8- Si Adipati

1153 Kata
  Memang minta maaf gak bisa menyelesaikan semuanya, tapi setidaknya saya sudah berusaha     •••     Gawat! Ini gawat! Mau ditaruh dimana mukaku setelah Ustaz Sam membentakku karena kedapatan memandangnya diam-diam?!   Begini jadinya kalau Ustaz Sam menjadi mentorku. Aku jadi tidak bisa fokus dan malah berakhir memperhatikannya. Kebangetan kamu, Bel! Jaga imej dikit, kek!   "Afwan, Ustaz. Saya janji nggak akan mengulanginya." Aku menunduk. Takut menatap Ustaz Sam yang langsung berdiri.   Nyai Minah datang menjadi malaikat pelindungku. Ia sedikit tersenyum saat berujar, "Sudah, Sam. Mungkin dia lelah akibat TM dari tadi pagi. Pikirannya jadi melantur."   Sudut pipiku berkedut. Iya, benar. Itu alibi yang tepat. "Iya, Ustaz. Saya hanya lelah." Hayati lelah sama Abang! Eh!   Ustaz Sam memandangku dengan sangsi sebelum akhirnya ia menutup semua bukunya. "Saya nggak sanggup jadi mentor dia, Bu."   Aku mengangkat kepalaku dengan gerakan cepat. "Apa?"   "Sam.." Nyai Minah berusaha membujuk.   "Saya nggak bisa ajar orang yang nggak fokus dan malah bermain-main. Nggak serius!" Ucapannya dingin. Ditambah matanya yang menyorotkan ketidaksukaan. Rasanya bagai menusuk seluruh tubuhku. Sedih rasanya diperlakukan seperti itu. Tapi aku nggak hanya diam.   "Saya kan sudah minta maaf, Ustaz."   Ustaz Sam menatapku lagi setelah aku berkata seperti itu. "Minta maaf? Apa minta maaf bisa menyelesaikan semuanya?" tanyanya dingin.   "Memang minta maaf nggak bisa menyelesaikan semuanya, tapi setidaknya saya sudah berusaha. Saya memang sedang lelah. Sejak pagi ada TM dan baru pulang sehabis ashar tadi. Pikiran saya jadi kemana-mana." Aku menjelaskan dengan lantang. Tidak goyah meski ditatap dingin oleh Ustaz itu.   Nggak kusangka ternyata begini sikap aslinya. Kalau begini, aku ingin keluar saja. Nggak menyangka kalau ia itu alasanku dulu sangat ingin mondok disini. Mataku berkaca-kaca. Melihatku ingin menangis, mungkin ia iba. Ia menghela napas. "Oke. Kesempatan kedua."   Setelah mengucapkan itu, ia melenggang begitu saja. Nyai Minah datang mengelus punggungku dan menenangkan. Tapi aku masih sedih, dan masih ingin menangis. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu oleh orang yang disuka.   ~~   Hari Pertama Ospek kujalani dengan lesu. Sampai-sampai berulang kali aku ditegur karena kedapatan melamun. Huft.   Andai saja aku nggak menatap lama-lama pada Ustadz Sam. Andai aku bisa menahan bisikan setan. Andai... eh tapi bukan sepenuhnya salahku. Suruh siapa dia ganteng?! Hehehe.   Tapi Ustaz Sam nggak seharusnya berkata seperti itu bukan? Membentakku dengan k********r di depan Ibunya. Apalagi mengancam untuk berhenti menjadi mentorku lagi. Hemm.. dia kok nyebelin lama-lama.   "Bel, catat materi ini di papan tulis."   Aku tersentak setelah disenggol Rani, teman sekelompokku. Kak Bahrais di depan sana sedang mengacungkan buku berisi materi dan spidol. Aku akhirnya maju dengan bahu lunglai. Meski mereka tahu tulisanku jelek, tapi Kak Bahrais tetap keukeuh menjadikanku sekretaris kelompok. Alasannya satu, 'Nggak ada lagi yang mau, kecuali kamu'.   Begitulah aku yang nggak bersemangat pada hari pertama Ospek. Bahkan hingga menjelang akhir pun, aku masih nggak bisa fokus. Ini semua gara-gara Ustaz Sam!   "Kamu mau balik ke pondok?"   Tiba-tiba dan tak kuduga sebelumnya, si Adipati kelompokku mengajakku mengobrol. Ia tersenyum miring menatapku. Aku kebingungan awalnya, tapi akhirnya menjawab dengan seadanya. "Iya ini, mau balik. Tinggal nunggu jemputan aja."   "Oh, pakai mobil jemputan, ya?"   Aku mengangguk kecil. Pesantrenku memang menyediakan mobil jemputan khusus untuk Ospek di kampus. Tapi untuk santri putri saja, sedangkan untuk santri putra dibebaskan. Yang aku tau kebanyakan dari santri putra itu membawa motor masing-masing dan kemudian dititipkan di warung sekitar kampus, karena peraturan tidak boleh membawa motor saat Ospek. Padahal aku tau alasan tidak diperbolehkannya membawa motor adalah karena parkiran motornya dipakai untuk Ospek. Pintar sekali kakak-kakak itu.   Basa-basi, aku bertanya balik. "Kamu sendiri naik apa?"   Dengan santai ia menjawab. "Jalan kaki."   Mau tak mau aku mengerjap takjub mendengarnya. "Jalan? Memangnya pesantrenmu dimana?"   Ia tergelak. Aku kebingungan. "Kita satu pesantren,"  katanya.   "Apa?"   Sekali lagi ia terkekeh. Matanya menyipit ketika meredakan tawanya. "Iya, Arabela. Kamu nggak inget sama aku? Pantas aja pas kemarin kusapa kamu seolah enggak ingat sama aku. Tapi ternyata emang beneran lupa."   Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Aku memastikan apa pernah bertemu pemuda di depanku ini. Tapi gagal. Hingga pemuda itu kembali mempraktekkan adegan sore itu di lorong menuju koperasi. Ia mengarahkan tangannya di depanku.   "Kamu yang namanya Arabela?"   Aku mengernyit dalam-dalam. Seperti dejavu.   "Kamu yang namanya Arabela?"   Oh! Aku ingat!   Mengerti aku yang sudah mengingatnya, pemuda itu tersenyum kecil. "Akhirnya ingat juga."   "Oh kamu si santri aneh itu?! Eh... " Aku menutup mulutku setelah sadar sudah keceplosan.  Ternyata memang benar pemuda ini adalah pemuda yang waktu itu kami temui di lorong koperasi.   "Perkenalkan, namaku Bima."   Ia tersenyum manis. Tapi tunggu, aku melihat ada seringaian yang tersamar di senyumnya.   Aku balas tersenyum.   ~~   "Kamu udah nyari tugas buat besok, Bel? Aku belum."   Malam hari setelah mengaji, kami berdiskusi untuk melengkapi barang bawaan hari terakhir Ospek.   Aku yang tengah menulis ringkasan tentang kerajaanku menoleh pada Dina. "Ini lagi bikin. Kamu belum?"   Dina menggeleng kecil. Ia membolak-balikkan tubuhnya di sampingku, lalu mengintip tulisanku. "Kamu yakin dengan tulisan ini kamu dipilih jadi sekretaris kelompok, Bel?" gelaknya.   Aku memasang muka masam. "Anjir!"   Dina tergelak keras-keras. "Sanjange nduk, mboten kasar-kasar, nggih."   Aku menjitak kepalanya. "Ngomong kromo masih belepotan gitu."   "Abel jadi sekretaris kelompok?" Anisa menimbrung kami.   Aku tersenyum kecut. Mau bangga, tapi nggak bisa. Karena alasanku dipilih yang tidak membanggakan.   "Kamu udah, Nis?" tanya Dina kini beralih ke Anisa. Gadis itu menatap kami.   "Sudah dong. Dari tadi." Senyumnya merekah. Ia memamerkan lagi.   Aku kembali larut pada tulisanku. "Kamu nyari sih, Din. Di internet banyak."   "Nah itu, di internet nggak ada. Malah munculnya aneh."   "Emang nama kerajaanmu apa sih?" tanya Anisa. Aku ikut penasaran.   "Kerajaan Kelumpang."   Mendengarnya, spontan kami tertawa. Anisa yang paling keras tawanya. "Kok namanya aneh?"   "Kelumpang itu bukannya tumbuhan ya? Sejenis kapuk gitu, kan?" tanyaku diiringi kekehan.   Dina mencebikkan bibirnya. "Iya, kan? Aneh kan? Aku juga bingung, kayak nggak ada nama lain aja." Ia akhirnya ikut tertawa.   Kami yang sedang asyik meledek nama kelompok Dina dikejutkan oleh Mia yang baru kembali dari kamar mandi. Gadis itu menepuk bahuku sambil berkata, "Ada yang nyebut-nyebut nama kamu tadi, Bel."  Aku terkejut merasakan sakit tepukan di bahuku. Tapi aku kembali fokus pada kalimat Mia. "Nyebut gimana?"   Kami akhirnya memasang wajah serius. Diam menunggu kelanjutan ucapan Mia. "Iya, tadi pas lagi ngantri kamar mandi, aku denger ada cewek bilang, liat kamu sama Bima. Eh ... Bima itu siapa?"   "Bima?" kini Anisa memastikan telinganya.   "Trus dia bilang apalagi?" tanyaku pada Mia. "Cuma itu?" Mia mengangguk.   "Oh, iya Bima itu Adipati di kelompokku. Karena kita sekelompok, ya aku ngomong sama dia." Aku menjelaskan.   Mereka mengangguk-anggukan kepalanya.   "Bima yang tinggi itu bukan sih?" Adinda yang sejak tadi diam di atas kasurnya melirik kami, dan bertanya padaku. Aku menaikkan alis. "Yang kulitnya putih itu? Yang matanya sipit?"   "Kayak Oppa?" tanya Dina nggak nyambung.   Aku mengangguk antusias. "Iya. Itu."   Adinda menghembuskan napas kasar. Ia melakukannya berulang kali. Sambil menatapku ia berkata, "Kamu harus hati-hati, Bel."   "Maksudnya?"   "Dia itu badung. Sejak SMA." Ia menatapku serius. Kemudian m******t bibirnya yang kering. "Kita dulu satu SMA. Dia suka buat onar, tebar pesona, suka tawuran, dan peringkat terendah di SMA."   "Sejenis Badboy gitu?" tanya Mia. Pertanyaan itu muncul pasti karena efek dia sering baca n****+ romance yang sedang tren belakangan.   Aku mendengarnya seksama. "Tapi dia keliatan kayak anak baik-baik. Makanya itu yang bikin dia dipilih jadi Adipati."   Adinda menggeleng. "Jangan percaya! Itu topeng!"   Kami terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya Adinda melanjutkan.   "Dia pernah ada kasus menyeramkan di sekolah dulu.. " jeda. "...dia hampir bunuh orang yang ngerebut cewek yang disukanya."     ~~        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN