Hingga menjelang fajar, hanya tiga orang yang meminta bantuan Arfan untuk membawa belanjaan mereka. Persaingan kuli panggul di pasar ini terbilang ketat. Terkadang mereka tidak segan untuk berbuat kasar dan merebut hasil jeih payah dari kuli panggul yang lain.
Arfan menghela nafas dalam.
"Ya Tuhan. Hanya sembilan ribu. Apa yang bisa ku dapatkan dengan uang segini. Bahkan membawa Ilham berobat pun tak bisa". Keluh Arfan. "Ampun Tuhan. Aku terlalu banyak mengeluh". Segera ia menyadarkan dirinya kembali.
"Aku harus lebih berusaha lagi. Setidaknya ini bisa untuk membeli sarapan pagi mereka". Arfan menyemangati dirinya. Ia bertekad akan datang lagi besok untuk bekerja.
Arfan bersiap pulang dengan membawa sembilan potong jajanan yang telah di belinya.
Sebenarnya Arfan tak sekuat itu. Terkadang lelah menjalani kehidupan dunia yang seolah sangat tak berpihak pada dirinya membuatnya ingin mengakhiri semuanya. Namun segera di tepisnya pikiran-pikiran buruk yang datang. Tuhan masih memberikan kesempatan padanya dengan tubuh yang sehat. Itu berarti dia harus lebih berusaha lagi.
"Assalamualaikum". Ucap Arfan dengan suara lemah. Apa yang harus dia katakan pada adiknya. Bahwa ia tidak bisa membawanya berobat, karena tak memiliki uang? Ah, dia merasa dirinya sudah seperti pecundang yang tidak berguna.
"Wa alaikum salam". Jawab Fikri yang sedang duduk dengan melipat kaki, memandangi Ilham yang terbaring.
"Gimana keadaan Ilham Fik?" Tanya Arfan begitu masuk ke dalam rumah.
"Yah masih seperti ini bang". Jawab Fikri dengan tatapan sendu menatap bocah delapan tahun yang terbaring.
"Maafin abang ya. Abang belum dapat uang untuk bawa Ilham berobat. Abang memang nggak berguna". Ucap Arfan menyalahkan dirinya sendiri.
"Nggak bang, abang sudah banyak berjuang untuk kita. Maafin kita yang selalu nyusahin abang". Fikri mengelap air mata yang lolos dari pelupuk matanya. "Aku bantuin abang cari uang ya". Pinta Fikri. Ia merasa kasihan melihat Arfan yang harus berjuan sendiri.
"Kalo kamu bantu abang, siapa yang bakal jagain Ilham yang sakit Fik?" Ucap Arfan tidak setuju dengan usulan Fikri.
"Tapi bang, kasihan kalo abang harus berjuang sendiri untuk kita. Kita cuma jadi beban buat abang. Kita selalu nyusahin abang. Kita emang nggak guna bang". Ucapan yang terlontar dari mulut Fikri. Yah, itulah beban pikirannya selama ini. Beban seolah sudah tak mampu ia tampung. Akhirnya apa yang selama ini di tahan, meluap juga.
"Kamu jangan ngomong gitu Fik. Abang bakal lebih berusaha lagi". Arfan melembutkan suaranya. Ia tau bahwa emosi Fikri sedang tudak stabil.
"Abang sudah sangat berusaha. Aku yang malah nggak berbuat apa. Aku emang nggak guna bang. Nggak guna". Fikri memukul dadanya karena sesak akibat emosinya.
"Sadar Fik. Hidup ini bukan cuma tentang mengeluh. Kamu harus kuat. Apa kamu mau menjadi bahan tertawaan dunia yang selama ini selalu mengejekmu? Berhenti menyalahkan dirimu. Abang nggak pernah menuntutmu untuk melakukan banyak hal untuk abang. Jadilah dirimu sendiri Fik". Arfan mencengkeram bahu Fikri. Menyalurkan semangat. Ia tau betapa lelahnya anak itu. Ia sangat tau. Bahkan ia harus menyembunyikan lelahnya sendiri demi menjaga semangat anak-anak itu.
Mereka memakan jajanan yang di bawa Arfan.
Sementara kondisi Ilham yang memang tidak di obati tidak memperlihatkan tanda-tanda lebih baik. Tak ada siapapun yang bisa mereka mintai tolong.
"Abang berangkat kerja dulu ya. Doakan abang supaya bisa secepatnya bawa Ilham berobat". Arfan mengusap bahu kecil Fikri. Sementara bocah itu masih sesenggukan karena luapan emosinya.
"Iya bang". Jawabnya tersendat lalu mengusap air matanya.
Arfan menuju ke tempat kerjanya. Dua luluh menit ia bisa sampai dengan berjalan kaki.
Sampai di tempat kerja. Arfan duduk di atas tumpukan batu sambil menunggu rekan kerja yang lain datang.
Satu persatu para pekerja proyek pembangunan sebuah rumah sakit swasta sudah berdatangan.
Setelah para tukang dan pekerja lain datang barulah pekerjaan di mulai. Pukul tujuh tepat. Jika ada yang terlambat datang walaupun hanya lima menit, dengan alasan apa pun maka akan di potong bayaran untuknya.
***
Sementara itu di tempat lain, Fikri dengan susah payah mencoba menggendong Ilham. Ia tidak menghiraukan larangan Arfan. Ia mau membantu mencari uang untuk biaya berobat Ilham. Ia tak tega melihat Ilham yang bahkan terbaring dengan keadaan menyedihkan. Dan melihat Arfan yang hanya berjuang sendiri. Fikri berniat pergi setelah Arfan berangkat dan pulang sebelum Arfan kembali.
Fikri membawa Ilham di pinggir jalan. Trotoar dekat trafic lamp menjadi tujuannya.
Dengan berbekal sebuah kaleng yang berkarat, Fikri duduk dengan meletakkan Ilham yang sakit di sebelahnya. Ia mengemis. Ya mengemis uang dan belas kasih. Ia tidak bisa berpikir pekerjaan apa yang bisa membuatnya menghasilkan uang. Hanya ini yang terlintas di pikirannya.
Panas matahari terasa sangat menyengat kulit. Wajah Ilham yang sakit sudah sangat merah dan semakin pucat.
Fikri celingukan mencari tempat berteduh yang pas untuk Ilham. Akhirnya di temukan sebuah gubuk pedagang kaki lima yang kosong.
Dengan susah payah, Fikri mengangkat Ilham untuk di bawanya berteduh.
Setelah melihat keadaan Ilham yang lebih baik, ia kembali melanjutkan kegiatan mengemisnya.
"Pak, bu, kasihani kami". Ucap Fikri menarik simpati orang-orang yang lewat.
Mereka memberi sedikit dari yang mereka punya. Uang pecahan koin lima ratus sampai sepuluh ribu.
Menjelang sore, Fikri bersiap untuk pulang. Ia tidak ingin ketahuan oleh abangnya karena telah melakukan hal ini.
Sesampainya di gerbong, Fikri meletakkan Ilham di tempatnya tidur. Dan menghitung hasil yang ia dapatkan hari ini.
"Tujuh puluh delapan ribu. Lumayan. Kalo segini dalam waktu tiga hari aku bisa bawa Ilham berobat".
Di sembunyikan uang yang sudah ia dapatkan hari ini agar tidak ketahuan Arfan. Fikri takut melihat Arfan yang akan murka jika mengetahui bahwa ia telah mengemis hari ini.
***
Kembali ke tempat Arfan.
Peluh keringat membanjiri tubuhnya yang legam karena sengatan matahari. Debu, kotoran, dan peluh membaur menjadi satu. Bisa dia rasakan lelahnya bekerja hari ini. Di tambah ia yang harus mencari tambahan karena bangun malam sejak pukul dua dini hari.
Perjuangan hari ini berakhir, dengan tanda berakhirnya waktu bekerja. Arfan kembali dengan keadaan yang tidak bisa dia gambarkan.
Senyumnya terbit tatkala melihat sebungkus nasi dalam plastik hitam yang akan di bawanya pulang.
Sepulang kerja, Arfan mengambil baju ganti, sebuah kaos yang telah koyak bagian lehernya dan celana kolor panjang. Di bawanya ke sebuah toilet umum dekat gerbong. Ia mandi dan membersihkan diri. Melepas penat dengan guyuran air yang menyegarkan.
"Sudah mandi Fik?" tanya Arfan begitu masuk ke dalam gerbong.
"Belum bang". Jawab Fikri berusaha santai untuk menutupi perbuatannya.
"Mandi dulu gih. Gantian abang yang jaga Ilham. Habis mandi kita makan bareng ya". Perintah Arfan yang di jawab anggukan oleh Fikri.
Makan sehari sekali, tak apalah. Selama ada yang bisa di pakai untuk mengisi.