The Conversation

1104 Kata
"Apa ada yang bisa kulakukan untukmu, Tuan Rob—" "Oh, panggil saja aku Robby, okay?" Robby menggeleng, ia selalu bergidik ngeri membayangkan orang-orang memanggilnya Tuan. Kutukan yang melekat padanya seumur hidup. Kenyataannya ia lebih suka tampil apa adanya, terlepas dari embel-embel nama besar Queen yang disandangnya. Menjadi bagian dari keluarga itu merupakan berkah sekaligus kutukan. Ia tak pernah menampik keberuntungan yang didapat dari nama itu. Hasil yang baik tanpa perlu bekerja keras. Yang perlu dilakukannya menjadi seorang Queen dan, TADA! Segala macam langsung terwujud di depan mata, bahkan ketika ia belum sempat mengucapkan keinginannya. Kutukannya adalah, bila kau terlalu lama berada di wilayah peperangan. Di antara para pengungsi bencana, berjuang hidup di tengah wabah penyakit. Di antara penduduk dunia yang kelaparan dan hidup penuh kemiskinan, nama besarmu tak lebih dari sekedar bahan olok-olok semata. Well, yeah, kau mungkin bisa membantu dengan uangmu, dengan tenagamu. Tapi mereka tidak akan terperangah dengan namamu, dan mungkin saja, namamu hanya seperti dengungan lebah bising di telinga mereka. Mereka hanya melihatmu dengan bantuan yang nyata. Namamu tidak penting. Kau bahkan boleh menggunakan nama raja dan mereka tidak akan mengingatnya. Dan yang paling menyakitkan adalah, namamu semakin tidak berguna, bila kau tidak mampu mengubah orang-orang itu dari penderitaan dalam satu jentikan tongkat sihir. Penderitaan yang terlalu lama, akan tetap hadir di sorot mata mereka. Seperti pasang mata coklat yang meredup sayu milik Sarah Lane di hadapannya kini. Mata yang jujur. "Hm, kulihat kau membenahi pakaianmu, Sarah." Mata Robby menangkap tumpukan baju yang tergeletak di ranjangnya. "Kuharap kau tidak benar-benar pergi dari sini. Kakek memberikan warisan padamu bukan tanpa maksud. Aku yakin itu. Jadi kumohon kau mau bertahan. Walau yeah, you know… kami semua hanya terkejut dengan keputusan Kakek, tolong mengerti itu." Sarah memalingkan wajahnya. Tatapan Robby sangat mengganggu, dan ia tak ingin laki-laki itu tahu air matanya mulai menggenangi pelupuk mata. "Aku—aku harus pulang sebentar ke apartemen lamaku." "Well, kalau itu dapat membuat pikiranmu menjadi jernih, lakukanlah. Berapa lama rencananya?" "Mungkin satu dua minggu—" Sarah menggigiti bibirnya. Sesungguhnya ia tidak tahu pasti harus berbuat apa. Kemarin, ada banyak rencana yang telah disusunnya dengan semangat. Salah satunya adalah mengunjungi teman-teman perawat untuk mencari info pekerjaan dan juga beasiswa. Ya, ia membutuhkan itu untuk persiapannya melanjutkan kuliahnya nanti. Tapi sekarang, apakah itu semua menjadi persoalan penting? Bukankah Tuan Thomas meninggalkan banyak uang untuknya? No! Uang itu bukan uangku. Aku hanya akan mengambil sejumlah pesangon yang layak kuterima sebagai baktiku selama lima tahun terakhir ini, rahang Sarah berkedut dengan sejumlah pikiran berkecamuk di dalam benaknya. "Bi—Bibi Diana telah menghubungi kepolisian. Mereka—eh, keluargaku memutuskan meminta bantuan polisi untuk mengusut masalah ini. Dan bukan tidak mungkin akan melakukan autopsi Kakek. Kalau memang dibutuhkan. Yeah, kalau mereka membutuhkan data lebih banyak lagi. Bukan mustahil itu akan terjadi." "Apa? Ka—kalian melaporkanku? Atas dasar apa?" Bulu kuduk di tengkuk Sarah meremang. Ia menatap tajam pada laki-laki yang tadi diperkenalkan Caroline sebagai cucu tertua Thomas. Laki-laki itu kini menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, dan itu sangat mengganggu! Ada sesuatu yang membuat Sarah langsung membenci Robby. Tingkah laki-laki itu tidak bisa ditebak. Sebentar ia bersikap ramah, lalu mengucapkan kata-kata yang membuatnya gusar. Tadi dia sangat sopan mengajak bicara, tapi kini, sorot matanya menunjukkan kecurigaan yang mendalam. Bagaimana mungkin Tuan Thomas mempunyai