LIMA

1213 Kata
Jangan lupa tambahkan ke perpustakaan kalian ya.  Gea menghela napas panjang begitu dia tiba di perpustakaan untuk mencari buku referensi mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Deni ketika dia baru saja masuk di kelasnya dan langsung memberikan tugas yang sudah sangat banyak. Gea memijit pelipisnya ketika dia sudah menemukan buku Akuntansi Manajemen yang akan menyiksanya dihari pertama dia mendapatkan dosen pengganti untuk semester lima. Tidak ada hal yang lebih membuat Gea merasa kesal selain tugas dari pak Deni. Tugas yang benar-benar sangat dibencinya itu. Dia memang termasuk mahasiswi yang rajin, tapi seketika itu pula pikiran tentang fokus kuliah di mata kuliah yang diajarkan Pak Deni langsung membuat mood Gea hancur seketika saat dipermalukan dihadapan teman-temannya. "Bisa-bisanya dia menyebalkan seperti itu," keluh Gea dan menarik napasnya dalam-dalam sambil memukul dadanya dengan pelan akibat sesak dia tidak bisa melampiaskan emosinya pada dosen yang paling menyebalkan itu. Ia memejamkan matanya kemudian mulai mencari materi mengenai tugas yang diberikan. Tugasnya kali ini tidak sembarangan bisa menggunakan jurus copy paste seperti yang biasa dilakukan. Kali ini tugasnya adalah tulis tangan yang menggunakan double folio yang bahkan tidak boleh ada coretan sedikitpun. Selain menguji ketelitian dalam menulis tangan yang barangkali nanti laporan juga akan ditulis tangan, itu adalah alasan dosennya. Memang ketika masuk ke kelas, dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi, ketika mereka keluar, Gea dan Rangga justru dipanggil ke ruangan Pak Deni dan diberikan tugas di sana. Tapi, tidak untuk Rangga yang lebih memilih untuk membayar anak-anak yang barangkali bisa membantunya mengerjakan tugas seperti biasanya. Lagipula itu juga menguntungkan untuk anak yang dia bayar bahkan kadang dilebihkan dengan alasan sebagai tanda terima kasih. Hingga menjelang sore, ia masih menulis diperpustakaan. Gea masih setia berada di perpustakaan sambil merangkum tugas yang diberikan oleh dosennya. "Istirahatlah! Dari tadi saya lihat kamu di sini," Gea langsung mengangkat kepalanya menemukan pria yang menyebalkan berdiri didepannya yang meletakkan makanan serta minuman kepadanya. "Nggak butuh," Dosennya tertawa sinis, "Makanlah! Saya nggak mau mahasiswi saya sakit karena tugas dari saya yang membuatnya jatuh sakit nanti," Memangnya siapa yang membuatnya sakit? Sudah pasti ini karena dosennya yang paling menyebalkan yang pernah dia temukan. "Saya bisa makan sendiri," "Tapi kamu nggak sempat cari makanannya karena sibuk di sini dari tadi," Gea merasa sangat pegal, ketika itu dia melihat burger dan juga minuman yang ada diatas mejanya diberikan oleh dosennya tadi. Sebelumnya Gea mengedarkan pandangannya ke penjuru perpustakaan. "Bapak menguntiti saya?" "Memangnya saya nggak ada kerjaan selain mengikuti kamu?" "Ya buktinya Bapak di sini?" Deni tetap memperlihatkan ekspresi datarnya, "Tadinya saya mau kasih ke penjaga perpustakaan. Tapi karena dia bilang sudah makan, jadi yak arena saya juga lihat kamu dari tadi di sini, ya udah sekalian saya kasih ke kamu aja, adil kan? Kurang baik apa saya sama kamu?" Gea berusaha memberikan senyumannya kepada sang dosen yang sudah membuat tangannya pegal karena menulis. "Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih karena kemurahan hati Bapak yang sudah memberikan makanan untuk saya," "Makanlah! Saya balik ke ruangan, ingat besok kamu harus antar ke ruangan saya!" "Baik, Pak," Gea memberikan senyum lagi. Padahal sebenarnya dia ingin menelan dosennya hidup-hidup. Dia belum bisa memaafkan atas kejadian di mana dosennya mempermalukannya dihadapan teman-temannya karena berbicara bersama dengan Rangga, teman yang paling menyebalkan juga bagi Gea. Gea mengangkat sebelah alisnya ketika mendapatkan makanan burger, dan juga kentang goreng yang diberikan oleh Pak Deni tadi. Perutnya juga terasa keroncongan. Tapi karena tugasnya yang begitu banyak, hingga akhirnya dia tidak sempat mencari makan siang tadi dan hari sudah sore. Dia masih berada di perpustakaan. Selesai makan, dia langsung bergegas merapikan semua buku-buku yang berserakan diatas meja. Kemudian dia memilih pulang dan melanjutkan tugasnya di rumah. Dari ruangannya, Deni nampak tersenyum ketika melihat mahasiswi yang menjadi pusat perhatiannya ketika berada di kantor