Kamar yang ditempati Sarah berada di sudut depan lantai dua Queen Manor. Sebelumnya, lantai ini hanya berisi ruang besar yang khusus ditempati oleh Thomas Senior, berisikan ruang tidur utama, ruang kerja dan perpustakaan kecil, ruang bersantai, serta ruang lemari pakaian dan perhiasan. Di awal bekerja, Sarah tidak pernah menginap di sana. Ia datang tepat pukul tujuh pagi, dan pulang ke apartemen mungilnya setelah pukul sembilan malam. Namun kondisi Thomas yang kian memburuk dalam setahun terakhir ini, memaksanya untuk tinggal dan merawat majikannya itu hampir 22 jam sehari. Ruang kerja kecil diubah menjadi kamar tidurnya, agar ia berada tidak terlalu jauh dari Thomas dan bisa segera datang apabila almarhum majikannya itu membutuhkan kehadirannya di tengah malam.
Sarah memandang letih pada tumpukan baju dan tas baju tua yang resletingnya mulai rusak di sudut ranjangnya. Ia menghela napas panjang. Pikirannya melayang memutar ulang rekaman kejadian pembacaan surat warisan tadi. Sekarang ini kebimbangan berkecamuk dalam benaknya. Merutuk keberuntungan yang baru didapat dari sang majikan, muak atas apa yang menimpanya tadi, terhina dengan cemoohan Brian, tersinggung dengan tatapan curiga Robby. Di saat yang bersamaan, ia merasa takut sekaligus beruntung dengan warisan itu. Lalu datang pula perasaan kecewa pada dirinya sendiri, bahwa ia sangat bersyukur dengan apa yang didapatnya, juga kecewa karena merasa tidak pantas. Perasaan ini berkecamuk silih ganti menguasai pikirannya.
Belum lagi bisa menguasai diri dengan baik, ponselnya berdering.
"Ya, Charlotte. Aku di sini."
"Kapan kau kembali, Sarah?"
"Entahlah, kurasa dalam dua tiga hari ke depan. Ada apa?"
"Kukira kau akan segera angkat kaki dari rumah itu."
"Yah, ternyata, ada beberapa hal yang harus kuselesaikan terlebih dulu. Hey, kau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Tidak ada hal khusus. Kukira aku terlalu senang karena kita akan kembali tinggal bersama. Bagaimanapun juga, yah, biaya hidup jadi lebih ringan bila ditanggung bersama, bukan?"
Sarah tertawa. Ketika ia terpaksa tinggal di Queen Manor setahun lalu, ia menawarkan diri tetap meneruskan patungan uang sewa apartemen yang mereka tempati. Tentu saja Charlotte menolaknya. Gengsinya terlalu tinggi dan mencegahnya berterus terang. Sarah tahu pasti, kondisi keuangan sahabatnya itu tidak lebih baik dari dirinya. Mereka adalah dua wanita muda yang berjuang hidup mengumpulkan remah-remah dollar untuk kelangsungan hidup mereka.
Charlotte adalah orang yang pertama kali dikenalnya ketika Sarah memutuskan keluar dari rumah panti yang telah menampungnya dari sejak usia tiga tahun. Mereka bertemu pertama kali di kedai kecil di dekat stasiun Westlake. Berbekal uang pas-pasan, mereka mencari apartemen sewa murah yang biayanya ditanggung bersama.
Kehidupan mulai membaik ketika Sarah diterima bekerja sebagai perawat panti jompo dan Charlotte bekerja di sebuah bar di Pike Place. Gaji yang mereka terima mungkin sangat minim dibanding eksekutif muda dan karyawan kantor-kantor elit. Namun keduanya bersyukur, mendapatkan pekerjaan tetap dan ditambah tips serta uang lembur, keduanya bisa bahu membahu menutupi biaya hidup. Sarah juga masih menyisihkan penghasilannya untuk suatu saat ia bisa kembali melanjutkan kuliahnya. Sedangkan Charlotte, cukup puas dengan hidup tanpa hutang ketimbang dan tidak membebani orang lain.
Persahabatan yang dimulai tanpa sengaja itu terus berjalan lancar hampir delapan tahun. Sesekali mereka bertengkar meributkan hal-hal remeh, namun keduanya akan segera berbaikan kembali. Terkadang mereka pun heran, bagaimana bisa dua orang yang sebelumnya tidak saling kenal lalu nekad untuk tinggal bersama dan berbagi tagihan. Sebagian orang mungkin tidak percaya dengan kehendak Tuhan, tapi itulah yang terjadi pada mereka berdua.