keturunan yang seperti ini? Bila dulu ia jatuh cinta pada Brian, pada pandangan pertama. Yah, siapa yang tidak berbuat sebodoh itu pada laki-laki bertubuh atletis, jangkung, berkulit terang dan halus, dengan tampilan yang selalu modern dan glamor? Belum lagi keberuntungannya dengan uang tak terbatas tanpa nomor seri? Lalu sebaliknya kini, ia mendapati keturunan lainnya dari darah Queen yang terhormat ini. Seorang laki-laki yang mungkin tidak pernah peduli apakah janggut dan kumisnya mengaburkan ketampanannya. Kulitnya gelap, berhias tato tribal di kedua pergelangan tangan, dan entah di mana lagi Sarah tidak peduli. Rambut yang dibiarkan panjang tak beraturan, yang Sarah yakin ia jarang menyisir dengan benar dan hanya menyugarnya sesekali saja. Penampilannya begitu mengancam, lelaki ini, membuat bulu kuduk Sarah berdiri. Ia takut. "Kau tidak perlu cemas, kupikir, kau tidak perlu bereaksi berlebihan. Kalau memang kau tidak melakukan apa-apa, dan semoga itu kenyataannya. Aku memberitahu tentang hal ini, hanya agar kau memikirkan tindakanmu. Pergi dari rumah ini lebih dari seminggu hanya akan menambah kecurigaan kami semua. Apa kau ingin menghindar? Tidak ada yang diperbolehkan meninggalkan rumah ini hingga polisi selesai menyelidiki. Itu berlaku untuk kita semua." Robby menyilangkan tangannya di depan dadanya yang berotot, lalu menyenderkan sisi tubuhnya ke dinding. Sarah melempar pandangan hati-hati padanya. Berusaha mencerna perkataan laki-laki itu barusan. Satu lagi rencananya rusak akibat warisan ini. Tidak bisakah ia hanya melepaskannya begitu saja? Semakin lama, ia merasa semakin muak. Merutuki dirinya yang dulu sempat berpikir kalau uang dapat menyelesaikan setiap masalah di dunia ini. Kenyataan yang dihadapinya sekarang adalah uang justru menjadi sumber masalah terbesarnya. "Aku tidak melakukan apa-apa," ucap Sarah lemah. "Aku tidak pernah tahu apa yang dilakukan Tuan Thomas pada surat wasiatnya. Kami tidak pernah membicarakan hal itu. Aku—aku tidak pernah menginginkan hartanya. Buatku, mungkin kalian orang-orang kaya tidak akan pernah mengerti, apa yang kulakukan selama ini lebih dari sebuah pekerjaan semata. Aku menyayangi Tuan Thomas. Aku menyayangi Tuan John dan Nyonya Diana, Nyonya Patricia—ibumu, Tuan Matthew juga. Aku menyayangi Caroline yang cerewet, Kyle yang tidak pernah tersenyum. Emily, Maria, Ernest, di dapur. Juga Bob dan si tua Harvey di pekarangan. Aku menyayangi semua yang ada di rumah ini sebagai keluargaku sendiri. Kebersamaan kami semua dalam rumah ini selama lima tahun sangat membuatku merasa diakui sebagai bagian dalam keluarga. Aku tahu, bukan dalam pengertian keluarga yang sebenarnya, dan aku tidak pernah meminta lebih dari itu. Aku tidak pernah membayangkannya bahkan! Aku—aku kehilangan Tuan Thomas sama seperti kalian. Kalau warisan itu membuat hidupku menderita, aku bersedia mengembalikannya. Bukankah sudah kukatakan tadi di depan Tuan Eddy Parker?" Robby menyeringai, "Kau hanya mengatakan kalau kau belum memikirkan langkah apa yang akan kau ambil. Menerima atau menolak. Itu yang membuat kami semua memikirkan hal-hal lain yang telah melatari masalah ini. Kau harus membuktikan semua ucapanmu di depan penyidik. Dan yeah, pertimbangkan kembali untuk pergi meninggalkan rumah ini. Karena itu akan semakin memberatkan tuduhan yang dijatuhkan padamu." Sambil membalikkan tubuhnya, Sarah menunduk dalam-dalam. Hari ini sungguh menguras pikiran dan tenaganya begitu cepat. Rasanya seperti mendapatkan sekotak paket coklat dari seseorang yang telah lama membuat hatimu bergetar, namun ketika dibuka, bukan coklat yang kau temukan, melainkan makanan yang membusuk. Sarah semakin kesal pada dirinya sendiri yang ternyata mendambakan kotak coklat itu. Kejutan yang semula menyenangkan yang sempat membuatnya mabuk kepayang. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN