"Hei, Paman Jun. Bisakah kau tidak membuat masalah?" David kesal karena Jun Liu selalu saja memancing kerusuhan.
"Yah, lihatlah ini. Seorang yang sok peduli. Kau hanya mengatakan kita pasti menemukan jalan keluar. Tapi satu orang terbunuh disana karena kesalahanmu!" Jun Liu menunjuk wajah David.
"Dan satu orang akan terbunuh lagi jika kita tidak bergerak!" David meninggikan suaranya. Jun Liu hanya menyeringai dan berlalu dengan remeh.
"Kalian semua!" Kevin tiba-tiba bicara dari sudut ruangan tempatnya berada, "Saat melakukan permainan sebelumnya, apa peran yang kalian ambil?" tanya Kevin sambil memperhatikan mereka semua.
"Aku hanya menjadi warga biasa," jawab David dengan cepat.
"Aku dan istriku juga," sambung Travis.
"Tak ada bedanya denganku," ucap Jaden kemudian.
"Sepertinya, hanya kau yang menjadi pembunuh," Mashi yang tadinya terus saja berdiri di pintu, berbalik dan menatap Kevin lekat.
Kevin memucat, dia menarik nafas panjang untuk menyembunyikan ketakutannya, "Kenapa kau hanya menyimpulkan tentangku? B-Bagaimana dengan si Paman dan siswi itu?"
Mashi menggeleng dengan yakin, "Paman pemarah itu, jika dia pernah bermain menjadi pembunuh sebelumnya, dia tidak akan marah-marah seperti ini. Dia hanya akan membunuh kita semua, dan Siswi itu. Jelas sekali dia tidak pernah menjadi pembunuh sebelumnya. Aku mendengarnya bergumam tentang apa yang pembunuh lakukan saat permainan online,"
"Benarkah? sebelumnya kau berperan sebagai pembunuh?" Jaden menatap Kevin penasaran.
"L-Lalu apa? aku pembunuh saat itu. Bukan berarti aku sekarang aku adalah pembunuh!" Kevin menatap semua orang yang ada di ruangan itu, "Sialann. Aku menggali kuburan sendiri. Pembunuh sialan itu pasti mengincarku agar identitasnya tetap aman. Tapi, jika mau membunuh, kenapa dia tidak membunuh sekarang juga? dia bisa menghabisi kami sekaligus, jika dia adalah orang seperti Jun Liu,"
"Sebenarnya kau menguntungkan kami," ucap Mashi kemudian. Semua orang kini berbalik menatap Mashi. Pemuda itu dengan santainya kembali menatap pintu dan memperbaiki kacamatanya, "Kau, berusahalah mencari pembunuh itu, sedangkan aku akan mencoba membuka pintu, yang lainnya ... terserah apa yang mau kalian lakukan," ucap Mashi kemudian.
"Aku akan menjaga kalian," ucap David, "Aku juga akan membantu mencari pembunuhnya, Kevin kau harus ..."
"Tidak!" David yang hendak beranjak ke arah Kevin terhenti karena Kevin berteriak, "Jangan mendekatiku. Kalian semua, tetap di tempat kalian, dan jangan sesekali mendekatiku," ucap Kevin lagi.
"Sebaiknya kalian tidak mendekatinya," sambung Mashi tanpa menoleh.
Mendengar hal tersebut, David mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, dia mencari ke sekirar ruangan hingga ke lantai atas. Mencari petunjuk apapun yang bisa dia gunakan untuk menemukan pembunuh.
***
"Siall. Mengapa aku harus terjebak disini bersama sekelompok orang dewasa yang menyebalkan itu!" omel Sunny. Dia berdiri di depan cermin, setelah mengganti celana. Sunny menatap dirinya sendiri lalu mendesah, "Kenapa aku harus tertidur? yang benar saja. Aku harusnya berada di bis untuk pulang, tapi kenapa aku terbangun disini? psikopat brengsekk, apa yang sebenarnya dia rencanakan, argh!" Sunny mengacak-ngacak rambutnya. Bahkan ponsel dan tasnya tidak ada. Dia sangat frustasi dan ingin segera keluar dari gedung terkutuk itu.
"Tunggu dulu. Dari sekian banyak orang, apa tak ada satupun yang membawa ponsel?" Sunny berpikir sejenak, "Kenapa aku tak memikirkan itu dari awal," Sunny, memperbaiki kerah seragam sekolahnya yang tidak dia ganti, lalu bergegas keluar dari kamar.
Tub! tiba-tiba suara aneh muncul. Bersamaan dengan itu, semua lampu di ruangan tersebut mati.
"Apa-apaan ini!" Sunny yang baru saja hendak melangkah turun terhenti karena tak bisa melihat apapun.
Sementara itu di lantai bawah tak kalah ribut. David berusaha menenangkan orang-orang, namun mereka semua berlarian tak tentu arah.
"Travis! kau dimana?" Marry berteriak.
"Marry!" di sisi lain, Travis juga berteriak. Namun mereka tak menemukan satu sama lain.
"Kalian yang di bawah! ada apa sebenarnya!" teriak Sunny yang meraba-raba berusaha untuk turun.
Namun, tiba-tiba seseorang menyentuh tangan Sunny, "Aaaa!" Sunny menjerit.
"Hei, kau bisa merusak gendang telingaku," terdengar suara Jaden di kegelapan.
"J-Jaden? apa yang terjadi?"
"Jika aku tahu aku tidak akan bingung. Berhati-hatilah," Jaden menuntun Sunny untuk berjalan perlahan.
Buk! secara tak terduga mereka menabrak seseorang. Sunny hampir menjerit. Namun Jaden dengan cepat berdiri di depan Sunny untuk melindunginya di kegelapan tersebut.
"Siapa disana!" seru Jaden. Setelah beberapa detik tak ada jawaban, Jaden perlahan maju dan mencoba memperjelas pandangannya. "Hei, kau manusia, bukan?" ucap Jaden lagi. Tub! tiba-tiba lampu menyala. Jaden hampir terlonjak. Ternyata orang yang tadinya dia tabrak adalah Mashi. Pemuda pucat itu masih berdiri di tempatnya tampak bergerak sedikitpun, yaitu di depan pintu. Dia menggelengkan kepala menatap Jaden yang tampak memasang kuda-kuda.
"K-Kau ... ya ampun, kawan. Tak bisakah kau mengeluarkan suara?" Jaden akhirnya menghela nafas lega.
Sunny berjalan perlahan, lalu melihat ke sekitar, "Dimana yang lain?" ucapnya sambil menatap Mashi.
"Pergi. Bisa jadi. Aku, hanya berdiri disini," jawab Mashi lalu mulai bergerak menelusuri dinding ruangan tersebut sambil menempelkan telinganya.
"Dia benar-benar aneh," ucap Jaden. Berusahalah memahami apa yang ada di kepala Mashi.
"Biarkan saja dia. Sepertinya dia punya pemikiran lebih kompleks dari pada kita," sambung Sunny kemudian.
***
"Travis! kau dimana!?" Marry menjerit. Dia terpisah entah di ruangan apa. Tak jauh darinya ada Kevin. Pemuda itu tampak waspada. Dia tak ingin mendekati siapapun termasuk Marry.
"Hei, kenapa kau masih duduk disana? kota harus mencari jalan keluar," Marry mencoba mendekati Kevin. Tapi Kevin mengarahkan kunci T yang sejak awal tak pernah lepas dari tangannya ke arah Marry.
"Berhenti disana, jangan mendekati!" Kevin menatap Marry tajam.
"Hei, kenapa kau menodongkan senjata padaku? kita harus keluar dari sini, aku harus selalu berada di dekat suamiku,"
"Kau bisa pergi sendiri. Aku tak ingin didekati oleh siapapun dari kalian. Lakukan apa yang kau mau, tapi menjauh dariku."
"Kevin Mc Grown. Kau ini punya kelainan atau apa? David menyarankan kita harus bekerjasama agar bisa mencari cara keluar dari sini!"
"Cara agar bisa keluar dari sini adalah mencari pembunuh yang sebenarnya, lalu membunuh orang tersebut, atau pembunuh membunuh semua orang yang ada di ruang ini, hanya itu caranya. Jadi, persetan dengan kerjasama, kau sebaiknya jangan mendekatiku.
"Terserah kau saja. Teruslah disini hingga pembunuh itu menemukanmu, atau sistem yang membunuhmu," Marry bergegas menuju lorong meninggalkan Kevin.
Kevin kembali melakukan kebiasaannya. Dia menggigit kuku jarinya, sambil berpikir.
"Aku harus menemukan pembunuhnya. Pasti ada semacam tanda pada Pembunuh tersebut yang tidak dimiliki orang lainnya disini," Kevin memeluk lututnya. Matanya liar dan otaknya berkecambuk, "Aku tidak mungkin membunuh semua orang. Bukan begitu cara kerjanya. Aku yakin jika aku membunuh semua orang yang ada disini, maka aku juga pasti akan dibunuh. Psikopat yang menciptakan permainan ini hanya ingin bersenang-senang. Aku harus tahu dulu siapa di balik semua ini. Lagipula, aku tak mungkin membunuh mereka semua. ada seorang siswi, mahasiswa yang se kampus denganku, dan orang-orang yang baik. Kecuali Paman sialann itu tentunya," Kevin menepuk-nepuk kepalanya. Mencoba berpikir lebih keras lagi.
"Ayolah Mc Grown. Pikirkan sesuatu. Bagaimana mungkin kau belum mendapatkan apapun selama ini? Ah, aku tidak bisa menuggu disini. Waktu berlalu, jika tiba satu jam, dan aku masih terjebak disini, maka aku akan mati."
Kevin akhirnya beranjak. Dia menggenggam erat kunci T dengan material besi di tangannya, dan waspada memeriksa sekitarnya.
***
"David, kau menemukan sesuatu?" Travis yang terpisah dan kini bersama David mencoba mencari cara untuk keluar dari tempat itu.
"Tidak ada yang berarti. Hanya ada beberapa lorong, bagaimana mungkin kita bisa berlari dan terjebak disini?" David menghela nafas, dia kemudian berjongkok dengan pikirannya ya g penuh.
"Bangunan ini pasti terdiri dari beberapa bagian, dan kita tak sengaja menekan entah apapun itu, hingga membuka sesuatu dan akhirnya kita terpisah dengan yang lain," Travis menjelaskan apa yang ada di kepalanya, "Kacaunya sekarang ... aku terpisah dengan Marry. Aku harus segera bersama istriku."
"Tenanglah, Trav. Marry pasti baik-baik saja. Setelah aku memeriksa, ada dua cabang lorong di luar. Kita harus berpencar untuk mencari jalan bertemu dengan yang lainnya, jika salah satu dari kita menemukannya, kita harus memberi tanda satu sama lain,"
"Tanda, bagaimana caranya?"
"Hmm, apa yang harus kita gunakan sebagai tanda ..."
"Hei, bukankaj itu peluit?"" saat David sedang berpikir, Travis menemukan sesuatu yang berada tergantung di dinding ruangan yang seperti gudang tersebut.
"Ada dua. Kita jadikan ini sebagai penanda," David tersenyum senang, lalu mengambil peluit di dinding tersebut, dan memberikan satu kepada Travis, "Kita akan berkomunikasi lewat ini,"
"Baiklah, tiupan pendek untuk mengatakan tidak, dan tiupan panjang untuk mengatakan iya,"
"Boleh juga,"
"Tapi jika kita saling berjalan di arah yang berlawanan, dan semakin menjauh, apakah suara peluit ini bisa di dengar?"
"Tentu saja bisa. Aku sudah memeriksanya. Semua bagian bangunan ini dirancang kedap suara. Jika itu di lorong dan tidak berada di bagian lain, suaranya pasti terdengar, suaranya akan tiba seperti kereta api."
"Baiklah, kalau begitu kita jalan sekarang,"
"Hmm, kau sudah menemukan sesuatu untuk dijadikan senjata?"
"Yah, aku mengambil sebilah pisau, saat berkeliling di dapur beberapa waktu lalu,"
"Baguslah, tetaplah berhati-hati dan waspada,"
***
Jun Liu berkeliling di ruangan aneh dengan banyak cermin. Dia kebingungan. Namun, bukan Jun Liu namanya jika dia tak berani melangkah kemanapun. Manusia egois dan keras kepala itu mengamuk dan memecahkan beberapa cermin di depannya.
"Hahaha, kalian bercanda denganku? aku akan membunuh siapapun yang mengurungku disini, sialann!" prang! Jun Liu sekali lagi menendang sebuah cermin kaca berukuran enam puluh kali delapan puluh senti meter yang ada di depannya.
"Aku harus bunuh semua orang disini agar bisa segera keluar," gumam Jun Liu sambil mengepalkan tangannya erat, "Tapi pertama-tama aku harus keluar dari ruangan brengs*k ini terlebih dahulu," Jun Liu berjalan sambil melihat sekitar, bayangannya terpantul dari setiap cermin yang dia lewati. Begitu bengis. Siapapun tidak ingin berurusan dengan Jun Liu, karena dia merupakan tipe orang yang tak segan untuk membunuh jika dia kesal.
***
"Hei, kau mahasiswa di Universitas Golden?" Jaden mendekati Mashi yang berjalan perlahan menatap setiap sudut ruangan.
"Ah, aku lupa, pintu masuk bukanlah pintu keluar, jadi pintu keluarnya adalah ...." Mashi berputar-putar, dia tak menggubris Jaden, dan Sunny yang berjalan di belakang Jaden mengikutinya, "Disana, itu dia pintu ke ruang selanjutnya," Mashi bergegas menuju pintu besi dengan papan kode di sampingnya. Awalnya dia hanya berdiri di pintu utama ruangan kedua, berpikir sangat lama untuk menemukan pintu ke ruangan selanjutnya. Hingga orang-orang mengira dia akan membuka pintu tersebut. Mashi mengikuti garis kontruksi ruangan, dan setelah berjalan sekitar tiga puluh meter, dia menemukan pintu kedua.
"Takata Mashi, kau orang jepang?" Jaden tak mau menyerah, dia terus berbicara agar Mashi menanggapinya.
"Bisakah kau biarkan dia sendiri? dia mencoba membuka pintu untuk kita," ucap Sunny yang berada di belakang Jaden.
"Benar juga. Hei, Mashi katakan padaku, bagaimana cara mencari kode untuk papan itu, aku akan membantumu menemukannya jika kau mengajariku," Jaden mendekati Mashi, namun Sunny menarik Jaden untuk menjauh.
"Dia tipe introvert, jangan mengganggunya,"
"Ya ampun. Sangat aneh, kenapa ada orang yang sedikit bicara seperti itu? saat bicarapun dia mengatakan hal aneh," Jaden menghela nafas lalu menatap Sunny, "Gadis kecil, kau sudah tidak takut lagi?"
Sunny mengeluarkan koin pemberian Jaden sebelumnya, lalu mengulurkan koin tersebut ke arah Jaden, "Aku baik-baik saja, sepertinya mulai terbiasa dengan ini. Terimakasih koinnya," ucap Sunny kemudian.
"Tidak. Kau simpan saja, kau lebih membutuhkan keberuntungan itu," Jaden tersenyum, lalu mengikuti Mashi, melihat ke setiap sudut ruangan untuk mencari petunjuk.
***
"Baiklah, kau kesana, dan aku kesana," ucap David ketika mereka berada di dua cabang lorong.
"Hati-hati, dan segera tiup peluitmu jika terlebih dahulu menemukan jalan keluar,"
"Kau juga hati-hati,"
David dan Travis saling menepuk bahu satu sama lain dan berpisah. Mereka menyusuri lorong panjang dengan penerangan redum. David waspada mengawasi sekitarnya, sesekali dia melihat ke belakang. Cahaya di belakang semakin menghitam seolah dia ditelan oleh lubang gelap tiada akhir.
Beberapa menit kemudian, terdengar dua kali bunyi peluit pendek dari belakangnya. Itu adalah kode yang dia dan Travis buat untuk menanyakan apakah salah satu dari mereka menemukan sesuatu. David meniup satu kali bunyi pendek, yang berarti dia belum menemukan apapun. "Prit, prit," David kembali meniup dua kali nada pendek, menanyakan hal yang sama kepada Travis. Terdengar Travis juga meniup sekali nada pendek, pertanda dia juga belum menemukan sesuatu.
David melanjutkan langkahnya. Dia agak kelelahan, keringat mengucur di dahinya, David berjongkok sebentar untuk menarik nafas. Dia bekerja di warnet dan menghabiskan setiap harinya untuk begadang. Karena itu dia agak mudah lelah dan dia harus mengontrol pernapasannya, karena dia bukan orang yang rajin olahraga, hingga dia selalu terengah jika melakukan hal yang menurutnya berat, seperti berlari, atau berjalan tanpa arah seperti sekarang ini.
Beberapa menit kemudian, setelah merasa tenang David berdiri. Dia berniat melanjutkan perjalannnya. Namun, tanpa diduga, Priiiiiiit. Sebuah nada panjang ditiup oleh Travis. David berbalik, lalu segera berlari menuju suara tersebut.
"Travis!"