Ih kok pikiranku lagi-lagi melenceng ke Ustaz Sam? Efek kangen kah? Plakk!
…..
Aku merinding mendengar cerita yang semalam keluar dari bibir Adinda. Omong-omong, aku sama sekali enggak menyangka kalau si Adipati ternyata anak badung di sekolahnya dulu.
Pikiranku kembali melayang ke percakapan dengan Adinda semalam.
"Terus kenapa kamu nyuruh aku hati-hati?"
"Karena Bima suka kamu."
"Hah?" Aku mendelik.
"Kok kamu bisa tau? Kata siapa?" Dina bertanya dengan polosnya.
Benar juga, dari mana Adinda tau?
"Bima cuma ramah ke cewek yang disukanya. Kalau ke cewek yang nggak disukanya, dia bakal kasar dan ketus. Sampai enggak ada cewek yang mau berurusan sama dia. Aku kaget makanya dengar kalian sebut nama Bima. Apalagi tadi aku denger kamu bilang dia yang nyapa kamu duluan, kan?"
Aku mengangguk ngeri.
"Wah, udah jelas tuh! Dia suka kamu!"
Aku menggeleng kuat-kuat. Berusaha menepis semua pikiran campur aduk di otakku. Memangnya apa yang bisa membuat si Bima menyukaiku? Aku mah apa atuh? Cuma remahan malkist.
Kami sedang berkumpul di aula gedung kampus sekarang. Ini hari terakhir Ospek, maka dari itu hari ini lebih santai, nggak seperti kemarin yang tegang. Hari ini perkenalan BEM dan UKM di kampus. Dan entah mengapa, aku sama sekali nggak tertarik. Padahal sejak tadi Rani sudah mengabsen beberapa kakak tingkat yang ganteng menurutnya.
Dan seleraku bukan kakak tingkat itu. Gantengan juga Ustaz Sam. Eh...
Omong-omong Ustaz Sam, ia meliburkanku selama hari Ospek berlangsung. Dia memberi alasan agar aku fokus saja pada Ospek, dan tidak kecapekan. Itu yang disampaikan Nyai Minah padaku. Yang aku tau Ustaz Sam pasti masih enggan melihatku.
Pandanganku mengedar, dan jatuh pada si Adipati yang duduk paling depan. Ia diam di tempatnya, fokus mendengar presentasi dari BEM sekarang. Sorot matanya tajam dan dingin. Sungguh berbeda saat berbicara padaku kemarin sore. Apa benar ya yang dikatakan Adinda? Kok rasanya wajah baik-baik seperti itu nggak cocok dengan perilaku badung. Ganteng gitu. Benar kata Dina, kayak Oppa. Tapi masih ganteng Ustaz Sam kemana-mana.
Ih kok pikiranku lagi-lagi melenceng ke Ustaz Sam? Efek kangenkah? Plakk!
"Abel, kamu mau masuk UKM apa?" tanya Rani yang melihatku sejak tadi bengong. Aku mengerjap setelah sadar.
Berpikir sejenak. Tepatnya sih pura-pura berpikir, karena aku sama sekali nggak tertarik dengan ekstra di kampus. Aku lebih suka jadi anak perpustakaan terus baca n****+ daripada rapat. Kalau ada ekstra dance kpop aku pasti mempertimbangkan. Sayangnya nggak ada ekstra seperti itu. Ya kali dance kpop pakai jilbab?
"Emmm... belum tau. Abis bagus semua." Pencitraan dikit enggak apa-apa, kan?
"Aku mau ikut UKM olahraga ah." Rani menjawab tanpa harus kutanya duluan. Dan jawabannya itu tentu saja membuatku tercengang. Nggak kusangka Rani yang kulihat feminim itu memilih Olahraga.
"Oh ya? Spesialis apa?"
"Futsal!"
Semakin tercenganglah aku.
~~~
Perkenalan terakhir yaitu dari UKM Rohis. Mereka menampilkan grup hadrohnya, dengan slogan sejuk di hati. Duh, benar sih sejuk. Cowok-cowok berpeci yang vokalnya bagus itu memang menyejukkan hati.
Kami akhirnya kembali ke ruangan masing-masing setelah aula dibubarkan. Kalau tidak salah, kata Kak Bahrais, sebentar lagi alarm tanda berkumpul di lapangan akan dibunyikan. Dan kami disuruh berbenah mengemasi tas kami di dalam ruang untuk dibawa. Apel terakhir sore hari ini berjalan khitmad. Dan itu tandanya, selesailah sudah prosesi orientasi ini. Aku kini resmi jadi mahasiswa baru! Yey!
"Jangan dorong-dorongan!"
"Yang tertib!"
Suara lantang itu berasal dari Kakak senior yang lagi-lagi memakai toa. Mereka sedang menertibkan barisan putra yang terlihat tidak beraturan. Para MaBa putra saling dorong. Sedangkan kami MaBa putri yang berada di belakang hanya bisa pasrah melihat kelakuan mereka.
Begitu apel sore berakhir, mereka bergegas membubarkan barisan dan pulang. Sayangnya pintu gerbang keluar hanya satu yang dibuka, dan terjadilah dorong-dorongan itu. Mereka pasti benar-benar ingin lekas pulang, karena hari sudah sangat sore. Bahkan sebentar lagi maghrib. Jadi sekarang giliran MaBa Putri yang harus sabar mengantre di belakang.
"Woy Mas jangan dorong, dong!"
"Santai dong."
"Eh ati-ati!"
"Aduh, kalem dong!"
Barisan semakin tidak beraturan, sampai-sampai kakak tingkat turun dari atas panggung sambil membawa toa. Mereka kewalahan. Sedangkan kami MaBa putri pada akhirnya dipaksa mengalah dan terlambat pulang. Aku nggak bisa membayangkan keadaan ketika pulang ke pesantren nanti. Sudah pulang telat, ditambah harus mengantri mandi karena Isya ada pengajian rutin.
Aish... Jinjja!
Bruk!
"Oy, lu sengaja ya dorong gua?"
"Nggak kok nggak sengaja."
"Tapi muka lu sengaja gitu!"
"Sorry."
Seruan itu terdengar di antara ributnya barisan putra. Aku yang keburu kepo, meloncat-loncat untuk melihat asal suara keributan itu. Dan langsung terkejut begitu tau siapa orang yang tengah bertengkar itu.
"Loh, Bima?" monologku. Aku terperangah sekarang melihat Bima yang menatap garang pada cowok di belakangnya. Cowok itu bukannya takut malah seperti mencari ribut pada Bima. Aku bisa melihat dari kejauhan bagaimana reaksi Bima yang sudah ingin menonjok muka cowok itu.
"Lah, Bel, itu bukannya si Adipati?"
Rani menepuk pundakku dan ikut berjinjit di sampingku. Dia memastikan penglihatannya sambil bertanya padaku.
"Eh bener iya, Bima."
Aku mengangguk mengiyakan.
"Bima mau berantem tuh, Bel!" Rani dengan antusias menepuk pundakku lagi. Sontak aku melihat ke arah yang ia tuju, dan terkejut untuk kesekian kalinya.
Sekarang Bima sudah menarik kerah kemeja putih cowok itu dan langsung mengarahkan tinju ke rahangnya. Cowok itu sepertinya meringis kesakitan. Tapi sayangnya cowok itu tidak hanya diam, ia membalas. Mereka kini terlibat adu jotos. Aku menutup mulutku, ngeri. Benarkah itu yang kulihat si Bima? Yang kemarin bertanya dengan ramahnya dan tatapan lembutnya padaku? Namun tatapan Bima kini sangat berbeda. Tajam dan membuat siapapun bergidik takut.
Kak Bahrais kulihat akhirnya melerai keduanya, dibantu seorang kakak tingkat kelompok lain. Yang membuatku sebal yaitu para cowok di sekitar mereka sama sekali nggak melerai keduanya. Mereka hanya menonton. Atau kupikir pasti mereka sedang bertaruh siapa yang akan menang dalam perkelahian tersebut.
Menyebalkan bukan?
"Bel, kamu nggak apa-apa?"
Kali ini tepukan halus yang kudapat dari Rani. Dia mengelus pundakku yang lebih tinggi darinya.
Aku menatapnya dengan nanar. "Ran, itu beneran Bima? Si Adipati kelompok kita? Aku nggak salah lihat, kan? Atau cuma mirip aja, mungkin?"
"Hah?"
Rani tidak mengerti maksudku. Jelas-jelas tadi aku membenarkan sendiri bahwa itu Bima, Si Adipati.
Sekarang, yang kutahu, aku hanya berharap bahwa dua orang yang tadi berkelahi itu salah satunya bukan Bima.
~~
"Kamu kenapa, Bel? Kok melamun?"
Sentuhan pulpen di punggungku membuatku kegelian. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Mia bertanya padaku. Mengedikkan bahuku, aku kembali larut pada materi yang disampaikan Ustazah Aisyah di depan.
"Sekian hari ini. Bu Lurah pimpin salam!"
"Wassalamualaikum, Ustazah!"
"Waalaikumussalam wa rahmatullah."
Begitu Ustazah Aisyah mengemasi bukunya, Mia dan Dina langsung menarikku kembali ke kamar. Mereka menggandeng lenganku sembari berjalan.
"Kenapa kok lesu?" Dina bertanya padaku.
Aku menggelengkan kepala merespon pertanyaannya. "Nggak apa-apa."
"Bener?" Kali ini Mia yang bertanya. Aku mengangguk, tersenyum menatapnya.
Meskipun aku sudah mengabaikan perasaanku sejak tadi sore, aku tetap saja kepikiran. Aku masih memikirkan Bima yang berubah drastis seperti itu. Seharusnya tidak terlalu kupusingkan, kan? Tapi mengapa aku kepikiran terus?
"Bima gangguin kamu tadi?"
Akhirnya sebuah pertanyaan sukses membuatku menoleh antusias. Mia menaikkan alisnya menunggu responku.
"Bukan gangguin aku," kataku.
"Terus?"
"Aku yang secara gak sadar mikirin dia, karena keganggu sama sikapnya yang berubah drastis tadi."
"Bima kenapa?" tanya Dina ikut penasaran.
"Tadi dia berantem sama anak kelompok lain. Sampai berdarah gitu." Aku menunduk memandang kedua kakiku.
Mereka bersitatap. "Berantem?"
"Berdarah?"
Aku mengangguk lemas.
"Kok kamu mikirin dia sih, Bel? Bukannya kamu suka sama Ustaz Sam? Harusnya mikirin Ustaz Sam aja." Dina akhirnya bersuara.
Aku menyetujui ucapannya. Benar juga. Untuk apa aku memikirkan kejadian tadi terus?
"Dia itu kepikiran karena kata Adinda, Bima suka sama Abel, tapi Abel suka cowok kalem nan baik-baik. Jadi Abel kecewa deh."
Mia tertawa keras-keras.
Aku mencebik ke arahnya. "Siapa yang kecewa?"
"Kamu lah, Bel. Aku tau kamu mau jadiin Bima sebagai cadangan kalau kamu nggak kesampaian ngedapetin hatinya Ustaz Sam," celetuk Mia. Gadis itu kini mempengaruhi Dina untuk ikut tertawa bersamanya.
Aku memberengut. "Enak aja!"
~~
Pukul 03.00 WIB, aku terbangun. Aku merasakan perutku melilit dan sakit sekali. Efek samping dari tadi malam makan nasi padang yang sambalnya pedas. Aku bergegas berjalan menuju kamar mandi dengan berbekal senter.
Aku tahu kalau lampu lorong menuju kamar mandi pasti dimatikan. Dan baru dihidupkan kembali nanti pukul empat. Tapi aku tidak sabar jika harus menunggu sampai jam itu. Jadi kuberanikan diriku berjalan sendirian mengabaikan rasa takutku. Apalagi kini aku ditemani suara jangkrik.
Buru-buru aku masuk kamar mandi.
Begitu keluar kamar mandi, mau tak mau aku harus kembali diserang rasa takutku. Aku berjalan menuju kamarku sambil merapalkan doa dalam hati. Sumpah ya, tadi sewaktu berjalan ke kamar mandi rasanya biasa saja, namun sekarang jadi menyeramkan. Aku kembali membaca doa.
Terkejut aku saat tiba-tiba sebuah bayangan melintas. Aku mencoba mengabaikan. Tak berhenti aku membaca doa, justru sekarang semakin keras.
"Astagfirullah."
"Astagfirullah."
"Ya Allah lindungi Abel."
"Arabela!"
"Aaaaaaaaaaaa!!!!"
Senterku kulempar begitu saja hingga hampir pecah. Aku menutup mataku kuat-kuat. Tak berani melihat sosok yang tadi memanggilku.
Sosok itu sekarang malah tertawa geli. Dan alis sebelah kananku langsung terangkat begitu mengenali suaranya. Perlahan aku membuka mata kananku.
"Bima?"
~~