Hari minggu, Deni mengajak Kelana jalan-jalan ke mal. Karena anak itu pasti sudah sangat bosan di rumah. Mamanya yang selalu memaksa dirinya untuk menikah dengan segera. Tapi Deni berpikir jika dia menikah dengan segera. Belum tentu calon istrinya bisa menerima Kelana. Kelana adalah keponakan satu-satunya yang dimiliki oleh Deni. Tidak mungkin dia menerima paksaan mamanya dan justru merugikan Kelana mengingat saudara yang dia punya ada di rumah sakit jiwa. Kelana masih terlalu kecil untuk mengetahui kenyataan ini.
Kelana yang dia tidak inginkan masa kecilnya berantakan nanti.
"Ayah, kita beli boneka ya?" kata Kelana ketika menunjuk salah satu toko bonekan ketika mereka keliling.
Deni terus menggandeng tangan Kelana untuk mengajak anak kecil tersebut berkeliling. "Kelana mau yang mana?'
Deni mengambil salah satu boneka dan kemudian dia menariknya, justru boneka tersebut ditarik oleh seseorang. "Saya duluan, Mas,"
Deni tak ingin menyerah karena boneka itu hanya satu. Ketika dia menoleh, dia melihat Gea, mahasiswi yang menyebalkan itu. "Kamu ngapain di sini?"
"Belanja lah,"
"Ayah, boneka punya Kelana mana?" kata anak kecil yang ada dibelakang Deni.
Gea melepaskan boneka itu karena tercengang mendengar anak itu memanggil Deni dengan sebutan Ayah. Yang dia tahu dosennya itu belum menikah. Tapi kali ini justru membawa anak kecil yang sangat cantik dan imut. Sedikit mirip dengan pak Deni.
"Kak, itu boneka milik, Kelana," kata anak tersebut mengambil boneka dari tangan Deni yang baru saja dilepaskan oleh Gea. Dia benar-benar tak habis pikir. Usia dosennya masih muda, tapi sudah pnya anak sebesar ini. Apakah dosennya fuckboy sampai punya anak sebesar ini di usianya yang sangat muda. Gea menggelengkan kepalanya.
"Pak, ini anak Bapak?"
"Ya, kenapa?" kata dosennya dengan dingin.
Gea benar-benar tidak percaya dengan dosennya yang satu ini. Terkenal sangat dingin, tapi jsutru sudah punya anak. Bagaimana mahasiswi yang lain bisa dibohongi olehnya karena dia yangd mengaku lajang. Justru sudah punya anak.
"Ayah, kita makan setelah ini ya?"
"Iya, Kelana. Kita makan, kita bayar bonekanya dulu ya!" ajak Deni.
Gea menelan ludahnya dengan terpaksa. Ketika dia mengetahui bahwa dosennya sudah punya anak, itu rasanya sulit dipercaya. Perlahan, dia langsung menggelengkan kepalanya begitu melihat dosennya pergi bersama sang anak.
Beberapa hari berikutnya.
Gea yang sedang malas pergi ke kampus. Karena dia harus menemani kakak iparnya di rumah tiba-tiba mendapatkan telepon dari temannya yang di mana ada jadwal pak Deni hari ini. Sebenarnya dia malas bertemu lagi dengan dosennya yang satu itu karena terlalu cuek dan juga tidak peduli dengan kesibukan mahasiswa di luar. Yang dia tahu bahwa mereka harus masuk.
Tiba di kampus, justru dia dikeluarkan dari kelas pak Deni karena telat.
Itu benar-benar menyebalkan. Dosennya ini memang menyimpan dendam padanya. Gea diberikan tugas lagi untuk dikerjakan dan dikumpulkan besok pagi.
Kali ini dia berada diperpustakaan mengerjakan tugasnya di sana sendirian. Dia kesal dengan dosen yang selalu menghukumnya.
"Kamu kenapa seolah nggak hargai saya jadi dosen kamu?" kata Deni yang berdiri di samping Gea ketika dia sedang mencari buku.
Gea mengabaikan ucapan itu. dia masih mencari, hingga pada akhirnya dia menjijitkan kakinya meraih satu buku yang tingganya lumayan. Pak Deni meraih buku itu untuknya. "Kamu kalau nggak suka mata kuliah saya, silakan keluar! nggak usah masuk sampai kapan pun,"
Mungkin dosennya ini ada masalah sehingga sangat sensitif. "Saya berani sumpah, Pak. Saya nggak berniat seperti itu,"
"Kamu masuk ke kelas saya saat jam mata kuliah saya tinggal tujuh menit,"
"Maaf, Pak,"
"Nggak usah ngeluh kalau saya kasih tugas banyak,"
Deni berlalu begitu saja meninggalkan Gea di perpustakaan. Deni memang selalu memberikan tugas kuliah dengan tulis tangan. Dia tidak mau jika tugas diketik. Dia lebih suka tulis tangan. Agar dia bisa melihat bagaimana keseriusan mereka selama ini.
Sudah sore, Gea tidak membawa mobil. Dia menunggu angkutan umum. Sebuah mobil SUV berwarna putih berhenti di depannya, pemiliknya menurunkan kaca mobilnya. "Masuk!" Gea memutar bola matanya ketika melihat ada dosennya yang ada di dalam. Gea benar-benar tak habis pikir jika dosennya ini akan menyuruhnya masuk.
Beberapa kali diperintahkan untuk masuk. Gea akhirnya menurut. "Jangan cabuli saya, Pak! Saya masih perawan," ucap Gea.
"Kamu pikir saya minat?" jawab Deni. Ia berkata demikian ketika dosennya itu menatapnya dari atas ke bawah. Merasa tidak nyaman diperhatikan seperti itu. akhirnya dia berani mengatakan hal yang harusnya tidak dia katakan. Jujur saja jika dia sangat ketakutan berada di dalam mobil bersama dengan dosennya.
"Pak, ingat Bapak sudah punya istri,"
Deni tersenyum, kemudian dia berbelok ke arah lain. Itu bukanlah arah menuju rumah Gea. "Ini bukan jalan menuju rumah saya, pak,"
"Diamlah!" kata Deni.
Sekitar dua puluh menit diperjalanan. Deni berhenti di salah satu rumah sakit jiwa untuk mengunjungi kakaknya di sana. dia mengajak Gea. Tentu saja jika gadis itu akan sangat terkejut dengan semua ini. Pasalnya dia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh dosennya mengajak ke rumah sakit jiwa. Dia hanya bisa menemui kakaknya sore hari. Karena kakaknya pasti akan kembali kumat lebih parah lagi jika dikunjungi pagi ataupun siang. Maka dari itu di khususkan untuk kakaknya dikunjungi jam lima sore lebih.
Begitu tiba di salah satu tempat. "Apa kabar?" kata Deni.
"Baik, Kelana mana?" kakaknya kadang bisa nyambung seperti ini. Tapi jika waktunya kumat. Pasti kakaknya akan teriak mengingat kecelakaan itu dulu dan membuatnya gila seperti sekarang ini. "Kamu bawa istri kamu?"
"Dia mahasiswi aku, Kak,"
"Bisa sayang sama Kelana?"
Deni terdiam. "Dia bukan siapa-siapa, Kak,"
Perempuan itu mendekati Gea. Dia takut jika dicekik atau hal yang tidak diinginkan lainnnya. Dia melihat ke arah Deni. "Jawab seperlunya, Gea! Jangan sampai ragu!" perintah dosennya.
"Kamu sayang sama Kelana?"
"Ah, ya kak. Sayang kok,"
"Nikah sama Deni, titip Kelana ya! Kakak mau pergi sama Ayahnya Kelana,"
Deni terdiam sejenak. Dia tahu bagaimana kakaknya bisa menjadi seperti sekarang ini. "Hmm, iya, kak. Kakak cepat sembuh!"
"Kakak mau pergi ke tempat yang bagus,"
"Ke mana?"
"Tempat bagus. Bodoh banget sih, dikasih tahu malah nanya lagi," Deni langsung mengajak kakaknya mundur dari Gea ketika Gea terlihat begitu ketakutan.
Kakaknya selalu diawasi oleh suster. Deni mengajak Gea pergi dan berhenti di salah satu kafe. "Kamu ingin menyebarkan gosip saya sudah menikah 'kan? Itulah kenyataan yang terjadi, dia adalah ibunya Kelana. Dia nggak bisa terima kepergian suaminya, Kelana manggil aku Ayah dari dulu,"
Gea mengangguk pelan. Rasanya dia tidak menyangka jika dosennya sendiri mengasuh anak perempuan yang sangat lucu itu. "Bukan anak bapak?"
Deni mengeluarkan KTP-nya. "Status saya belum kawin. Kamu bilang saya punya anak? Kamu sudah sinting? Kamu sebarin gosip yang nggak-nggak. Sampai teman baik kamu si Rangga bilang kalau saya penebar benih di sembarang rahim,"
Gea menutup mulutnya. Dia akui bahwa dia mengatakan itu kepada Rangga. Tapi tidak pernah mengatakan bahwa Deni itu adalah pria b******k. "Saya nggak berniat seperti itu, Pak,"
"Kamu bisa-bisanya buat saya gila! Kamu nggak tahu bagaimana saya sembunyikan anak itu selama ini. Kamu malah bilang saya punya anak," ketus dosennya.
Gea merasa terpojokkan dengna ucapan dosennya.
Maafkan author yang sibuk beberapa hari terakhir.