Reno. Ia sengaja tidak memberitahu mengenai bahwa dia mengenal Reno dengan sangat baik. Tapi, dia ingin melihat sejauh mana gadis itu berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Deni memaksakan dirinya menjadi dosen itu karena dia tidak ingin dicarikan pasangan oleh mamanya yang memaksa untuk menikah di usia muda. Padahal dia masih ingin menikmati masa mudanya dan juga menjalankan bisnisnya hingga lancar kemudian baru dia memikirkan asmara. Tapi, mamanya justru mengatakan bahwa Deni terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga dia tidak sempat mencari pasangan hidup. Mamanya bahkan pernah menganggapnya bahwa dia menyukai sesama jenis hingga membuat Deni mual mendengar ucapan sang mama. Begitu Gea pulang, Deni pun langsung pulang juga ke rumah orang tuanya. Dia hanya mengajar beberapa kelas, dan waktunya lebih banyak di kantor. Tapi sepertinya banyak yang tidak tahu bahwa dia adalah presiden direktur di salah satu perusahaan property dan juga perusahaan yang berjalan dibidang pengembang teknologi. Ia mengendurka ikat dasinya begitu tiba di rumah dan turun dari mobil. Rumah yang megah, tapi ketika pergi ke kantor dia justru menggunakan mobil yang tidak terlalu mewah. Itu karena dia tahu bahwa di sana dia hanya menjadi dosen saja. "Kamu kok pulangnya malam?" tanya sang Mama yang sedang duduk di ruang tengah bersama papanya. Sebenarnya tadi ketika pulang dari kampus, ia menyempatkan diri ke rumah sakit jiwa untuk bertemu dengan kakak perempuannya yang dirawat di sana sejak dua tahun terakhir ketika kakaknya menyaksikan sendiri kecelakaan suaminya yang menewaskan kakak ipar Deni hingga membuat kakaknya menjadi seperti sekarang ini. "Mama tanya kok diam?" Deni tersenyum dan mencium pipi mamanya. "Maaf, Ma," "Kamu ke rumah sakit jiwa lagi?" Deni mengangguk, "Iya, Ma. Aku pergi lagi ke sana," ketika itu dia melihat keponakan satu-satunya yang dia miliki. Keponakan perempuan yang bernama Kelana, umurnya sudah empat tahun, tapi tidak pernah melihat mamanya sama sekali hingga sekarang ini. "Ayah, burger Lana mana?" Ayah adalah panggilan yang selalu digunakan oleh Kelana untuk memanggilnya sehari-hari. Itu dilakukan agar Kelana tidak merasa sedih ketika dia tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah kandungnya sendiri. Kelana yang memang jarang bertemu ayahnya selama masih hidup. Ayahnya yang jarang pulang karena sibuk bekerja, waktu itu ketika hendak menjemput Kelana di dokter anak, justru kecelakaan itu terjadi hingga menewaskan ayah Kelana. Deni tersenyum ketika ia mengingat bahwa makanan itu memang untuk keponakannya. Tapi justru dia berikan kepada Gea ketika di perpustakaan tadi. "Maafin Ayah ya, Ayah mau mandi dulu udah gitu kita cari makan di sana, oke?" "Oke Ayah," anak kecil itu mengangkat jempolnya dan menyeringai.  "Kamu keseringan bawa Kelana pergi. Jadi kamu nggak dapat pasangan. Mereka ngiranya kamu duda," Deni tertawa kecil, "Mama ada-ada aja. Biarin aja, Ma. Kelana juga seperti anak aku," "Kenapa kamu nggak pernah bawa pacar kamu ke rumah, itu yang jadi pertanyaan Mama," "Aku belum mau, Ma. Bukan karena aku nggak suka sama perempuan. Tapi aku nggak mau waktu aku sama Kelana dia malah nggak bisa akrab sama Kelana. Dia itu keponakan aku satu-satunya. Kelana adalah anak perempuan yang paling baik. Semisal nanti pacar aku udah di sayang banget sama Kelana, tiba-tiba dia nggak bisa akrab sama Kelana, buat apa, Ma? Aku nggak mau hanya nyari pacar cuman buat kesenangan aku. Tapi ketika aku sama Kelana dia malah ngeluh," "Mama ada kandidat," "Nggak usah, ma. Nggak minat," "Kamu kan belum lihat," "Mama tenang aja, aku sudah ada kok yang mau aku kejar," "Siapa?" "Ya sabar aja. Tapi tunggu waktu yang tepat," "Mama nggak mau kamu lama-lama nikah," "Enaknya nikah itu apa sih, Ma?" "Iya karena kamu sibuk kerja. Jadi kamu nggak perna ada kesempatan buat dekat sama perempuan, malah nanti kalau udah dekat kamu nggak bisa lepas lho," "Nenek sama Ayah ngobrol terus, nggak jadi pergi ya?" Kelana mengeluh kepada kakeknya. Seketika itu Deni melihat kearah keponakannya. "Ayah mandi dulu sayang," Siapa sangka dibalik sikap dinginnya kepada mahasiswa dan mahasiswinya di kampus. Dia memiliki sikap yang begitu hangat di depan keponakan semata wayangnya itu.  Wkwkwk bayangin aja ya Deni orangnya kayak gimana, wkwkwk. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN