Dering nyaring memaksa kesadaranku kembali ke permukaan. Menoleh kanan-kiri, bingung mencari sumber suara. Mata kupaksa terbuka lebar, lalu bangun. Mengangkat bantal. Benda pipih pintar yang diberikan Tuan Althaf semalam berbunyi keras. Aku tersenyum. Dia menelepon. Icon hijau segera kugeser ke atas, lalu menempelkan layar di telinga. “Halo?” bisikku, takut terdengar keluar. Bagaimanapun, suasana subuh selalu sepi, dan jarak antara kamarku dengan pelayan lain tidak terlalu jauh. “Saya khawatir kamu telat bangunnya.” Aku tersenyum lebar. Mengingat kembali proses belajar menggunakan ponsel semalam. Namun sedetik berikutnya, senyumku hilang saat ucapan terakhir Tuan Althaf semalam sebelum aku tidur, terngiang di telinga. “Kamu beneran gendong aku ke kamar?” tanyaku, hampir memekik. “Hm