Setelah naik kereta, aku memilih sebuah angkutan umum ke rumah. Chayra menunjukkan ketidaksiapannya. Dia mengeluh kepanasan dan sesak di dalam angkot. Bahkan, dia tidak segan mengomel jika ada aroma aneh yang mengganggunya.
Kami sampai di rumah. Pekarangan ditumbuhi rumput liar, jelas sekali jika rumah tidak dirawat selama aku pergi. Chayra lemas setelah turun dari angkot sehingga aku harus menggendongnya memasuki rumah. Koper tanpa isi, aku tinggalkan di pinggir jalan.
“Assalamualaikum, Yah.”
Tidak ada jawaban.
“Ayah.” Aku mengulang panggilan.
“Wa alaikumussalam.” Ayah muncul dari kamarnya. Terlihat pucat. Aku menurunkan Chayra di kursi dan menghampiri Ayah untuk memeriksa keadaannya.
“Ayah kenapa? Badan Ayah panas.”
“Ayah tidak tahu kalau kamu pulang sekarang.” Ayah terbatuk dua kali. Sebenarnya beliau hendak batuk lagi, tetapi aku melihat wajahnya berusaha menahan hal tersebut. “Bagus pekerjaan kamu di kota?”
“Iya, Yah.” Tanpa sadar, saliva tertelan karena baru saja berbohong. “Ayah sakit?”
“Biasa. Kan lagi musim hujan, banyak yang kena flu dan batuk.” Ayah terbatuk lagi. Lebih kencang dari sebelumnya sehingga Chayra yang nyaris tertidur, kaget dan menangis.
“Itu anak siapa?” tanya Ayah saat aku berusaha menenangkan Chayra.
“Anak majikan Via, Yah. Dia sembunyi di koper pas Via pulang ke sini.”
“Orangtuanya izinin?”
“Itu dia, Yah. Via nggak tau gimana caranya beritahu keluarganya kalau dia ikut Via. Via nggak punya hape.”
“Pinjam punya Aini. Kamu harus beritahu orang tuanya. Nanti kamu dikira culik anak orang.”
“Iya, Yah.”
Aku ke rumah tetangga, sekaligus sahabatku. Tidak sulit untuk meminjam ponselnya sebentar, karena aku mengimingi pulsa 10.000 padanya.
“Chayra, nomor Daddy berapa?” tanyaku lembut.
“Dua.”
“Dua?”
“Iya. Nomor Daddy ada dua. Satu untuk perusahaan, satu lagi untuk keluarga.”
“Maksud Tante, Chayra sebutin nomor telepon Daddy. Yang Chayra hafal aja. Iya, Sayang?” ucapku diusahakan lembut, untuk mengirit sabar.
Chayra cemberut. Namun, tetap menyebutkan 12 digit nomor telepon Tuan Althaf. Butuh empat nada sambung, sampai suara Tuan Althaf terdengar di sambungan telepon.
“Halo?”
Aku terdiam sejenak. Merasakan sensasi aneh dari suara beratnya itu.
“Halo, Tuan Althaf?”
“Ya?” Dia diam sejenak. “Via?”
“Iya, Tuan. Saya minta maaf. Chayra ikut saya ke kampung.” Aku takut kemarahannya, sehingga suara aku kecilkan. “Tapi bukan saya yang minta. Chayra sendiri yang masuk ke koper saya, jadi terbawa saat saya pulang.”
Hening. Aku semakin takut. Setiap menit kebungkaman Tuan Althaf, serasa detik-detik aku menghampiri kematian.
“Tuan?”
“Di mana alamat kamu?”
Suara gemuruh dari arah dapur mengalihkan perhatianku sebentar. Ayah di dalam sana, membuat khawatirku muncul.
“Via?”
“I-iya, Tuan.” Aku berusaha membagi perhatianku pada dua orang ini. Suara batuk Ayah terdengar keras. Alamat rumah aku sebutkan dengan cepat, lalu mematikan sambungan telepon tanpa menunggu balasan dari Tuan Althaf. Segera, kaki ini terayun menuju dapur. Di atas marmer putih, tubuh Ayah terbaring lemas. Matanya tampak begitu berat terbuka.
“Ayah kenapa?” tanyaku panik. Beliau tidak bisa berhenti batuk. “Ayah?” Kepalanya aku pindahkan di atas pangkuan. Menilik sekitar, aku mencari pertolongan. “Chayra! Chayra!”
Gadis kecil itu muncul dalam keadaan lemas. Dia sampai harus bersandar di dinding untuk menjaga keseimbangannya. Mengandalkan Chayra mungkin tidak baik, tetapi tidak ada pilihan lain. Ayah lebih membutuhkanku.
“Bisa tolong Tante? Panggil tetangga deket rumah, bilang Tante Via yang panggil ya! Bisa tolong cepat, Sayang? Kakek sakit.”
“Dia bukan kakek Chayra.” Jawaban malas gadis itu terdengar. Tubuhnya merotasi membelakangiku, hendak menuju tempatnya duduk bermalas-malasan tadi.
“Harus keluarga Chayra, baru Chayra tolong?”
“Of course.”
“Tidak apa-apa.” Ayah bersuara serak, menahan batuknya susah payah dengan membekap mulut. Sambil berpegangan padaku, beliau menegakkan tubuhnya yang tampak begitu berat bagi tenaganya. “Ayah sudah biasa begini.”
“Ayah bilang biasa? Kenapa nggak bilang sama Via kalau Ayah sakit?” Aku memekik keras, mengeluarkan luapan emosi khawatir mengenai keadaan satu-satunya keluargaku ini. ”Chayra!” Bahkan, gadis kecil itu tanpa sadar aku teriaki karena kepalang panik. Ayah tidak sanggup menahan bobot tubuhnya terlalu lama, dan lagi-lagi terjatuh. Sigap, aku menahannya. “Dia kakek kamu! Panggil tetangga cepat!”
“Chayra cuman punya Opa dari Daddy, sama kakek dari Mommy. Memang Tante mau jadi Mommy Chayra?”
Bocah ini, apa dia tidak lihat betapa ayahku sangat menderita sekarang? Kepalang jengkel, aku langsung berteriak. “IYA!”
“Bentar, Mommy.” Chayra langsung berlari keluar, tetapi masih kudengar senandung kerasnya. “Yeah, I have a new Mommy!"
Apa yang aku lakukan ini?
Sejenak, pikiran tersebut menghantui pikiranku, tetapi langsung teralihkan saat kesadaran Ayah mulai berkurang.
“Ayah? Ayah jangan tidur. Kita bawa Ayah ke rumah sakit, ya? Sebentar, Yah. Ayah, tahan sebentar! Jangan tutup mata.” Air mataku meluncur begitu mudahnya saat ucapanku tidak mendapat respons sama sekali. Tubuh ringkih Ayah, aku guncang beberapa kali. Namun, tetap tidak ada respons.
***
Setengah jam yang lalu, dokter sudah mengatakan bahwa keadaan Ayah sudah stabil setelah sebelumnya dalam keadaan sangat buruk. Meski demikian, aku tetap enggan beranjak dari kursi tunggu. Trauma jika Ayah dalam keadaan bahaya sementara aku tidak ada.
Lalu, bagaimana dengan keadaan Ayah selama aku pergi? Ah ya, dapur yang berantakan, halaman rumah tidak terawat, dan debu di semua perabotan, tentu bisa menjawab pertanyaanku barusan. Keadaan Ayah benar-benar buruk.
“Mommy, I'm thirsty.” Chayra yang turut duduk di sampingku menyandarkan kepalanya di lenganku. Mendengar sebutannya padaku, perasaan bersalah muncul.
“Ayo, kita cari makan,” jawabku, kemudian berdiri. Namun, gadis yang bersandar padaku itu malah tersungkur di kursi.
“Mom, don't leave me again.” Chayra tiba-tiba melengkingkan suara, bahkan nyaris menangis
“Nggak. Sini, Tante gendong.” Meski aku pun merasa penat, tetap aku menundukkan tubuh demi meraih tubuh mungil tersebut. Dagunya menopang di pundakku. “Listen to me, Chayra. Tante bukan Mommy-nya Chayra. Tante itu, Tantenya Chayra.”
“No. You're mommy.”
“Chayra Sayang ....”
“No way! No!” Chayra memberontak, histeris. Aku kewalahan menahan tubuhnya.
Yah, memang aku bisa mengerti bagaimana perasaannya yang begitu mendamba seorang ibu. Meski tidak langsung dia ceritakan, tetapi dari cara Chayra yang selalu minta didongengkan tentang ibu yang baik hati, menyayangi putrinya, aku tahu, dia begitu berharap ibunya juga ada bersamanya dan menyayangi Chayra seperti dalam dongeng.
“Okey, okey.” Tubuh Chayra aku dekap dengan erat. “Okey. Chayra tenang. Oke? Jangan teriak lagi. Kita cari makan.”
“DADDY!”
Teriakan Chayra lagi-lagi membuatku terkejut. Saat berbalik, benar adanya. Tuan Althaf sudah datang. Dia menghampiri kami. Setiap bunyi peraduan antara sepatunya dan lantai rumah sakit memberikan tekanan dalam diriku. Kepalaku kian merunduk untuk menghindarinya. Chayra diturunkan, yang langsung menghampiri Tuan Althaf.
“Daddy, I'm tired. I'm hungry. I'm thirsty.” Chayra berbicara lemas di dekat telinga Tuan Althaf yang menggendongnya. Aku mencuri pandang kegiatan mereka, yang berakhir dengan balasan tatapan tajam dari Tuan Althaf.
Aku hendak masuk ke ruangan Ayah untuk menghindari suasana yang canggung ini, tetapi, kakiku membatu di lantai dingin saat suara berat Tuan Althaf memanggil.
“Via, saya tidak tahu tempat ini.” Dia diam sejenak, bersama dengan itu, aku berusaha menormalkan sikap yang selalu berujung gagal. Aku benar-benar gugup. “Di mana supermarket yang dekat di sini? Bisa antarkan saya?”
“Baik, Tuan.” Wajahku merunduk lebih dalam, sehingga yang tampak hanyalah kedua kakiku silih berganti maju ke depan, mengikuti Tuan Althaf.
“Mommy, this way!” Pekikan Chayra membuat wajahku tengadah, bersamaan dengan benda keras menghantam kepalaku. Tawa mungil Chayra terdengar akibat kecerobohanku menabrak dinding.
Aku meringis menahan malu. Nyaris ingin lari dari tempat ini, tetapi diriku tertahan oleh ekspresi Tuan Althaf. Dia tidak tertawa seperti Chayra, tetapi bibirnya berkedut yang aku yakini sedang menahan senyumnya.
“Stupid girl!” Tuan Althaf berjalan terlebih dahulu, dan aku mengekor di belakangnya sembari mendengkus ringan.
***
Beberapa bungkus roti dan air mineral sudah dimasukkan ke dalam mobil. Tuan Althaf dan Chayra juga sudah masuk, tetapi aku tetap berdiri di samping mobil.
“Mommy, ayo masuk?”
Aku meringis—lagi—mendengar panggilan tersebut. Sejenak, melihat ke arah Tuan Althaf yang kini berada tepat di hadapanku, karena aku berdiri di samping kemudi. Namun, ekspresi Tuan Althaf begitu santai, seolah panggilan Chayra bukan masalah untuknya.
“Tuan, saya bisa ke rumah sakit sendiri. Anda sekarang bisa pulang,” kataku.
“Apa saya sedang diusir di sini?”
“T—tidak.” Nyaris bersamaan setelah Tuan Althaf bertanya, aku langsung menjawab. “Mungkin Anda sedang sibuk, dan saya malah menambah pekerjaan Anda dengan membawa putri Anda ke sini. Jadi, saya tidak mau membebani Anda dengan mengantar saya ke rumah sakit.”
Tuan Althaf melirik putrinya yang sibuk memakan roti sebentar.
“Saya tidak merasa keberatan,” ucapnya kemudian. “Lagipula, Chayra belum ingin pulang.”
Sejenak, aku diam. Semenjak kedatangan Tuan Althaf, aku merasa Chayra belum pernah mengatakan hal tersebut. Bahkan, dari cara Chayra melihat daerah ini, dia seperti ingin segera pergi.
“Cepat naik!”
Aku menuruti titahnya dengan duduk di kursi belakang. Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
“Tuan, sepertinya saya harus ke rumah terlebih dahulu,” ucapku.
“Ide bagus,” jawab Tuan Althaf. “Saya juga harus mengganti pakaian saya.”
“Tapi, pakaian Ayah saya mungkin tidak sesuai dengan Anda.”
“Siapa yang mau pakai pakaian ayah kamu?” Tatapan sinisnya tertuju padaku melalui spion. Aku menunduk dalam. “Saya bawa pakaian sendiri,” lanjutnya.
Belum selesai aku mencerna lebih lanjut ucapan dan tatapan Tuan Althaf, dia terlebih dahulu melanjutkan.
“Berapa kamar di rumah kamu?”
“Hah?” Tentu saja aku terkejut dengan pertanyaan tersebut. Dia tidak mungkin bermaksud untuk ....
“Saya pikir, saya bisa tinggal di rumah kamu.”
Semoga aku tidak serangan jantung! Memang ya, orang kaya itu selalu semena-mena.
“Anda bisa tidur di kamar Ayah saya, Tuan.”
Tuan Althaf mengangguk-angguk, memancing curiga dalam diriku. Apalagi dari kaca spion, senyum tipisnya tiba-tiba tertangkap Indra penglihatanku.
“Kamu tidak keberatan kalau saya tinggal satu minggu di rumah kamu kan, Via?”
Oh Tuhan, aku pasrah jika serangan jantung sekarang.
***