"Mungkin—mungkin aku tidak akan lama di sana nanti, Charlotte."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Yah, kurasa, kupikir, ah, entahlah. Ini belum sepenuhnya kuputuskan, tapi aku ingin kau tahu, ada kemungkinan aku akan tinggal selamanya di Queen Manor."
"Apakah mereka tetap ingin kau bekerja di sana? Merawat siapa?"
"Tidak, tidak. Bukan seperti itu. Ah, nanti saja kuceritakan padamu semuanya saat kita bertemu."
"Kau semakin aneh, Sarah. Kurasa Tuan Thomas-mu itu masih tetap membayangimu dari dalam kuburnya! Apa kau banyak minum alkohol?"
"Tidak! Tentu tidak. Bukan seperti itu kejadiannya."
"Tapi kau berhalusinasi, Sarah! Dan kau bukan orang yang penuh delusi seperti itu! Ada apa sebenarnya? Haruskah aku menyusulmu ke sana dan membawamu pulang?"
"Tidak terima kasih. Kau cukup tunggu kedatanganku saja. Dalam dua tiga hari ini, kupikir masalahnya akan selesai. Dan—dan aku bisa mengambil langkah terbaik. Semoga—semoga saja."
"Baiklah. Kutunggu kau secepatnya, Sarah. Semoga benar kau baik-baik saja di sana." Hubungan telepon terputus.
Sarah berjalan ke arah jendela dan membukanya lebar-lebar. Angin malam masuk dengan leluasa, menerpa wajahnya dan mengajak rambut panjangnya menari-nari.
Dingin.
Embusan angin menerpa kulitnya. Marasuki tubuh melalui pori-porinya.
Sejenak kulit tubuhnya meremang. Ia menggigiti bibir bawahnya, kembali melesak ke dalam pikirannya, pada bayangan ruang perpustakaan tadi.
Rumah beserta isinya, dana pemeliharaan, saham-saham perusahaan, berapakah nilai total semua aset itu bila dijumlahkan? Mengapa Tuan Thomas sedemikian mudahnya memindahkan harta itu menjadi atas namanya? Apakah aku sanggup memelihara dan mengurus semua peninggalannya? Apakah aku layak?
Sarah teringat humor satire yang sering menjadi bahan senda gurau. Tentang perbedaan si kaya dan si miskin. Orang kaya tidak hafal berapa persis jumlah uang dalam rekeningnya. Mereka hanya mengetahui uang yang mereka miliki terus bertambah di setiap hitungan detik. Sementara orang miskin bisa mengingat sampai pada nominal terkecil, uang yang ada dalam rekeningnya, dalam dompetnya, dalam saku celana robeknya, dalam tas lusuhnya, dan mungkin yang tersimpan di bawah kasurnya. Orang miskin selalu mengingat di mana ia meletakkan uangnya dan berapa jumlahnya.
Saat ini Sarah benar-benar tidak memahami berapa jumlah aset yang diberikan Tuan Thomas padanya, hingga iya pantas mendapat julukan sebagai pencuri seperti yang dikatakan Bryan tadi. Apa yang telah dituduhkan Brian padanya benar-benar telah menusuk dan tertinggal lama di dalam hatinya.
"Apakah aku telah menjadi orang kaya yang sesungguhnya? Aku tidak tahu persis jumlah aset yang dilimpahkan padaku, dan parahnya lagi, aku tidak menginginkan itu semua! Tidak bisakah aku hanya menerima pesangon dan mendapatkan kembali kehidupanku yang damai seperti masa lalu?" gumam Sarah pada dirinya sendiri. Ia mengusap setitik air di ujung matanya.
Tiba-tiba, ia begitu merindukan Ayah dan Ibu Jacob Lane. Pasangan pengurus panti asuhan yang telah membesarkan dan mengadopsinya. Ayah ibu angkatnya memiliki sikap tegas memegang aturan yang mereka buat, dan cenderung keras dalam mendidik dan membesarkan anak-anak panti. Namun mereka juga sosok ayah dan ibu yang hangat dan mengayomi. Sarah merindukan saran-saran bijak mereka, pelukan hangat yang memberi ketenangan hatinya, juga sup kacang polong lezat yang menjadi makanan setiap hari di panti.
Sarah ingin pulang kembali ke panti menemui mereka.
Suara ketukan kencang di pintu mengagetkan gadis berusia 23 tahun itu. "Ya, sebentar!" jawabnya sambil berjalan menuju pintu kamar.
Robby berdiri tegak di ambang pintu kamarnya. "Maaf kalau aku mengganggu waktumu. Tapi bisakah kita bicara sekarang?"
*****