," jawabnya dengan nada tegas seperti biasa. "Nanti pulang sekolah, Bu Fira ikut Ami pulang ke rumah. Dia mulai pagi tadi merajuk minta ditemani Anda di rumah, sampai Papanya kembali. Saya ada urusan penting hari ini, jadi tidak bisa menemaninya." Nah kan! Aduh, Ami, kenapa sih kamu kok manja banget gini? Padahal pagi tadi pas diantar sama neneknya, sikapnya biasa saja. "Oh, iya Bu," jawabku singkat. "Oke, clear ya. Saya pantau nanti Anda begitu sampai rumah. Selamat siang," katanya sebelum menutup telepon. "Siang—" perkataan ku menggantung. Dengan gamang kupandnag layar yang sudah kembali normal. Aku langsung memasukkan ponsel kembali ke saku, kemudian membantu anak-anak membereskan peralatan. Sebentar lagi bel.pulang akan berbunyi. "Nah, siapa yang mau pulang?" tanya Bu Cahya dari depan kelas. "Sayaaaaa," ucapku bersamaan dengan anak-anak. "Kalau begitu, dirapikan duduknya, dilipat tangannya, lalu kita berdoa," lanjut Bu Cahya . * "Si Ami tidak dijemput?" tanya Bu Cahya begitu melihat tidak ada seorang pun yang mencari gadis kecil itu. Kami berdua telah berjaga di pintu gerbang keluar, menunggu orang tua yang menjemput putra putrinya masing - masing. Dari daftar seluruh murid kelompok A, tinggal Ami saja yang belum dijemput. "Dia pulang sama aku," kataku pada Beliau. Langsung saja tatapannya berubah padaku. "Sama kamu? "Iya, Bu Nurita tadi telepon, minta Ami diantar sampai rumah," jawabku terus terang. "Oo, gitu," responnya singkat. "Ikut rapat dengan Bu Restu nggak?" "Nah, itu dia. Saya jadi bingung juga," aku mengangkat bahu. Setiap akhir Minggu, kami memang ada rapat rutin evaluasi. "Kamu izin aja, nggak apa-apa. Bilang ke Bu Restu, nanti pasti dibolehin," kata Bu Cahya lagi. "Iya, Bu," jawabku singkat, begitu melihat Ami berlari menghampiri. "Bu Piaaaaa, ayo kita pulang!" kata gadis kecil itu setelah jarak kami cukup dekat. "Iya. Ami ikut Bu Pia sebentar ya, mau.pamit sama Bu Restu dulu," jelasku sambil membungkuk. Ami mengangguk. "Saya duluan ya, Bu," pamitku pada Bu Cahya. 'Iya, silakan." Aku tersenyum pada Ami dan menggandeng tangannya. Kami pun berjalan bersama menuju ruang kepala sekolah. "Ami tunggu di sini, ya. Bu Pia pamit dulu," kataku. Gadis kecil itu mengangguk, kemudian melepas tanganku. Setalah mengetuk pintu, aku pun masuk.ke ruangan Bu Restu. "Assalamualaikum," sapaku. "Waalaikum salam," jawab Bu Restu yang masih sibuk dengan monitor.komputer dan keyboard. "Kita mulai rapatnya sepuluh menit.lagi ya," katanya. "Emm, maaf sebelumnya Bu. Sepertinya saya tidak bisa ikut rapat hari ini.Bu Nurita menelepon, dan menyuruh saya mengantarkan cucunya pulang ke rumah. Jadi saya mohon izin," pamitku sopan. Bu Restu seketika mendongak, lalu memperbaiki kacamatanya. "Bu Nurita? Nenek Amy?" "Iya Bu." "Hmmm. Baiklah, tapi tolong Minggu depan jangan sampai tidak ikut lagi ya," kata beliau. "Iya, Bu. Saya permisi. Assalamualaikum." "Waalaikum salam." Lantas, Bu Restu sudah kembali berkonsentrasi ke layar monitor. Aku bergegas keluar ruangan itu, tapi tidak menjumpai Ami di sana. Kemana itu anak ya? Padahal tadi kusuruh menunggu di sini, tapi bangku panjang di depan ruang kepala sekolah itu pun kosong. Suasana lengang sepulang sekolah, membuatku sedikit khawatir. Hanya tersisa sedikit siswa kelompok B yang belum dijemput. Akhirnya aku bergegas ke halaman, yang juga merupakan tempat bermain. Pasti Ami pergi ke sana. Dia tidak terlihat di beberapa wahana. Aku pun mulai panik. "Mas Bima, kelihatan Ami nggak?" tanyaku pada seorang siswa kelompok B yang kebetulan masih bermain ayunan. Di tangannya terdapat wafer coklat yang baru digigit. "Dia ke kolam, sama Reno," katanya sambil menunjuk ke arah kanannya. "Oh, terima kasih ya," ucapku seraya mengelus kepalanya. Setelah itu aku segeraenuju kolam ikan yang letaknya berada di sisi kanan halaman sekolah. Memang posisinya agak menjorok ke dalam, sehingga tidak terlalu kentara dari sini. Kolam ikan yang tidak terlalu luas itu memang posisinya menempel di tembok pagar samping, yang juga berfungsi sebagai tebing buatan tempat mengalirkan air terjun. Ada sebuah jembatan kayu yang melengkung aestetik, melintasi kolam itu. Ujungnya berakhir di depan sentra seni. Tempat menyimpan semua peralatan musik dan kesenian. Di sisi kirinya, terdapat pohon jambu kristal yang cukup rimbun. Sehingga, membuat kolam itu sedikit tertutup dari pandangan. "Aaarrrgghh!" terdengar jeritan dari arah kolam, membuat jantungku hampir berhenti berdetak. Aku berlari mendekat, dan cukup syok melihat Ami serta Reno telah tercebur di kolam yang airnya hanya setinggi lutut orang dewasa itu. "Ami, Reno?" teriakku kaget. Kedua anak kecil itu telah basah kuyup, lantas mereka bergegas berdiri. "Huuuuuu, Neno nakal, Ami dicebuwin!" Ami mengadu. "Sudah, kalian berdua ayo naik ke sini," perintahku, sembari memunguti tas sekolah yang mereka geletakkan di pinggir kolam. Reno dan Ami naik gantian. Kugandeng keduanya menuju ruang ganti. Namun di tengah perjalanan kami bertemu Bu Andien, wali kelas Reno. "Astagaaaa, apa-apaan ini?" katanya setengah histeris. "Bagaimana mereka bisa basah kuyup begini? Itu mamanya Reno sudah menjemput, nanti aku harus bilang apa?" "Remo sama Ami main di kolam. Mereka kecebur," jelasku kalem, lalu menyerahkan Reno dan tas sekolahnya pada Bu Andien. "Ih, gimana sih kok gak diawasin? Aku kan jaga gerbang depan," katanya lagi. "Maaf, Bu. Tadisnaya tinggal sebentar ke ruangannya Bu Restu," kataku membela diri. Bu Andien rupanya tidak puas dengan jawabanku itu. Dia langsung melengos dan membawa Reno pergi. Aku menghela napas, lalu berbalik ke Amira. "Ami ganti baju dulu, ya. Habis itu kita pulang," kataku. Dia mengangguk takut-takut. Dengan terpaksa, aku memandikannya di sekolah, kemudian memakaikan baju ganti yang disiapkan dalam tas. Usai membungkus baju dan sepatu Ami yang basah, aku pun menggendongnya keluar. Tidak mungkin dia kubiarkan berjalan tanpa alas kaki. Sampai di depan kelas, kupinjamkan sandal japit khusus anak-anak. Sembari mengganti bajunya, aku menanyai Ami. "Kok bisa kecebur tadi gimana?" "Kak Neno, ambil katak. Kataknya lompat, dikejal masuk kolam. Kak Neno jatuh, Ami tolongin. Ami ikut jatuh masuk kolam," jelasnya dengan gaya khas anak-anak. "Hmmm, begitu ya. Lain kali, kalau Bu Fira minta Ami tunggu, jangan ke mana-mana ya. Bu Fira mencari Ami ke mana-mana tadi," ujarku menasihati. Dia mengangguk. "Maaf." "Ya, sudah. Ayo kita pulang, Pakde pasti sudah lama nungguin di depan," kataku pada Ami. Aku menggandeng tangannya, tapi dia tidak beranjak juga. "Ada apa?" tanyaku. "Jangan bilang nenek, nanti nenek malah," pintanya memelas. "Iya. Ami tenang saja," kataku meyakinkan. Akhirnya gadis kecil itu pun kembali ceria. Kami pun berjalan bergandengan tangan menuju mobil. ... Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN