Rindu mengerjap pelan. Tak menyangka kalau respon orang yang baru ia temui seperti ini.
“Masih mau berdiri di sana?” tanya si pria yang memecah lamun Rindu.
“Ah, enggak Pak.” Rindu melipat bibirnya. Mencoba tersenyum setulus hati seikhlas jiwa, meski mendadak hatinya gondok luar biasa. Bagaimana bisa pertemuan pertama dengan sang bos malah memberi kesan kalau di tempat barunya tak nyaman? Astaga! Dia pun berjalan menuju tempat yang ditunjuk Bujang.
Ganteng tapi nyebelin gini, kadar gantengnya berkurang jauh! Gerutu Rindu dalam hati.
“Ini surat pemindahtugasan saya, Pak.” Sebelum ditanya, Rindu sudah lebih dulu memberikan surat pada Bujang yang kembali sibuk dengan laporannya. Segera saja otaknya membandingkan dengan perlakuan Sonia serta Bujang.
“Bu Sonia enggak mungkin seperti ini. Yawlaaa … baru hari pertama sudah bikin aku jengkel!” Rindu menatap lawan bicara yang sekaligus bosnya ini.
“Saya sudah baca surat itu,” kata Bujang singkat tanpa berusaha untuk mengangkat matanya. Bagi Bujang pagi ini sibuk sekali. Laporan yang diminta pusat cukup banyak dan hari ini Marta ada izin yang tak bisa ditunda begitu saja. Harusnya pagi ini Rindu bertemu dengan Marta dan beberapa urusan lain bisa Bujang handle dengan baik. “Sebentar, saya masih repot.”
Tak ada yang bicara setelahnya karena Bujang sendiri masih harus menyelesaikan bagian akhri dari laporannya. Jangan sampai ada kesalahan saat memberi informasi terutama jika berkaitan dengan data.
Sementara itu, Rindu hanya terdiam sembari memperhatikan ruangan yang kini memenuhi sudut pandangnya. Ruang yang di sisi kanan kirinya terdapat lemari dengan banyak odner serta sofa yang cukup untuk ditempati lima sampai enam orang. Juga terdapat show case atau lemari pendingin berisi macam-macam minuman kaleng.
“Rumah kamu di mana?” tanya Bujang tiba-tiba yang membuat Rindu sedikit berjengit. Selain karena kaget mendadak ditanya, jenis pertanyaan itu juga agak … aneh. Menurut Rindu, lho. “Saya butuh tau perjalanan kamu dari rumah ke sini. kalau sampai terlambat? Yang jelek penilaiannya pasti cabang Senayan.”
Mulut Rindu terbuka lebar, mirip Gurame yang kehabisan oksigen, beruntung Rindu tak perlu sampai megap-megap segala. Ini semua karena ucapan Bujang yang terdengar sangat amat menyebalkan. “Saya enggak terlambat, Pak. Saya datang ke sini hari ini,” tekan Rindu pada kata ‘hari ini’ agar bosnya tau, ia bukan sengaja terlambat. Sejak satu jam lalu sudah ada di sekitaran gedung tapi jam pada surat tertera menemu Marta di jam Sembilan pagi. “Tepat waktu,” tukas Rindu dengan nada yang ia tahan-tahan. Jangan sampai terdengar ada nada kesal di sana.
“Bagus. Saya harap itu dipertahankan. Di sini ada aturan tersendiri, berbeda dengan Gajah Mada.”
“Saya tau,” sela Rindu dengan cepat.
Ucapan barusan menggugah Bujang untuk mengangkat matanya dari deret laporan yang ada. “Kamu tau?” tanyanya dengan nada sangsi. “Coba sebutkan.”
“Peraturan dasar hampir sama semuanya, kan, Pak? Kita di bawah management yang sama. Aturan dan SOP yang dijalankan juga sama. Lantas bagian mana yang berbeda? Apa Bapak buat aturan tersendiri di Senayan ini?”
Bujang menatap Rindu tak percaya. “Seharusnya kamu bertemu dengan Bu Marta hari ini.”
“Saya juga sepertinya ingin bertemu Bu Marta saja,” sahut Rindu tanpa rasa bersalah. Mata mereka bersirobok akhirnya. Selama sepersekian detik, tatapan itu tak terputus sama sekali. bukan untuk saling mengagumi tapi untuk menilai dan memberi penilaian di dalam hati, seperti apa lawan bicara mereka hari ini.
Di mata Bujang, Rindu kelewat berani.
Di mana Rindu, Bujang sangat menyebalkan.
Jadi …
“Ikut saya,” kata Bujang sembari merapikan dasinya meski sebenarnya itu tak perlu. Ia melangkah dengan langkah lebar, berharap segera menyudahi perkenalan mereka. toh Rindu nantinya ada di lantai dasar. Bertemu dengan customer serta memberikan pelayanan terbaik selama bekerja di sini. Kalau pun ia merasa Rindu bekerja serampangan, ia bisa memundurkan uji coba gadis ini sebagai head teller.
Kalau Marta sudah kembali bekerja, ia harus berdiskusi dengan wakilnya mengenai Rindu. semoga saja ini hanya perasaan tak sukanya karena sang gadis kelewat berani. Jangan sampai citra Senayan yang selalu terlihat sempurna serta menyabet banyak gelar, harus runtuh hanya karena kehadiran Rindu di sini. Kalau memang itu sampai terjadi, Bujang tak segan mendepaknya jauh-jauh.
Bujang masih bisa mendengar langkah kaki Rindu di belakangnya. Ia tak ingin banyak bicara selain dirinya tak memiliki bahan obrolan lain, ia juga sudah bisa menilai kalau Rindu ini termasuk orang yang banyak bicara. Enggan ia tanggapi orang yang terlalu banyak omong.
Rindu berjalan dengan sedikit berdecak, tapi berusaha dalam tiap langkahnya menuruni tangga untuk menghilangkan kekesalan yang timbul mendadak ini. Jangan sampai perlakuan bos barunya mempengaruhi kinerjanya selama ada di sini. Memang ini keinginannya ada di sini? Ia sendiri kaget dipindahtugaskan. Jadi jangan merasa, Rindu ini staff buangan. Ia tak terima diperlakukan seperti itu. Bujang memberi kesan pertama kalau Rindu adalah staff teller yang bisa dioper sana sini karena kerjanya yang kurang mumpuni.
“Siang, Pak,” sapa salah satu staff frontliner yang ada. Kebetulan di floor tak terlalu ramai nasabah yang menyetorkan uang atau memiliki urusan dengan bagian kasir. Hanya terlihat dua orang yang duduk di meja customer service yang mana sudah ditangani dengan baik.
“Oiya perwakilan saja. Ada yang harus jaga di depan,” perintah Bujang yang lantas dikerjakan tanpa kata oleh para bawahannya. Ada Dela serta Yuni di bagian teller, Ayana sebagai head teller. Sementara Liana sebagai kasir merangkap sebagain teller untuk nasabah prioritas.
Della yang mengambil alih bagian teller karena nasabah yang ada juga belum ada. Waktu yang sempit bisa dipergunakan untuk Bujang memperkenalkan Rindu pada mereka semua.
“Seperti yang Bu Marta katakan, ada staff teller yang akan bergabung dengan kalian di sini. Kita tau kalau Ayana tiga minggu ke depan resign,” kata Bujang sembari melirik ke arah Ayana. “Saya enggak bisa banyak berkata apa-apa selain mendukung keputusan Ayana.”
“Terima kasih, Pak,” kata Ayana dengan senyumnya yang tulus.
“Jadi sedih,” respon Yuni yang berdiri di samping Ayana. Ia sedikit menyandarkan kepala di bahu Ayana yang sudah ia anggap sebagai seorang kakak. Ayana sendiri terlihat tak keberatan, justru mengusap lengan Yuni dengan lembutnya. Aura keibuan yang Ayana miliki, juga ditangkap oleh Rindu yang sejak tadi memperhatikan mereka semua.
“Itu lah kenapa hari ini kita kedatangan staff teller yang baru.” Bujang melirik ke arah Rindu yang berdiri tak jauh darinya. “Silakan memperkenalkan diri.”
Rindu sekilas menatap Bujang lalu mengangguk kecil. “Terima kasih, Pak.” Ia juga melangkah sedikit ke depan. “Perkenalkan nama saya Rindu Anjani Sari. Saya di sini ditugaskan sebagai teller. Saya berharap, rekan sekalian bisa membantu saya beradaptasi dengan cepat di kantor ini.”
Senyum Yuni dan Ayana menyambut Rindu serta uluran tangan Yuni yang lantas disambut Rindu dengan semringah.
“Welcome to Senayan Family’s,” seru Yuni dengan riangnya. “Aku Yuni, dan ini Mbak Ayana.”
“Hallo, Kak,” sapa Rindu tak kalah ramah. Satu hal yang ia pelajari tanpa memerlukan buku di dalamnya; sapaan di tempat baru. Semuanya ia panggil dengan ‘Kak’ atau ‘Mbak’. Bukan untuk membuat tua seseorang, tapi rasanya take tis ketika bertemu untuk pertama kalinya, memanggil dengan sebutan nama. Siapa tau lawan bicaranya jauh lebih tua dalam segi usia. Memberi kesan kalau dirinya kurang santun, kan? Mungkin kalau sudah berjalan seiring waktu yang ada, pastinya akan ia ketahui sendiri, siapa yang harus ia panggil dengan sapaan ‘Kak siapa yang tidak.
“Kalian saling mengakrabkan diri. Saya kembali ke atas. Rindu sudah bisa normal bekerja. Sementara waktu bisa gunakan akses Ayana untuk membuat laporan harian. Pak Kurniawan bilang, untuk akses kamu di sini masih dalam proses pemindahan. Untuk absennya juga. Tadi kamu sudah coba mneggunakan finger print?”
Rindu menggeleng pelan.
“Coba sekarang, siapa tau sudah bisa login dengan data kamu.”
Gadis berambut pirang itu hanya mengangguk tak membantah ucapan Bujang. Sampai pria itu meninggalkan area frontliner beserta beberapa wejangan khusus terutama untuk berhati-hati saat menghitung uang, juga waspadai uang palsu, Rindu tak bicara sepatah kata pun. Entah kenapa Bujang berhasil membuat gadis itu kehilangan suaranya. Minat untuk sebatas merespon dengan, “Ya, Pak.” atau “Baik, Pak.” itu tidak ada sama sekali.
“Sudah dicoba, Rindu?” tanya Ayana begitu melihat gadis yang memasuki area teller melangkah mendekat. Sejak kedatangannya tadi, Ayana sudah meyakini kalau Rindu adalah orang yang akan bekerja di sini menggantikannya. Meski harus melewati masa percobaan terlebih dahulu, tapi setidaknya, ia sudah bisa take over pekerjaan yang kini ia tangani.
“Sudah, Kak.” Rindu menjawab diiring senyum tipis. “Nanti aku buat berita acara datang terlambat biar enggak dipotong uang makannya.”
“Iya. nanti aku tanda tangani, ya. Kamu kasih ke Pak Bujang biar langsung diproses.”
Yawlaa … kenapa harus bertemu lagi dengan Bujang? “Baik, Kak,” kata Rindu dengan pasrahnya. “Aku mengerjakan apa hari ini?”
“Bantu Dela aja, ya.”
Rindu tersenyum riang. Di depan, meski hanya obrolan ringan selama menangani nasabah yang hilir mudik berdatangan, tapi suasana yang tercipta cukup membuat Rindu kerasan. Ia merasa ada di cabang Gajah Mada juga. Semuanya tak ada yang bersikap dingin atau ketus seperti yang Rindu takutkan. Hanya satu yang ia tak suka selama berada di sini; Putra Bujang Anom.
Untungnya … sang bos ada di atas. Ia tak berhubungan terus menerus dengannya.
***
Tiba di rumah, tak ada sang ibu seperti biasanya. Padahal ia sudah mempercepat kepulangannya meski harus terjebak macet di sekitar Karet, Sudirman. Jarak rumahnya dengan Senayan cukup memakan waktu. Makanya Rindu mulai tadi pagi, menyetel alarm ponselnya lebih pagi ketimbang biasanya. Mengingat waktu serta jarak, ia teringat ucapan Bujang yang menurutnya meremehkan.
Ia juga tak ingin terlambat sampai di kantor. sekali ia terlambat, bukan hanya uang makannya yang terancam dipotong, tapi juga dalam hal pekerjaan, pastinya tak terlalu fokus. Bisa jadi ia tak sarapan dan membuatnya kelaparan untuk waktu yang cukup lama sampai makan siang tiba. Makanya ia berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terlambat.
“Ck! Pantas saja digosipkan enggak punya jodoh. Kaku banget jadi cowok. Ih … amit-amit, semoga enggak berjodoh dengan tipe pria macam itu!” kata Rindu bergidik ngeri. Ia pun segera menuju dapur dan memasak untuk makan malam. Meski hanya untuk dirinya, tapi ia terbiasa makan dengan hasil masakannya sendiri.
Belum genap langkahnya menuju dapur, ponselnya berdering cukup nyaring. Agak malas, ia pun meraih ponsel yang sengaja ia letakkan di meja dekat TV di ruang depan. Nama Dio muncul di layar. Meski agak enggan, tapi Rindu tetap mengangkatnya.
“Ya?”
“Baru sampai?” tanya Dio di mana terdengar sedikit berisik lalu lalang kendaraan.
“Iya. Lo baru balik?” tanya Rindu sembari melirik ke arah jam dinding di rumahnya. Seharusnya Dio juga sudah sampai di rumahnya. Yang ia tau, rumah Dio tak terlalu jauh dari kantor Gajah Mada.
“Enggak,” kata Dio dengan cengengesan. “Gue ada di depan gang rumah lo, Rin.”
“Eh?” Rindu terkejut jadinya. “Ngapain?”
“Makan, yuk. Gue lapar. Lo pasti belum makan, kan?”
“Enggak usah.” Rindu menolaknya. Ia tak ingin terlalu lama bersama Dio. Bukan tak ingin bicara dengan pemuda itu, sungguh, di mata Rindu sang pemuda baik dan sopan. Hanya saja kalau kedekatan mereka ditanggapi dengan perasaan yang lain oleh Dio, ia tak bisa.
Rindu masih belum ingin berhubungan dengan pria dalam hal asmara.
“Gue sudah ada di sini masih juga lo tolak, Rin?” Dio masih berusaha keras. “Ayo, lah. Sekali ini saja. lagian lo hutang cerita mengenai keseruan lo ada di sana.”
Rindu mendesah pelan.
“Gue enggak sendiri, kok. Ada Riana juga.”
Tak butuh waktu lama, Rindu mendengar suara Riana di ujung sana. Yang mana membuatnya menyetujui ajakan Dio. Padahal ia sudah bersiap untuk masak makan malam. Ia pun bersiap di mana terlebih dahulu berganti seragam. Matanya terusik dengan tempelan di kulkas. Ada memo yang tertempel di sana yang mana ia tau, tulisan tangan siapa.
Rin, Mami pergi ke Bandung tiga hari, ya. Ada bookingan.
Rindu menatap tulisan tangan itu dengan sendu.
“Kapan uang aku cukup untuk membuat Mami berhenti?” lirihnya pelan.