Apa Hubungannya

1193 Kata
“Gue udah move on. Udah nggak ada lagi cinta di hati gue buat Tristan. Tapi, kalau Tristan belum juga menceraikan gue, itu artinya gue masih jadi istrinya dia.” Dhita kemudian menatap Yara dengan lekat. “Tristan kok nggak pernah nengok lo lagi?” Yara mengendikan bahunya. “Dua hari yang lalu ada jenguk gue. Tapi, gue usir karena males ketemu sama dia. Dan akhirnya dia menurut. Nggak pernah datang lagi. Tapi, sehari bisa seribu panggilan dan ratusan ribu pesan dari dia.” Vita dan Dhita lantas tertawa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Yara kepada mereka. Terlihat ia sangat kesal kepada suaminya itu. “Yara. Jangan-jangan mereka lagi bulan madu?” ucap Dhita berasumsi. “Bodo amat deh, Dhita. Kata Reiner ….” “Cieee! Kata Reiner ceunah.” Vita dan Dhita begitu heboh mendengarnya. Yara lantas menyunggingkan bibirnya. “Nggak usah ribut kayak gitu, kalian berdua! Dia cukup menenangkan gue yang kalau lihat Tristan emosi mulu.” “Yaa nanti lama-lama terbiasa kemudian jatuh cinta. Dari nyaman, akan berakhir falling in lo ve. Iya nggak, Dhita?” Dhita mengangguk antusias. “Betul!” Yara geleng-geleng kepala kemudian mengembungkan pipinya. Dering ponselnya kembali berbunyi. Panggilan dari suami yang tak pernah jenuh menghubunginya. “Angkat, Yara.” Yara menoleh pada Dhita kemudian menerima panggilan tersebut. “Kenapa nggak bilang kalau sudah pulang, Yara?” “Untuk apa? Aku udah punya tempat tinggal. Kamu boleh menolak berpisah denganku. Tapi, bukan berarti aku mau tinggal di sana!” ucapnya dengan tegas. “Sayang. Setidaknya kamu memberi tahu aku kalau kamu sudah pulang. Aku baru pulang dari Bandung karena ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu di mana? Please, Yara. Tinggal kembali di rumah kita.” Yara tersenyum lirih. “Kita? Bukan kita lagi, Mas. Di antara kita itu sudah tidak bisa dibilang kita.” “Yara. Rumah itu masih menjadi rumah kita. Aku sudah membawa Dhita keluar dari rumah itu. Dia tidak akan tinggal di rumah kita lagi, Sayang.” Yara terdiam sejenak. Bagaimana mungkin ia mau kembali ke rumah itu meskipun sudah tidak ada Dhita di sana. Ia kemudian menghela napas kasar. “Aku pikirkan dulu,” ucapnya lalu menutup panggilan tersebut. “Pulang aja kalau memang nggak niat buat buka hati untuk Reiner,” ucap Vita dengan santainya. “Kalian ini. Kenapa sih, malah mikir yang aneh soal gue sama Reiner? Kalian juga deket kan, sama dia? Bukan sama gue doang. Gimana sih!” “Kita tahu kok, Yar. Kalau Reiner udah mulai buka hati buat elo . Karena nggak akan selamanya dia menduda, Yar.” Yara menghela napas kasar kemudian menggelengkan kepalanya. “Gue masih berstatus istri orang, guys!” “Dan lo mau balik lagi ke rumah itu?” Yara mengendikan bahunya. “Bingung juga.” “Nggak usah bingung. Kalian masih jadi suami-istri.” “Hanya sampai Lily melahirkan.” “Emang udah hamil?” “Nanti.” Dhita manggut-manggut. “Ya udahlah. Lagian, hanya tinggal serumah doang. Nggak akan ngapa-ngapain.” Yara lantas beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Mengambil satu koper kecil. Hanya membawa sedikit pakaian saja untuk kembali ke rumah itu. Tristan bermohon-mohon dan Yara juga sudah menerima semuanya. Namun, baru saja ia hendak menarik kopernya keluar dari kamar, panggilan dari Reiner membuatnya harus menerima panggilan itu terlebih dahulu. “Ya, kenapa Reiner?” tanyanya kemudian. “Ada waktu? Shabila pengen ketemu sama kamu sekarang, katanya.” Di taman kota dekat permainan anak-anak, Yara duduk di kursi panjang menunggu Reiner dan juga Shabila yang ingin bertemu dengannya. Ya. Yara memilih bertemu dengan Shabila yang ingin bertemu dengannya. Entah memang Shabila yang ingin bertemu, atau Reiner sendiri yang ingin kembali menemui perempuan itu. “Hei! Sorry banget, baru sampai.” Reiner menghampiri Yara kemudian mengulas senyumnya. “Eh! Iya, nggak apa-apa.” Yara kemudian mengusapi pucuk kepala Shabila. “Halo , anak manis. Namanya Shabila, yaa?” Shabila mengangguk. “Halo , Tante. Tante namanya Yara, yaa? Cantik banget, mirip Mama.” Yara tersenyum malu-malu mendengar ucapan Shabila. “Shabila juga cantik. Mirip sekali sama mamanya.” Yara mengusapi pucuk kepala anak kecil itu. Yara kemudian menatap Reiner yang tengah menatapnya juga. “Eh! Kacamatanya ke mana? Kok nggak dipake?” “Hanya kalau lagi kerja saja. Kalau di luar, males pake.” Yara manggut-manggut. “Sini, duduk, Sayang. Kamu baru pulang sekolah, yaa?” tanyanya kepada Shabila. “Iya, Tante. Shabila baru pulang sekolah. Dijemput Papa katanya mau ketemu sama Tante Yara. Seneng banget bisa ketemu sama Tante cantik.” Shabila kemudian menerbitkan senyum dengan sangat lebar. Yara menaikan kedua alisnya kemudian tersenyum miring. Melirik Reiner dan menghela napasnya dengan panjang. “Eum, begitu rupanya. Gimana kalau kita makan siang dulu? Kayaknya pada lapar-lapar nih.” “Mau, mau. Ayo, Papa. Makan di resto langganan kita, yuk!” ajak Shabila kepada sang papa. Reiner menganggukkan kepalanya kemudian ketiga orang itu beranjak dari duduknya. Berjalan dengan santai ke seberang sana di mana ada restoran langganan Reiner dan Shabila yang sering makan di sana bersama dengan mendiang Jihan. “Katanya Shabila yang mau ketemu. Kok malah kamu yang semangat?” kata Yara tanpa melihat ke arah Reiner. “Aku tanya. Mau ketemu sama kamu apa nggak. Karena kamu udah pulang dari rumah sakit. Dianya mau. Ya udah, aku ajak saja. Kebetulan aku lagi libur.” Yara manggut-manggut kemudian mengulas senyum sembari menatap Shabila. “Sayang banget, sama anak satu-satunya kamu?” “Banget. Aku ingin menjadi ayah yang terbaik untuk dia.” Ia kemudian mengulas senyumnya. Setibanya di resto, ketiga orang itu duduk di kursi yang telah tersedia di sana. “Halo, Shabila. Selamat datang kembali. Baru kemarin sore ke sini, hemm.” Marcel—salah satu sahabat Reiner menghampiri mereka. “Halo, Om Marcel. Aku mau kasih tahu Tante Yara kalau ini tempat makan kesukaan aku, Om.” Marcel menoleh pelan kea rah Yara. Lalu menatap Reiner yang terlihat salah tingkah dengan ucapan anaknya itu. Sementara Yara hanya mengatup bibirnya lalu mengulas senyum kepada Marcel. “Yara. Teman sekolah Reiner dulu. Kebetulan lagi pengen makan bareng aja.” Marcel manggut-manggut kemudian meringis pelan. “Kenapa nggak jadi mamanya Shabila aja? Jarang-jarang lho, Shabila mau makan bareng cewek.” Yara lantas membolakan matanya. Terkejut mendengar ucapan Marcel. Sementara Reiner hanya mengibaskan tangannya lalu mencari menu makanan di sana. Menunduk—menyembunyikan pipinya yang memerah karena menahan malu. ** Di kediaman Tristan. Lelaki itu tampak gusar menunggu kedatangan Yara yang tak kunjung tiba. Ia lantas memilih menghubungi Lily. Karena ia yakin, Dhita tahu di mana Yara berada. “Kenapa?” tanya Dhita kala menerima panggilan tersebut. “Yara di mana, Dhita? Dia sudah pergi dari tempat tinggalnya, kan?” “Haa? Bukannya udah dari tadi? Dia langsung pergi kok waktu nerima telepon dari kamu. Kita-kita juga udah pulang dari apartemennya Yara.” Tristan mengerutkan keningnya. “Ke mana Yara? Kenapa sampai jam segini dia belum juga kembali. Dijemput tidak mau.” Tristan menghela napas kasar. “Mungkin lagi belanja dulu. Yara nggak bawa koper juga sih. Kayaknya nggak niat pulang deh.” Tristan menghela napas kasar. “Dhita. Kamu tahu kan, Reiner sudah jadi duda selama satu tahun?” “Apa hubungannya sama Reiner?” tanyanya bingung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN