Sampai di rumah, Tuan Althaf membanting tubuhnya di kursi. Sedetik berikutnya, dia mengumpat kecil lalu berdiri. Aku menyadarinya, dan meringis bersalah.
"Tuan, kursi saya tidak seperti sofa empuk Anda," ucapku. Tuan Althaf seperti berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, tetapi sayang, mataku terlalu jeli untuk itu.
"Panas sekali."
"Tidak ada AC di sini, Tuan," jawabku singkat.
Chayra aku tuntun duduk di samping Tuan Althaf. Dia tidak mengeluh, mungkin karena masih sibuk memakan remahan roti kesukaannya.
"Tuan mau minum apa?" tanyaku, basa-basi. Sebenarnya berharap bahwa dia tidak menambah bebanku dengan memesan minuman yang macam-macam.
"Apa saja, yang penting dingin."
Setelah duduk kembali di atas kursi, dua kancing teratas dari kemeja Tuan Althaf dilepas. Kepalaku menunduk.
"Tunggu sebentar." Mungkin di warung, aku bisa menemukan sesuatu untuk mendinginkannya. Maklum, cuaca sore ini memang agak panas. Aku pun juga merasa pengap, tetapi karena terbiasa, tidak ada permasalahan dengan hal tersebut.
"Via."
Sebelum melewati ambang pintu, suara Tuan Althaf menghentikanku, memaksa untuk berputar badan menghadapnya.
"Di mana kamar mandi di sini? Saya perlu menyegarkan tubuh saya."
Oh, ini juga bisa menjadi masalah. Kamar mandi di dalam rumah tidak terawat selama aku tidak ada, jadi kupastikan, Tuan Althaf tidak akan suka. Maka, kuberikan pilihan yang kedua.
"Mari ikut saya, Tuan."
Tuan Althaf tidak banyak membantah. Terakhir, kulihat dia menggulung lengan kemejanya saat hendak mengikutiku. Tidak terlalu jauh, cukup ke rumah Aini.
"Eh, itu siapa? Ganteng banget." Begitu yang dibisikkan Aini saat aku mendatanginya. Pandangannya sedetikpun tidak tertuju padaku.
"Majikan aku. Anak kecil yang panggil kamu tadi, anaknya dia." Suaraku lebih rendah, takut-takut didengarkan Tuan Althaf.
"Yah ... udah nikah, ya?"
"Tapi udah duda." Aku mendekatkan wajahku pada Aini. Iming-iming mungkin bisa membuatku mempengaruhi Aini sehingga bisa membantuku sedikit.
"Yang bener." Aini kegirangan, sampai melompat-lompat saking gemasnya.
"Iya." Aku bahagia, rencanaku berhasil. "Tapi bisa tolong? Kamar mandi di rumah aku kotor. Aku yakin dia nggak bakalan suka. Jadi, dia bisa nggak mandi di sini?"
"Boleh. Boleh banget. Mau nginep di sini pun boleh."
"Yaudah. Aku mau ketemu sama kepala desa dulu, terus ke warung. Kamu jagain dia selama aku pergi, ya?"
"Siap itu mah. Kamu nggak perlu khawatir."
Setelah memastikan, aku berbalik ke Tuan Althaf yang berjarak 5 meter dari tempatku dan Aini berbincang.
"Tuan, nanti diantar sama temen saya, Aini. Dan katanya juga, kalau Tuan mau menginap di rumah ini, juga boleh."
"Perjanjiannya bukan begitu di mobil tadi, kan?"
"Takut-takut, Tuan tidak suka rumah kecil."
"Saya rasa, saya tidak masalah dengan itu."
Merepotkan saja.
"Baik, Tuan."
Kepalaku tertunduk dalam, isyarat pamit.
"Kamu mau ke mana?"
Baru selangkah jarakku di belakang Tuan Althaf, dia memanggil, lagi.
"Ke warung, Tuan."
Hening sebentar.
"Baik."
Langkahku berlanjut.
Masih terdengar di belakang, Aini dengan begitu semangat membawa Tuan Althaf menuju kamar mandi rumahnya. Sebelum ke warung, aku mengecek Chayra dahulu. Memastikan dia tidak akan keluar sampai aku, atau ayahnya kembali.
***
Pukul 2 dini hari, aku terbangun untuk melaksanakan salat tahajut. Terkejut saat mengetahui keberadaan Tuan Althaf di kursi panjang ruang tengah.
"Tuan, Anda tidur di sini?"
Tuan Althaf menanggapi kurang sedetik, dengan berputar arah padaku.
"Terlalu dingin di dalam." Suaranya sedikit bergetar. "Ini tempat aneh, siangnya begitu panas, malamnya seperti membeku."
"Anda bawa selimut?"
"Dipakai Chayra."
Awalnya berniat ke kamar mandi, tetapi aku berbalik ke kamar. Selimut yang berantakan di atas tempat tidur aku gulung hingga membentuk bulatan. Kembali ke Tuan Althaf untuk menyelimutinya.
"Kamu bagaimana?"
"Saya sudah biasa."
Selepas mengatakan itu, aku beranjak menuju kamar mandi yang terletak dekat dapur. Berwudhu sebentar. Lalu keluar. Terkejut untuk kedua kalinya karena menemukan Tuan Althaf berdiri di samping sekat antara dapur dan ruang tamu.
"Tuan butuh sesuatu?"
"Saya akan seminggu di sini, jadi saya pikir untuk membiasakan diri mulai sekarang." Prolognya bisa aku pahami. "Saya bisa ikut salat sama kamu?"
"Hah?"
"Sudah dua kali hari ini kamu begitu, Via." Dia menarik sudut bibirnya ke atas.
Mulut yang menganga aku tutup kembali sembari menunduk. Apa dia tidak berpikir bahwa penyebab aku melongo seperti itu karena kejutan-kejutan anehnya?
"Bisa, Tuan."
Aku melewati Tuan Althaf. Masih terdengar di belakang punggungku, pria itu berujar.
"Ternyata ada kamar mandi di sini. Ck."
Dua sajadah aku keluarkan dari lemari. Dibentangkan di ruang tamu. Tuan Althaf datang pas setelahnya.
"Anda mau menjadi imam, Tuan?"
"Tidak. Saya makmum." Dia menghampiriku, berdiri di sajadah yang sedikit lebih maju daripada yang aku duduki. "Stupid girl."
Salat tahajud dua rakaat dimulai. Well-siapa yang menyangka bahwa manusia yang selalu berbicara dengan intonasi datar, membuat lelucon garing, dan selalu memberikan kejutan ini, ternyata begitu lembut saat melafazkan alquran. Maka, aku harus memaklumi jantungku yang berdetak kencang karenanya.
Kedua salam aku lakukan dengan sedikit berat hati. Entah kapan lagi suara Tuan Althaf bisa kudengar setelah ini.
"Tuan?"
Beberapa saat setelah berdoa, aku memanggil lirih.
"Kenapa?"
Sisi lembutnya menghilang drastis. Aku mendengkus.
"Anda tidak bisa lama-lama di sini. Kepala desa hanya mengizinkan Anda tinggal malam ini di rumah saya."
Dia terdiam. Membuatku takut jika salah bicara. Masalahnya, ini Tuan Althaf. Tuan Althaf yang dingin keturunan Nyonya Erisha yang sinis.
"Lagipula, Tuan. Apa ada pekerjaan di sekitar daerah sini, sampai Anda harus menginap? Bukannya, tujuan Anda kemari hanya untuk menjemput Chayra?" lanjutku.
Tuan Althaf masih bergeming. Matanya tidak meninggalkan gambar kakbah di sajadah warna maroon yang didudukinya.
"Tuan?"
Tatapan tajamnya terangkat, tertuju padaku. Memberikan efek sesak sehingga aku lupa caranya bernapas.
"Ayah kamu sudah sehat?"
"Sudah lebih baik."
"Saya bisa menemuinya nanti?"
Perasaanku mulai tidak enak. "Ya."
Tuan Althaf tidak berbicara lebih lanjut, dan memilih melipat sajadahnya. Memiliki isyarat bahwa tidak ada pembicaraan lagi sekarang. Padahal, aku butuh jawaban lebih atas teka-tekinya.
***
Usai sarapan di warung dekat rumah sakit, aku kembali ke ruangan Ayah. Tuan Althaf dan Chayra sedang mengobrol ringan kala aku sampai di hadapan mereka.
"Via, Ayah kamu mau bicara sama kamu," kata Tuan Althaf.
Hanya anggukan kecil yang aku berikan padanya, lalu segera masuk ke ruangan Ayah. Beliau sudah bisa duduk di tempat tidurnya, meski belum bisa diizinkan pulang.
"Ada apa, Yah?" tanyaku setelah duduk di atas kursi plastik rumah sakit.
"Kamu punya hubungan khusus dengan majikan kamu itu?"
"Hubungan khusus?" Sebentar, aku berusaha mencerna maksudnya. "T-Tidak, Yah. Dia cuman majikannya Via. Nggak lebih."
Ayah menarik napasnya panjang, seolah beban berat menghimpit dadanya sehingga butuh oksigen lebih banyak lagi.
"Kamu mau, tidak, menikah sama dia?"
Aku tertawa garing, ingin menganggap ini sebuah lelucon yang sama sekali tidak lucu. "Ayah bilang apa sih."
"Umur tidak ada yang tahu, Via." Ayah bersuara rendah. "Semenjak ibumu meninggal, Ayah bertahan hidup cuman untuk menjaga kamu. Dan sekarang, Ayah merasa lelah. Entahlah, bukannya Ayah menyerah sama sakit Ayah, tapi Ayah juga tidak bisa memastikan kapan Ayah bertemu Allah. Ayah hanya tidak ingin meninggalkan kamu tanpa penjagaan siapapun."
"Ayah jangan bicara gitu." Kursi aku tarik agar bisa semakin dekat dengan Ayah, dan menggenggam tangannya. "Ayah masih bisa hidup puluhan tahun lagi, buat jaga Via, menikahkan Via, dan lihat cucu Ayah."
"Makanya itu, Ayah mau menikahkan kamu dengan Althaf."
"Ya ... tapi, jangan dia juga, Yah. Kan ada Erlan, temen kecil Via-"
"Dia sudah menikah Minggu lalu." Ayah semena-mena memotong ucapanku.
"Ada Thio-"
"Dia itu sudah kaya, Nak. Ingat kampung halamannya saja, dia tidak bisa, apalagi ingat kamu."
"Kan ada jutaan laki-laki di dunia, Yah. Via mau menikah sama salah satu dari mereka, nggak harus Tuan Althaf juga."
"Memang ada yang mau sama kamu?"
"Ayah ...." Aku merengek, karena secara halus Ayah mengatakan bahwa putrinya ini tidak laku, meski aku tahu itu hanya candaannya saja. "Memang Tuan Althaf juga mau sama Via?"
"Mau. Ayah sudah bicara sama dia."
"Tapi keluarganya belum tentu terima Via."
"Althaf yang bakalan bilang sama keluarganya."
"Yah ...."
"Ayah tidak bisa mempercayakan orang lain untuk menjaga kamu selain dia."
"Kan ada Ayah. Nggak usah Tuan Althaf." Aku merengek, sembari menggoyang-goyangkan tangan Ayah.
"Via, Ayah tidak bisa jaga kamu selamanya."
"Ayah pasti bisa."
"Via, kalau kamu tidak menikah sekarang, Ayah akan kepikiran kamu terus, dan itu bisa memperburuk kesehatan Ayah. Kalau kamu menikah, Ayah bisa tenang, dan tidak perlu khawatir tentang kamu. Kesehatan Ayah bisa membaik."
"Ayah ...."
"Bisa, ya, Nak?"
Kepalaku mengangguk lesu. Ayah sudah menguatkan tekadnya, dan aku nyaris mustahil untuk melawan.
"Sebentar malam bisa?"
"Sebentar malam apa, Yah?"
"Menikah."
"Ayah?"
***
Hanya dihadiri pihak KUA, keluarga Aini dan beberapa perawat sebagai saksi, jelas ini bukan pernikahan impianku. Namun, bagaimana lagi. Aku dihimpit oleh dua pria yang sama-sama semaunya.
Ayah dengan tenaga lemahnya, menggenggam tangan Tuan Althaf, menuntunnya untuk membacakan akad. Tuan Althaf begitu lancar melafazkannya. Saksi serentak menjawab "Sah". Dan statusku tiba-tiba berubah.
Lengkingan dering ponsel mengalihkan perhatian seluruh manusia yang ada di ruangan 3 meter persegi ini. Tuan Althaf melirik ponselnya sebentar, sekadar mengurangi volumenya tanpa berniat mematikan atau menjawabnya. Sekilas, aku melihat kata "Mama" tertera di layar.
"Tuan?" bisikku, merasa tidak nyaman jika dia mengabaikan Nyonya Erisha.
Tuan Althaf dengan wajah datarnya menggenggam tanganku, membawanya ke depan wajahku. Setelah mendengkus kecil, aku mencium punggung tangannya. Disusul, Tuan Althaf mengecup keningku sekali.
Ponsel berdering lagi. Masih dari Nyonya Erisha. Saat Tuan Althaf hendak menggeser icon merah, aku segera menahan.
"Angkat saja sebentar, Tuan," ucapku.
Matanya beralih padaku, dengan sebelah alis terangkat seolah mengatakan, "Memangnya kamu ini siapa?"
Maka, aku merunduk lebih dalam. Baru menengadah saat merasa bahwa Tuan Althaf sudah berdiri, keluar dari ruang rawat Ayah.
"Kan, kan!" Aini menghampiriku. "Aku udah duga ini sebelumnya. Dia itu ke sini buat nikahin kamu."
"Nggak, Aini. Dia ke sini buat jemput anaknya. Terus, Ayah suruh dia buat nikahin aku. Bukan dia yang mau nikahin aku."
"Nggak percaya aku."
"Ya udah."
Sebentar, aku bercenung oleh sebuah pemikiran bahwa mungkin setelah ini, aku harus meninggalkan Ayah lagi. Apa aku sanggup?
Tuan Althaf masuk lagi. Tidak ada yang berubah darinya, jadi aku beranggapan bahwa tidak ada masalah sama sekali. Setelah menyelesaikan beberapa hal, pihak KUA pamit pulang. Disusul keluarga Aini. Tersisa aku, Ayah, Tuan Althaf, dan Chayra yang sudah tertidur.
"Ayah."
Aku menoleh cepat pada Tuan Althaf yang memanggil ayahku seperti itu. Wow! Namun, ekspresi kagumku hilang setelah dia menatapku tajam.
"Saya harus pulang sekarang," lanjut Tuan Althaf.
"Bukannya Tuan mau tinggal seminggu di sini?" Aku menyela dengan sebuah pertanyaan.
"Niatnya begitu, tapi Alfan kecelakaan. Papa akan sibuk urus dia, dan tidak ada yang bisa mengawasi perusahaan." Menakjubkan! Bahkan suara Tuan Althaf lebih rendah, maksudku, tidak datar dan dingin seperti biasanya. Terkesan lebih lembut.
"Tapi ... Ayah belum diizinkan pulang. Saya tidak mungkin meninggalkan Ayah di sini sendiri ...."
"Saya bisa mengirim orang untuk menjaga ayah kamu."
Aku menggeleng kasar. "Saya nggak percaya."
"Via ... Ayah baik-baik saja di sini. Ayah sudah sehat sebenarnya, cuman belum diizinkan pulang. Ayah bisa jaga diri sendiri."
"Enggak. Enggak. Via nggak mau tinggalin Ayah. Tuan ... tolong. Saya mau jaga Ayah saya beberapa hari saja."
Tuan Althaf bergeming. Hanya 5 detik. "Baik. Kamu boleh tinggal di sini dua minggu. Setelah itu, saya akan jemput kamu, dan bawa kamu ke rumah."
"Iya, Tuan. Terima kasih."
"Saya harus pulang malam ini."
"Harus sekarang?" tanyaku.
"Harus sekarang."
Tuan Althaf menggendong Chayra, membawanya ke mobil. Aku mengekor di belakang. Setelah Chayra masuk di kursi belakang, Tuan Althaf menghampiriku.
"Ini seharusnya jadi malam pertama kita, tapi saya malah mengacaukannya." Tuan Althaf berbisik rendah.
Dipandang dalam oleh Tuan Althaf, kepalaku langsung menunduk. Terlalu berat karena dipenuhi rasa malu.
Hening. Tidak ada pergerakan pada Tuan Althaf. Di sekitar pun senyap. Aku dilanda penasaran mengenai Tuan Althaf yang sama sekali tidak beranjak. Jarak kami yang kurang 20 senti. Pelan, aku mendongak, kemudian mataku disambut oleh senyum Tuan Althaf yang memikat. Maksudku, dia memang beberapa kali tersenyum sinis, tetapi kali ini, senyumnya begitu lembut. Sampai, kata bosan tidak bisa mendatangiku untuk berhenti memandangnya.
Tuan Althaf semakin mengikis jarak. Semuanya terjadi hanya beberapa detik. Tuan Althaf menarik tengkukku, mengecup bibirku sekali, lalu mundur. Tapi sengatan yang dihasilkannya membuat tubuhku mematung.
"Assalamualaikum."
Aku ingin membalas salamnya, tetapi suaraku tercekat di tenggorokan. Sehingga yang tampak adalah aku membuka-tutup mulut seperti ikan yang kehabisan napas.
Mengerjap beberapa kali. Menyadari sekitar sudah hilang. Tuan Althaf sudah pergi. Namun, pengaruhnya masih ada di sini. Jejak kelembutannya masih tersisa di bibirku.
Lalu. Aku. Tersadar.
Ciuman pertamaku direnggut olehnya.
Oleh Tuan Althaf. Si dingin yang menyebalkan.
Dia suamiku sekarang. Dan mengingat itu, bibirku sulit ditahan untuk tidak tersenyum.
***