[3] TRIPLEK KAKU BERTEMU KEMBANG API

1676 Kata
Seminggu sudah berlalu sejak Rindu diminta untuk rolling ke cabang Senayan. Sejak surat pemindahtugasannya ada di tangan, Rindu sebenarnya tak terlalu tenang. Beberapa kali ia cari informasi mengenai keadaan di Senayan, tapi selalu terbentur pada satu nama. Bujang Putra Anom. “Gue dengar, sih, dia kepala cabang yang kaku gitu. Enggak banyak omong. Enggak asyik, lah, gitu. Beda sama Bu Sonia.” Rindu makin lemas jadinya. “Tapi cuma dia aja yang nyebelin. Yang lainnya asyik, kok. Bu Marta, DBM-nya juga baik. Enggak reseh gitu, lah,” info Riana. “Sok tau, deh, Riana,” tukas Dio sembari menyuap makan siangnya. Ajakan kencannya gagal. Rindu menolak dengan alasan shock mendapatkan surat pemindahtugasan yang mendadak. Tak menyerah, Dio lagi-lagi mengajak Rindu sekadar menghabiskan waktu bersama tapi selalu berakhir penolakan. Kadang Dio ini bingung, urat malunya sampai sejauh apa ditolak berkali-kali oleh Rindu, tak pernah ia ambil hati. “Ish!” Riana manyun. “Gue ngasih tau itu dari sumber paling terpercaya. Kak Faisal itu pacaran sama Kak Kiara. Kak Kiara itu admin marketing di Senayan.” “Oiya?” tanya Dio masih dengan nada sangsi. “Kalau enggak percaya ya udah,” kata Riana dengan ketusnya. Sementara Rindu yang mendengar perdebatan itu hanya menggeleng pelan. Menikmati kembali seporsi bakso lengkap dengan indomie juga tauge kesukaannya. Meski agak pedas, tapi bakso di belakang kantornya kali ini, akan menjadi menu makan siang terakhirnya di Gajah Mada. Pasti ia akan merindukan suasana di sekitar kantornya ini. Ia menghela pelan. Kembali menyeruput es teh manis pesanannya yang tersisa separuh. “Kok, lo diam aja, Rin? Santai banget gitu?” tanya Riana dengan nada sedikit heran. “Apa yang meski gue lakukan?” tanya Rindu dengan kekehan. Sekali lagi, ia suap besar-besar bakso berikut indomie yang menyertainya. “Enggak harus sedih, kan? Lagian Bu Sonia bilang, probation gue di sana tiga bulan jadi teller. Lalu test untuk head teller. Pak Kurniawan dan Bu Sonia langsung yang referensikan ke Pak Bujang. Kalau dia jegal gue, gue tinggal lapor.” Riana mengangguk pelan. “Rumor yang beredar, Pak Bujang ini persis seperti namanya. Bujangan. Ditambah kata lapuk di belakangnya.” “Hush!” Rindu mendelik tak suka. “Enggak boleh gitu, ah.” “Ih, gue benar, Rin. Dia belum nikah sampai sekarang. Yang gue dengar, usianya sudah kepala empat. Telat banget, kan, nikahnya. Tapi Kak Kiara bilang, Pak Bujang ini gantengnya maksimal banget.” “Mau ganteng, kek. Mau belum nikah, kek. Bukan urusan kita, kan?” tukas Rindu dengan cepat yang mana membuar Riana semakin manyun. Namun hal itu tak membuat Riana berhenti bergosip mengenai sosok Bujang meski hanya sebatas ‘katanya’. “Gue yakin lo bisa, Rin,” kata Dio memberi semangat sembari menyela ucapan Riana mengenai Bujang. Yang mana ucapan Dio ini dicibir dengan telak oleh Riana. “Kenapa muka lo begitu? Mau gue rayu juga?” “Ih! Enggak, ya. Gue enggak bakalan mau lo rayu.” “Sudah lah. Kalian dari tadi gue dengar berantem terus. Pacaran aja sana,” tukas Rindu dengan santainya. “Pasangan serasi, kok. Tom and Jerry dari Gajah Mada.” “Ih!!!” kata mereka dengan kompaknya. *** Farah terbangun dengan kepala yang terasa pengar sekali. ia sampai terhuyung tapi berusaha untuk berdiri di atas kakinya. Matanya agak berkunang-kunang, makanya ia butuh pegangan. “Mami kenapa bangun?” tanya Rindu dengan raut heran. “Ini masih jam lima, Mi.” “Mami mau ke kamar mandi,” katanya pelan. “Perut Mami mual?” Farah hanya menggeleng pelan tapi kemudian, ia limbung karena tangan yang sejak tadi dijadikan penopang, ia arahkan ke perutnya. Rasanya ada gejolak yang sangat tak nyaman yang ia rasakan kini. Lalu … ia memuntahkan isi perutnya di lantai. Rindu bergerak dengan cepat memapah ibunya ke kamar mandi. Dibiarkan lantai yang biasa ia gunakan menunaikan ibadah subuh ini kotor padahal ia harus bergegas berangkat. Hari pertamanya pindah ke Senayan jangan sampai terlambat. Tapi keadaan ibunya jauh lebih membutuhkan dirinya. Rindu memastikan ibunya bisa membersihkan dirinya sendiri meski awalnya ia bantu. Jangan sampai sang ibu tergelincir di lantai karena jalannya saja sempoyongan. Bau alkohol dicampur dengan nikotin menguar memenuhi ruang kamar mandi yang tak seberapa besar ini. “Mami di sini dulu, ya. Aku bersihkan dulu lantainya.” Farah hanya bisa memejam pelan sembari mengangguk. Tubuhnya lemas sekali seolah daya yang ada di sana sudah hilang ditelan bumi. Ia hanya mampu bersandar di tembok dekat kamar mandi kontrakan satu kamarnya ini. Sesekali matanya memperhatikan bagaimana Rindu dengan telaten membersihkan lantai yang ia kotori. Rasa bersalahnya jangan tanya seberapa banyak. Mungkin kalau Tuhan memperlihatkan itu semua, sudah seperti buih yang ada di atas lautan di bumi ini. “Sudah, Mi,” kata Rindu dengan senyum tipis. “Ayo, Mami kembali ke kamar. Mami istirahat aja. Hari ini Mami libur, kan?” “Iya.” “Aku juga sudah belikan Mami sarapan. Semalam Mami berangkat buru-buru, ya. Padahal aku sudah siapkan makan malam.” Farah meringis. “Mami lupa ada janji, Nak.” Rindu menatap lekat manik matai bunya yang sayu. Kantung hitam yang melingkari mata sang ibu makin terlihat seperti panda. “Lain kali jangan lupa, ya, Mi. mami sering ingatkan aku untuk makan tapi Mami sendiri mengabaikan.” Farah tersenyum tipis. Diusapnya penuh lembut puncak kepala sang putri. “Anak Mami sudah besar, ya. Mami ingatnya kamu masih kecil terus.” Mendengar ucapan ibunya, Rindu tertawa lantas ia pun berkata karena waktu bertemu ibunya jarang sekali tercipta. “Mi,” kata Rindu sembari mengambil tangan ibunya yang lembab. “Doakan aku betah di tempat yang baru, ya.” “Lho?” farah tampak terkejut. “Kamu resign?” “Enggak, Mi, tapi dipindahkan ke Senayan.” Setidaknya ucapan Rindu barusan membuat Farah lega. “Kenapa dipindahkan? Kamu berbuat ulah?” “Enggak, Mi.” Rindu menggeleng tegas. “Tapi diminta untuk rolling di sana. Masa tiga bulan ke depan sebagai acuan untuk aku promosi jadi head teller.” Senyum Farah yang semula tak ada, perlahan mulai tertarik meski tipis. “Naik jabatan gitu, ya?” “Kurang lebih.” Farah memeluk Rindu dengan eratnya. “Doa Mami selalu menyertai kamu, Nak. Kamu anak baik. Mami beruntung sekali memiliki kamu.” “Aku juga beruntung memiliki Mami.” Dibalas pelukan itu tak kalah erat. Tak peduli apa pun yang orang lain katakan mengenai ibunya, Farah adalah wanita terhebat versi Rindu. Dengan tangan dan kakinya Rindu berjanji, akan segera mengakhiri apa yang ibunya lakukan di luaran sana. “Ya sudah sana kamu siap-siap. Nanti terlambat. Dijaga nama baik kamu, ya, Nak. Semakin tinggi jabatan seseorang ada di pundaknya semakin besar juga tanggung jawab yang menyertainya. Jangan sampai membuat kecewa banyak orang.” Rindu mengangguk dengan cepat. “Anak kebanggaan Farah harus berhasil. Jangan seperti Mami, ya, Nak. Jangan.” *** Sebelum ia benar-benar memasuki gedung BBRI cabang Senayan, Rindu mengamati betapa berbeda cabang yang akan menjadi kantornya ini. Mungkin karena kawasannya termasuk dalam kategori elite, atau memang letak bangunannya yang strategis, makanya gedung berkaca biru ini terlihat mentereng sekali. Tas ranselnya bergemirincing mengikuti gerak langkahnya masuk ke dalam. Ia sudah mengenakan seragamnya. Rambut pirangnya juga sudah ia sanggul rapi serta wajahnya dipulas make up tipis. Untuk hari pertama, ia harus menemui wakil kepala cabang terlebih dahulu. Pastinya ada beberapa wejangan dan perkenalan singkat sebelum ia benar-benar memulai aktifitasnya seperti biasa. “Pagi, Pak,” sapa Rindu dengan ramah pada salah seorang sekuriti yang berjaga. “Saya ingin bertemu Bu Marta.” Tak lupa surat pemindahtugasannya ia berikan sebagai bukti akses untuk menemui pejabat di kantor cabang. Tak sembarang orang bisa bertemu dengan mereka kecuali para staff. Pun staff dari cabang lain, mereka harus memiliki surat izin khusus yang sebelumnya sudah terverifikasi sebelumnya. Rindu biarkan sekuriti tadi mengecek surat yang ia bawa. Sejenak ia mengamati ruang lobby di mana sudah mulai ramai dikunjungi nasabah. Terdengar familier untuk sapaan karena memang sudah menjadi Standart Operasional Prosedure mengenai kata sapaan baik di teller atau customer service dalam melayani nasabah. Juga mesin penghitung uang yang dipergunakan teller mengecek kembali, apakah benar jumlah uang yang disetorkan sama dengan jumlah uang yang dihitung manual. Sesekali juga matanya bersirobok dengan para staff yang berseragam sama dengannya. Ada ulas senyum tanpa kata yang menyambut Rindu di sana. Harap gadis berambut pirang itu tentu saja, ia diterima dengan baik di sini. “Mari, Mbak Rindu, saya antar.” Gadis itu tersenyum lebar. “Terima kasih, Pak Anton.” Ia juga sempat melirik nama yang tertera di badge pada seragam sekuriti tadi. “Kebetulan Bu Marta hari ini izin enggak masuk kerja, Mbak. Jadi Mbak RIndu langsung bertemu dengan Pak Bujang.” Rindu sedikit menahan langkahnya menaiki tangga. Ada ragu yang merayap di hatinya, apa seorang Putra Bujang Anom ini sekaku yang ia dengar? Kendati demikian, ia tak bisa berbalik arah, kan? Ia sudah menerima tawaran pemindahannya. Ia harus menghadapi apa yang ada di depannya. Tak boleh banyak mengeluh karena dunia bekerja, berbeda dengan dunianya selama kuliah apalagi sekolah. Dalam iring langkah mereka menuju lantai empat—Anton bilang kalau ruangan Bujang ada di lantai empat—ada saja obrolan random yang tercipta. Yang membuat Rindu berusaha untuk tak canggung menjawab sebagai bentuk pengakraban diri. Hingga tiba lah ia di ruang berpintu kaca di mana tertera tulisan ‘Kepala Cabang’ di sana. Serupa dengan milik Sonia sewaktu ia sesekali ke ruangan kepala cabang di sana. “Masuk,” perintah suara yang cukup tegas juga berat dari dalam sana. “Nah, Mbak dipersilakan masuk.” Anton mempersilakan Rindu untuk masuk ke dalam ruangan yang kini sudah terbuka. “Selamat pagi, Pak,” sapa Rindu dengan ramah. Matanya pun menatap pada sosok yang mengenakan kemeja light grey dengan dasi hitam menghias di sana. Rindu pikir, atasannya ini sudah mulai timbul uban di bagian kepalanya. Atau minimal wajahnya menunjukkan raut yang sudah cukup tua. Tapi Rindu salah. Saat wajah itu mendongak dari berkas yang tengah dipelajari, Rindu terpesona. Terutama saat pria di depannya ini melepas kacamata kotaknya. Benar mengenai rumor yang beredar kalau Putra Bujang Anom ini tampan, tapi … “Kamu mau pandangi saya berapa lama? Jangan buang waktu saya. Duduk. Perkenalkan diri kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN