Bab satu

1015 Kata
"Saya akan tetap mempekerjakan kamu, asal kamu mau berlutut dan menjilat sepatu saya". Seorang pria dengan perut buncit berbicara dengan pongah. Tak peduli bagaimana nasib lelaki yang ada di hadapannya. Walaupun ia mengemis belas kasih karena semua bukan untuk dirinya. Arfan mengepalkan tangannya. Hatinya geram, merasa harga dirinya terinjak-injak. Namun, jika ia mempertahankan harga dirinya, bisakah ia di sebut lelaki egois? Bagaimana dengan nasib adik-adiknya di rumah. Semua tentang perut, ya berhubungan dengan perut. Harga diri bisa tidak berarti jika sudah menyangkut isi perut. Sementara ia menahan geram, pria buncit itu justru tertawa dengan keras penuh ejekan. 'Lelaki miskin dan sombong ini pasti akan tunduk di hadapannya'. Pikir lelaki buncit dengan otaknya yang licik. Entah apa masalahnya, dan entah ada dendam apa. Arfan sendiri tak paham. Kenapa lelaki buncit ini sangat tidak menyukainya. Sementara itu, beberapa pria yang juga tidak menyukai pria bertubuh kurus itu tertawa dengan bangga karena melihat orang yang tidak mereka sukai itu tak berdaya. Ya, begitulah kejamnya kehidupan kota. Sulitnya mencari pekerjaan. Terutama bagi orang yang tidak berpendidikan tinggi. Membuat kehidupan mereka seolah tidak berharga di mata orang lain. Materi selalu menjadi patokan dan tingkat kehormatan seseorang. Tidak peduli bahwa, walaupun miskin dia pun manusia yang memiliki harga diri. *** Arfan Samudra. Lelaki jangkung bertubuh kurus dengan otot-ototnya yang lumayan berbentuk. Lelaki dengan kisaran usia dua puluh tiga tahun. Hidup dengan dua orang adiknya, Ilham dan Fikri. Anak berusia delapan dan sepuluh tahun. Bukan adik kandung. Lebih tepatnya adik yang merasakan nasib yang sama dengannya. Nasib kurang beruntung yang membuat mereka bisa hidup bersama. Tinggal di sebuah gerbong kereta tua yang tak terpakai. Sangat tidak layak. Tapi mau bagaimana lagi. Bahkan mereka tak mempunyai cukup uang untuk membayar sebuah rumah sewa yang layak. Pekerjaan Arfan sehari-hari hanyalah seorang kuli bangunan, dengan upah harian sebesar lima puluh ribu rupiah. Yang hanya cukup untuk makan sehari-hari mereka bertiga. Terkadang mereka juga harus menahan lapar saat Arfan benar-benar tidak bekerja. Tenaga kuli yang sangat banyak sementara lapangan kerja yang terbatas. "Bang, bang Arfan". Teriak Fikri memanggil Arfan dengan volume suara maksimal. Dengan segera, Arfan yang sedang mengangkat tumpukan batu bata meletakkan batu bata itu dan berlari menuju ke tempat Fikri. "Kenapa Fik?" Tanya Arfan melihat raut panik dari wajah Fikri. "Ilham bang, Ilham kumat lagi". Ucapnya dengan suara bergetar dan nafas ngos-ngosan, karena ia berlari menuju tempat Arfan bekerja. "Ya Tuhan, Ilham". Arfan pun sontak ikut panik setelah mendengar kabar yang di bawa fikri. Ilham memang memiliki tubuh yang ringkih. Ia sering sekali sakit. Terkadang sakitnya bisa tiba-tiba sembuh walaupun tak di bawa berobat. Karena Arfan tak pernah mampu membawa Ilham untuk sekedar berobat di sebuah klinik. "Kamu pulang dulu ya. Abang izin mandor dulu. Abang usahakan hari ini dapat uang untuk bawa ilham berobat ke dokter". Ucap Arfan mencoba menenangkan adik angkatnya itu. Dengan air mata yang terus luruh, Fikri memilih menurut perintah Arfan. Ia kembali ke gerbong tua tempat tinggal mereka. *** Jarum jam menunjukkan pukul dua belas siang. Panas matahari benar-benar terasa sangat menyengat kulit. Arfan mencoba bertemu dengan Bani, pria dengan rambut yang hanya tumbuh separuh dan perut buncit. Ya, pria itu merupakan mandor di tempat Arfan bekerja. "Permisi pak". Ucap Arfan menyapa dengan ragu. Pria yang tingginya hanya sebahu Arfan itu menoleh dan melihat Arfan dengan tatapan merendahkan. "Kenapa?" Tanyanya dengan nada kasar. "Anu pak...". "Anu apa? Bicara yang jelas". Ucap Bani dengan suara membentak sebelum Arfan menyelesaikan ucapannya. "Saya mau minta bon di muka pak. Adik saya sakit dan butuh berobat". Ucap lelaki muda itu dengan ragu. "Apa? Bon? Kerja baru mulai kemarin mau minta Bon? Kamu pikir ini punya nenek moyangmu". Ucap Bani bersuara keras dengan tatapan yang semakin merendahkan Arfan. Arfan hanya menunduk. Tangannya terkepal mendengar ucapan Bani. "Saya mohon pak. Adik saya benar-benar sakit dan butuh berobat". Pintanya memelas. Berharap Bani bisa sedikit berbelas kasih padanya. "Kamu pikir itu urusan saya?" "Pak. Ini berkaitan dengan nyawa adik saya". "Tidak bisa Arfan. Peraturannya sejak awal adalah bekerja seminggu baru upahmu keluar". Tak sedikit pun pria botak itu tersentuh dengan permintaan Arfan. Hampir putus asa rasanya. Arfan memilih pergi meninggalkan Bani, sang mandor. Karena sepertinya akan percuma. Memohon pun tak akan di beri. Istirahat siang bagi pekerja hanya berlaku satu jam saja. Pukul satu siang jam istirahat berakhir. Sambil menunggu waktu. Arfan duduk menyendiri. Memikirkan bagaimana cara membawa Ilham berobat. Otaknya terasa buntu. Hingga nyeri dari ulu hatinya benar-benar terasa. Ya, beban pikiran di tambah sedari pagi belum sarapan. Hanya memakan dua buah gorengan dan segelas kopi. Jatah makan siangnya selalu ia bawa pulang untuk di makan bersama dua saudara angkatnya. Kepalanya pun berdenyut nyeri. Namun ia bertahan. Arfan tak boleh sakit. Ia harus kuat demi dua orang yang sedang menunggunya. Waktu terus merangkak. Hingga tidak terasa sudah masuk sore. Pukul lima sore, pekerjaan baru boleh berakhir dan pekerja di izinkan pulang. Dengan tergesa Arfan berlari pulang untuk melihat keadaan Ilham. Bocah delapan tahun yang sedang tergeletak dengan tubuh lemah di dalam gerbong tua yang hanya beralaskan karton besar. "Ilham". Arfan menepuk pipi adik kecilnya itu. Matanya sedikit terbuka. Sayu tanpa tenaga. "Bang". Ucapnya lirih. "Ilham masih kuat? Besok pagi abang bawa Ilham berobat ya. Abang belum dapat uang untuk bawa Ilham". Ucap Arfan mencoba menjelaskan. Ilham hanya mengangguk lemah. "Kamu yang kuat ya. Abang janji besok bawa kamu berobat". Ucapnya penuh ke khawatiran. Lagi, bocah delapan tahun itu hanya bisa mengangguk lemah. Ia menutup tubuh lemah Ilham dengan kain kumal yang di gunakan sebagai selimut. Sangat tidak layak. "Ya Tuhan". Tak tega, benar-benar tak tega melihat keadaan mereka. "Abang bawa nasi bungkus. Ayuk kita makan bertiga". Ajak Arfan seraya membantu Ilham duduk. Sebungkus nasi di keluarkan dari plastik berwarna hitam. Nasi bungkus dengan lauk tahu, tempe dan sayur tumis menemani sore mereka untuk mengganjal perut. Setidaknya ada isi sebelum tidur malam mereka. Karena pastilah tidak nyaman tidur dengan perut kosong. *** Jam dua dini hari, Arfan bangun. Ia menyempatkan bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Dengan upah tiga ribu untuk barang yang di angkatnya keluar masuk pasar. Tak seberapa memang, namun jika ia bisa membantu sepuluh orang, setidaknya ia bisa membawa pulang tiga puluh ribu rupiah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN